Translate

Sabtu, 15 September 2012

Peran Dongeng dalam Kancah Digital


Peran Dongeng dalam Kancah Digital
Oleh Encon Rahman


            Anak-anak yang sering didongengi biasanya tumbuh menjadi anak yang lebih pandai, lebih tenang, lebih terbuka, dan lebih seimbang bila dibandingkan dengan anak-anak yang tidak didongengi—demikian kesimpulan tiga orang peneliti berkebangsaan Jerman H.G Wahn, W.Hesse dan U. Schaefer di dalam Suddeutsche Zeitung, 24 juni 1980. Lebih lanjut mereka mengemukakan, imajinasi, perbendaharan kata, daya ingat, dan cara berbicara berkembang sesuai dengan kesan-kesan pendengaran dan pengamatan yang diterima anak melalui dongeng.
Berdasarkan asumsi di atas, eksistensi dongeng bukan sekedar bumbu cerita. Dongeng diyakini memiliki filosofi yang luhur dalam membangun budi pekerti. Sejak dulu dongeng merupakan salah satu budaya yang mengakar. Ceritanya turun temurun. Dari cerita turun temurun itulah, kelestarian budaya bangsa ini dipertahankan.
Salah satu cerita dongeng yang hingga kini masih melekat pada pendengaran kita, misalnya cerita Malin Kundang, sasakala Gunung Tangkuban Perahu, si Kancil, si Kabayan, dan cerita rakyat lainnya. Dongeng-dongeng itu sampai saat ini tetap bertahan dan disukai anak-anak negeri.
Berkaitan dengan  dongeng di tanah air, ada fenomena menarik di antaranya banyak dongeng atau cerita rakyat yang sudah dibukukan penerbit. Kumpulan cerita rakyat tersebut dengan mudah dapat kita peroleh di toko-toko buku terkemuka. Dipandang dari persfektif budaya, kumpulan dongeng Nusantara akan menambah khazanah. Di samping, tentunya kondisi itu merupakan salah satu upaya dalam melestarikan cerita rakyat yang dimaksud.
Pada awalnya, cerita rakyat selalu dibedah dengan budaya lisan. Nenek moyang kita sejak zaman dulu telah menjadikan bahasa lisan sebagai sarana utama dalam proses penjabaran budaya. Kondisi ini tentu dimaklumi. Sebab, ketika budaya tulis mulai merambah negeri, nenek moyang kita baru mengenal sabak sebagai alat tulis kantornya (ATK).
Dengan demikian, dapat dipahami jika nenek moyang kita lebih banyak menyimpan materi atau cerita masih dalam bentuk lisan. Hal itu disebabkan tidak tersedianya dokumentasi untuk menyimpannya. Sabak hanya sebuah alat tulis sederhana. Kondisinya tidak memungkinkan untuk menjadi sarana dokumentasi selengkap buku.
Pergeseran zaman lambat laun merubah tatanan budaya itu sendiri. Sabak yang menjadi primadona akhirnya tergilas dengan ditemukannya kertas dan percetakan. Namun disayangkan, perubahan zaman itu tidak diikuti oleh inovasi tatanan budaya nenek moyang kita. Budaya lisan masih menjadi primadona. Dampaknya jejak pencipta dongeng hilang tak berbekas. Padahal betapa pentingnya sumber cerita tersebut diketahui khalayak banyak.
Di Eropa jejak para pencipta dongeng tetap utuh hingga sekarang, sebut saja misalnya Robert Chambers dari Scotlandia, Bohemia dari Cekoslowakia, Pavel Bazhov dari Rusia, Alfred Smedberg dari Swedia, Hans Christian Andersen dari denmark, Andrew Lang dari India, dan sebagainya.
Selain itu, dongeng-dongeng yang termashyur sering dijadikan pentas dipanggung atau layar lebar. Misalnya, Tchaikovky dan Rimsky-Korssakov dengan musik romantis, Gustave Dore dan Walter Crane atau Oskar Wilde serta Leo Tolstroy.
Pancegnya cerita dongeng di Nusantara dalam tatanan bahasa lisan, menyebabkan keutuhan cerita dan penafsiran yang muncul pun berbeda-beda. Kondisi ini melahirkan paradigma yang berbeda pula. Fenomena ini tentu saja dapat merugikan filosofi dongeng yang terkandung di dalamnya. Bukan hanya itu, dongeng menjadi bias. Nilai rasa yang ada di dalam dongeng menjadi tak jelas lagi. Beruntung beberapa penerbit dewasa ini memiliki inisiatif untuk membukukan dongeng yang tanpa nama pengarangnya (anonim).
Dengan beralihnya dongeng dari bentuk bahasa lisan menjadi bentuk bahasa tulis. Saya rasa ini merupakan kemajuan yang luar biasa. Meskipun kondisi itu masih dibilang sangat terlambat. Mengapa demikian? Di Eropa pembukuan dongeng sudah sejak lama dilakukuan. Bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Beberapa contoh dongeng yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa misalnya, People of the Dreamtime (bunga sukun berpayung pelangi) dongeng asli penduduk Australia, Lembu Jantan Hitam dari Norroway dongeng kuno Skotlandia karya Robert Chambers, Putri Birubaba Penguasa Rawa (Sinyushkin kolodets) dongenng dari pegunungan Ural koleksi Pavel Bazhov (1879-1950), Thirty Indian Legends of Canada (Peri-peri Kecil Penunggu Bukit) dongeng suku Indian Cree yang dihimpun oleh Margaret Bemister, Batu Pemantik Api karya Hans Andersen yang ditulis tahun 1835, kisah si Kembang Seroja dongeng Tibet karya Yuri Partionovich, dan pendongeng lain seperti Charles Perrault dari Prancis, Andersen dari Denmark, Grimm dari Jerman, dan Alexander Afanasiev dari Rusia.
Pengalihan budaya lisan menjadi tulis ini disadari atau tidak akan mendorong anak suka membaca. Dengan membaca buku-buku dongeng setidaknya memberikan peluang kepada anak untuk mengembangkan kemampuan berpikir.  
Dengan membaca dongeng seseorang bisa mengatur sendiri kecepatan alur cerita. Andai ada suatu yang menarik di satu halaman, pembaca bisa berhenti sejenak untuk merenungkan dan membandingkannya dengan peristiwa lain yang berhubungan. Pembaca juga bisa membaca ulang beberapa pokok bacaan yang jelas atau dirasa sangat penting.
Pada sisi lain, membaca dongeng melatih seseorang untuk berusaha mengingatnya  dengan peristiwa lain yang berhubungan. Selanjutnya, membaca dongeng dapat melatih seseorang untuk berusaha mengembangkan daya kreativitas dan imajinasinya.
Dengan kata lain, membaca dongeng bagi anak sangat efektif dalam mengembangkan imajinasi yang positif, mengembangkan pengalaman emosi, pemberian pendidikan moral, memperbesar cakrawala mental, menumbuhkan rasa humor serta membangkitkan apresiasi.
Sementara itu,  perkembangan intelektual anak yang senang membaca dan mendengar dongeng dengan anak yang enggan terhadap eksistensi dongeng akan terlihat secara jelas. Bagi anak yang suka mendengar dongeng lebih besar keinginannya untuk membaca buku dan ilmu pengetahuan daripada anak yang tak menyukai dongeng. Dari segi tingkah laku dan kasih sayang terhadap teman sebanya pun sangat berbeda. Mengapa demikian? Dongeng memiliki pesan moral yang tinggi. Cerita yang tersaji sistematis dan mudah dicerna.
            Sisi lain yang perlu digarisbawahi dalam menyampaikan dongeng kepada anak, selain menyampaikan cerita yang menarik perhatiannya juga harus mengembangkan daya minatnya untuk tidak hanya disuapi saja.
Pendongeng dituntut agar anak dituntun ke arah budaya tulis. Misalnya, kita selalu berbicara dengan bijaksana apabila selesai mendongeng, “Nak, apabila kamu sudah pandai membaca, kamu akan menemukan dongeng-dongeng yang lebih mengasyikan dan seru dari dongeng yang saya ceritakan.”
Sikap seperti di atas jelas akan lebih membangkitkan semangat anak untuk membaca buku. Jika hal tersebut sudah tampak langkah berikutnya yang perlu dilakukan yaitu memberikan buku-buku bergambar berwarna warni pada anak. Kesenangan anak membolak balik buku merupakan awal keberhasilan dari pendongeng.




Menjalani 2011, Apa yang Harus Kita Lakukan?


 
Menjelang tahun baru Masehi, kita sering menyaksikan hiruk pikuk masyarakat saat menyambut pergantian tahun. Televisi, radio, koran, majalah dan sejenisnya pun berlomba menyajikan budaya pergantian tahun. Masing-masing seakan ingin berpartisipasi mempersembahkan sesuatu yang terbaik pada awal tahun.
Kebiasaan masyarakat menyambut tahun baru Masehi di negeri ini seperti ritual. Di perkotaan, masyarakat kota berbondong-bondong ke luar rumah sekedar ingin menikmati suasana malam menjelang tahun baru. Sebagian dari mereka, berjalan kaki seraya meniup terompet. Menuju mall, alun-alun dan tempat hiburan. Masyarakat bergerombol, tanpa tujuan yang jelas. Sebagian lagi, membawa kendaraan menuju tempat rekreasi hingga dini hari.
Jalan-jalan utama di perkotaan umumnya macet total oleh komunitas yang ingin menyambut tahun baru. Kita menyaksikan, pergantian tahun Masehi ibarat magnet budaya. Maksudnya, perilaku masyarakat menjelang tahun baru Masehi, kerap berbeda dengan tingkah laku mereka dalam keseharian.
Mereka cenderung melampiaskan kegembiraan dengan model yang kadang-kadang melanggar norma dan etika. Dampaknya, tahun baru Masehi menjadi ajang huru hara, tindak kriminal, dan pelampiasan syahwat. Maka, tak heran jika lembaran tahun baru sering dinodai oleh degradasi moral dan tingkah laku yang memprihatinkan berbagai kalangan.
Kondisi serupa terjadi pula di pedesaaan. Bedanya, jika di desa merayakan tahun baru Masehi cenderung lebih sederhana. Umumnya, warga desa melakukan pawai keliling seraya membawa obor diiringi alat musik seadanya yang tetap gaduh sepanjang jalan yang dilewati. Atau, mereka hanya menonton sajian acara televisi di rumah masing-masing. Sebagian besar, mereka lebih banyak menghabiskan waktu tahun baru di tempat tidur, karena diyakini pekerjaan besok pagi diladang lebih menantang.
Potret masyarakat dalam menyambut tahun baru Masehi tidak pernah luntur. Budaya itu dikukuhkan pula oleh gencarnya informasi yang dikemas media elektronik yang menawan. Panggung hiburan, baik lokal maupun nasional kerap digelar diberbagai tempat. Pada malam itu, masyarakat seolah dimanjakan. Dimana-mana hiburan menjamur bak di musim hujan, mulai hiburan gratis hingga beli karcis.
Kenyataan menunjukkan, masyarakat kita rela begadang semalam suntuk sekedar menjadi saksi pergantian tahun Masehi pada pukul 00.00 waktu setempat, seraya berdecak kagum melihat kembang api yang bertaburan menghiasi temaramnya malam, baik di sekitar tempat tinggalnya, maupun via media elektronik di berbagai belahan dunia.
Lupakah kita terhadap tata nilai yang pernah ajarkan Rasulullah dalam menyingkapi pergantian tahun? Senangkah kita berduyun-duyun di tengah kerumunan tanpa dasar yang jelas dalam menikmati hari. Sementara, sisa usia semakin berkurang?
Sisi Budaya yang Hilang
Memperhatikan perilaku masyarakat dalam menghadapi pergantian tahun Masehi, ada sisi budaya yang hilang dari bingkai dasar negeri ini. Bingkai dasar itu adalah mengelola waktu.  Waktu menurut Quraish Shihab memiliki empat makna. Pertama, dahr. Maksudnya, segala sesuatu pernah tiada, dan keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu. Hal itu sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Jatsiyah: 24,”Dan mereka berkata: kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa,” dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”
Kedua, ajal. Maksudnya, segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Swt., sendiri. “Tiap-tiap umat memiliki ajal (waktunya). Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak pula mendahulukannya.” (QS. Yunus: 49).
Ketiga, waqt. Makna ini menunjukkan  batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan sesuatu. Keempat, ‘Ashr. Makna ini memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras  keringat dan pikiran.
Dari keempat makna waktu di atas, kita dapat menarik garis simpul, sesungguhnya waktu merupakan kumpulan butiran mutiara. Butiran mutiara ini, akan terasa manfaatnya jika kita memahami fungsi dan faedahnya. Tetapi, kondisi ini akan terjadi sebaliknya, bila mutiara yang Allah titipkan kepada kita hanya sebagai asesoris biasa.
Rekam Jejak
Berbeda dengan hiruk pikuk pergantian tahun Masehi. Pergantian tahun Hijriah terasa sepi. Baik, secara publikasi media (cetak dan elektronik) maupun sambutan dari pemilik tahun yaitu muslim. Kita tidak pernah peduli terhadap pergantian tahun Hijriah. Bahkan kehadirannya pun kerap terlupakan oleh berbagai kesibukan. Padahal kalender Hijriah bukan semata penanggalan biasa. Kelahirannya memiliki makna yang patut direnungi oleh segenap muslim.  Mengapa demikian?
Penetapan pergantian tahun Hijriah sarat dengan historis. Berikut catatan historis itu, awalnya para sahabat berdebat bagaimana cara menentukan awal tahun baru Islam. Ada yang berpendapat, sebaiknya dimulai dengan lahirnya Nabi Muhammad Saw., tapi, usulan ini ditolak lantaran dikhawatirkan akan menimbulkan kultus individu. Usulan berikutnya, dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Lagi-lagi usulan ini ditolak, dengan alasan dikhawatirkan akan menimbulkan suasana duka cita dikalangan umat Islam.
Akhirnya, Umar bin Khatthab mengusulkan agar penentuan tahun baru Islam dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw
., dari Mekkah ke Madinah. Usulan ini ternyata disetujui para sahabat Rasulullah.
Ringkasnya, penetapan tahun baru Islam tidak dimulai dari kelahiran atau kematian Nabi. Bukan juga dari kemenangan umat Islam dalam peperangan. Tetapi, kalender Islam dimulai dari awal perubahan, yaitu hijrahnya Rasulullah. Dengan demikian, tahun baru Islam esensinya adalah mengingatkan umat Muslim setiap tahun tentang pengorbanan dan perubahan.
Perubahan merupakan bagian dari siklus kehidupan. Oleh karena itu, perubahan memiliki muatan tata nilai. Adapun tata nilai yang diajarkan Rasulullah dalam menyingkapi pergantian tahun. Pertama, selalu berlindung kepada Allah. Tidak dipungkiri, pergantian tahun kerap menjadi ladang hura-hura. Pesta. Dan sarana mengumbar syahwat. Karena itu, kita berlindung kepada Allah sebagaimana Alquran mengajarkan, “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Araf : 200).
Kedua, menghindari sikap lalai. Makna lalai menurut bahasa artinya, lengah, tidak menghindahkan kewajiban, lupa karena asyik melakukan sesuatu. Sebagai contoh, menjelang tahun baru Masehi biasanya banyak di antara kita yang terjebak oleh sikap lalai. Sikap itu tercermin ketika mengikuti irama pergantian tahun. Misalnya, ketika adzan Isya berkumandang, kita tidak lekas pergi salat ke mesjid, tetapi tetap asyik di depan TV karena acara yang disajikan mengenai tayangan suasana dipelbagai sudut kota menjelang tahun baru. Ini merupakan contoh perbuatan lalai. Padahal Allah berfirman, “...janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-Araf: 205).
Ketiga, pergantian tahun merupakan bingkai pelajaran. Setidaknya pergantian tahun harus menjadi cermin dalam menentukan langkah di masa yang akan datang. Hari ini kita berupaya lebih baik dari hari kemarin. Sebab kemarin sebuah kenangan, hari ini kenyataan dan esok baru impian. Karena itu, menata hari dengan memperbaiki diri merupakan bagian tak terpisahkan dari rotasi pergantian tahun. Sebagaimana Allah Swt., Berfirman,” “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (QS. Al Furqon: 62).
Pergantian tahun merupakan butiran mutiara. Karenanya, jangan biarkan mutiara milik kita tak bermakna. Allah Swt., sudah mengingatkan, betapa pentingnya menggunakan butiran mutiara sebagai bekal untuk hari esok,”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).
Catatan Akhir
Perjalanan tahun Hijriah dan Masehi sudah kita nikmati. Mari kita syukuri kehadirannya dengan segudang harap. Semoga tahun ini menjadi cikal bakal, dalam meningkatkan pendekatan diri pada  Illahi Robbi. Bukan sebaliknya, pergantian tahun membuat kita jauh dari hidayah-Nya. Apalagi jika pergantian tahun malah menjadi corong kemaksiatan. Nauzubillah!
Perjalanan tahun adalah milik kita. Maka, baik buruk perjalanan tahun tergantung pada sikap kita dalam menyiasatinya. Semoga kita termasuk orang yang tidak terpukau oleh ‘fatamorgana’ dan ‘senda guraunya’ perjalanan tahun. Wallahu’alam bis shawab **

Politisasi Kepemimpinan Rasulullah


Memperingati Maulid Nabi
Politisasi Kepemimpinan Rasulullah
Oleh Encon Rahman*)


Berawal dari curahan hati (curhat) presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama tujuh tahun tidak pernah naik gaji beberapa waktu lalu, akhirnya melahirkan reaktif dengan adanya gerakan koin untuk presiden oleh anggota Komisi III DPR. Aksi Koin untuk presiden itu menurut saya kontra produktif dan cenderung melecehkan presiden.
Sikap anggota Komisi III DPR tersebut, bukan saja menunjukkan sikap mempolitisasi keadaan. Sekaligus menjadi gambaran begitu naifnya pemikiran anggota dewan, dalam menyingkapi persoalan yang tidak krusial. Curhat dalam tatanan keseharian tidak berarti keluh kesah. Toh selevel sahabat Rasulullah pun, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra pernah melakukan curhat kepada sahabat Umar bin Khaththab ra terkait dengan masalah gajinya sebagai umaroh.
Bagaimana kisahnya? Berikut ini saya rekam ulang dari kitab  Fadhail A’mal karya Maulana M. Zakariyya al Kandhalawi (2001: 595). Abu Bakar bernama lengkap Abdullah bin Abi Kuhafah At-Tamimi. Nama kecilnya adalah Abdul Ka’bah. Gelar Abu Bakar diberikan Rasulullah karena cepatnya di masuk Islam (Ashaabiquunal Awwalun, yakni golongan pertama yang masuk Islam. Sedang Ash-Shiddiq yang berarti ‘amat membenarkan’ adalah gelar yang diberikan kepadanya lantaran dia segera membenarkan Rasulullah dalam berbagai peristiwa (Muhammad Nur Ali, 2004:12).
Sebagaimana kita ketahui, pekerjaan Abu Bakar sebelum dan sesudah masuk Islam adalah pengusaha kain. Sebagai pengusaha ia termasuk pekerja keras. Pada suatu hari Abu Bakar Shiddiq tengah memikul dagangannya menuju pasar. Di perjalanan beliau bertemu dengan Umar bin Khaththab.
“Hai Abu Bakar, mau kemana engkau?” tanya Umar.
“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.
Umar berkata, “Apabila engkau sibuk dengan perdaganganmu, lalu bagaimana dengan urusan kekhalifahan?”
Abu bakar berkata,”Kalau demikian, bagaimana saya menafkahi anak dan isteri saya?”
Umar bin Khaththab berkata, “Mari kita mencari Abu Ubaidah yang diberi gelar oleh Rasulullah Saw., gelar aminulummah (orang kepercayaan umat). Dia akan menentapkan gaji bagimu dari Baitul Mal (lembaga kas negara).”
Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah ra. Maka Abu Ubaidah menetapkan tunjangan untuk Abu Bakar ra sebagaimana yang ditetapkan bagi setiap muhajir tanpa pengurangan dan penambahan.
Pada suatu ketika, istrinya memohon kepada Abu Bakar, “Saya ingin makan manisan.”
Abu Bakar berkata,”Saya tidak memiliki uang untuk membelinya.”
Isterinya berkata lagi,”Kalau engkau setuju, saya akan menyisihkan sedikit uang dari pembelanjaan setiap hari, sehingga dalam beberapa hari uang akan terkumpul.” Abu Bakar pun mengizinkannya.
Isterinya kemudian menyisihkan sedikit demi sedikit uang, sehingga dalam beberapa hari uang itu sudah terkumpul. Isterinya menyerahkan uang itu kepada Abu Bakar untuk dibelikan bahan-bahan manisan. Kemudian Abu Bakar berkata,”Dari pengalaman ini sekarang saya tahu, bahwa kita mendapatkan gaji yang berlebihan dari Baitul Mal.”
Kemudian uang yang dikumpulkan isterinya ia kembalikan ke Baitul Mal. Selanjutnya ia mengurangi gajinya sejumlah nilai uang yang dikumpulkan oleh isterinya setiap hari.
Sikap waro (kehati-hatian) yang ditunjukkan Abu Bakar sebagai pemimpin umat merupakan duplikat kepemimpinan Rasulullah sebagai panutan. Sebagai panutan, dalam praktek kepemimpinannya Rasulullah setidaknya memiliki karakter yang patut dicontoh.
Pertama, keberanian dan kepahlawanan. Sejarah mencatat dalam peperangan, Rasulullah bukan saja mengatur strategi sebagai komandan, tetapi acapkali beliau sendiri maju ke front yang terdepan. Keberanian dan sikap kepahlawanan tersebut, merupakan ujung tombak keberhasilan dalam berbagai pertempuran.
Kedua, rendah hati. Rasulullah sangat rendah hati. Di rumah tangga beliau sering menyapu, membersihkan alat-alat rumah tangga, membantu pekerjaan isteri. Beliau menambal terompanya sendiri, menjahit sendiri bajunya yang sobek. Dalam pergaulan pun beliau tidak pernah membeda-bedakannya.
Ketiga, ramah dan setia kawan. Rasulullah sangat ramah terhadap siapapun. Rasulullah selalu tersenyum saat  bertemu dengan para sahabatnya. Jika beliau berjabat tangan, beliau genggam erat-erat, tidak pernah beliau lebih dahulu melepaskan tangannya sebelum sabahat tersebut melepaskan tangannya. Saat sahabatnya berbicara, beliau tidak pernah memotong percakapan sehingga tidak ada seorang pun yang merasa tersinggung.
Keempat, penyabar dan pemaaf. Rasulullah sangat penyabar dan senantiasa memaafkan  kesalahan orang lain. Pada suatu waktu, seorang Yahudi datang ke rumah beliau dengan mengucapkan salam secara berolok-olok, “Assamu alaikum (mampuslah engkau!). tatkala mendengar ucapan itu, Siti Aisyah membalas dengan ucapan,”Mudah-mudahan engkaulah yang mampus!” Rasulullah menegur  Aisyah dengan mengatakan,”Allah Swt., tidak senang mendengar perkataan yang kasar dan mengandung dendam.”
Kelima, tidak suka dikultuskan. Rasulullah tidak suka disanjung, dipuji bahkan dikultuskan. Ketika seorang laki-laki yang berjabat salam dengan beliau hendak mencium tangannya, maka lekas-lekas beliau menarik tangannya sendiri, lalu berkata kepada laki-laki itu,” Cara mencium tangan itu adalah sikap orang-orang asing dalam menghormati dan mengkultuskan raja-raja mereka.”
Ketauladan  kepemimpinan Rasulullah sebaiknya menjadi sarana back to basic bagi eksekutif dan legislatif. Fenomena curhat Presiden SBY yang tidak pernah naik gaji sehingga menjadi polemik hingga saat ini, seharusnya menjadi introspeksi berbagai kalangan. Selanjutnya, peringatan maulid Nabi tahun 1432 H semoga menjadi tonggak awal perbaikan dan evaluasi, khususnya dalam politisasi kepemimpinan bagi seluruh pemangku kepentingan di negeri ini.(*)