ATM
versus Citra Guru
Oleh
Encon Rahman, S.Pd*)
Salah satu fenomena yang sering
muncul sejalan dengan berakhirnya tahun pelajaran pada lembaga pendidikan dasar,
yakni eksistensi artos tabungan murid (ATM). Sebagaimana kita ketahui, selama ini
guru-guru SD merupakan pengelola ATM di sekolah. Setiap hari sebelum pelajaran
dimulai, anak-anak SD menabung pada guru kelasnya. Hasil tabungan siswa, selanjutnya dikelola oleh masing-masing guru
kelas atau bendahara sekolah.
Pengelolaan tabungan siswa
tersebut tergantung kebijakan kepala sekolah. Di beberapa sekolah, saya
menyaksikan tabungan langsung dikelola bendahara sekolah. Tidak seorang pun
guru diperkenankan mengelola tabungan. Namun, ada juga sekolah lain yang
memperbolehkan masing-masing guru kelas mengelolanya. Tanpa kecuali.
Masalah waktu penerimaan
tabungan siswa pun beragam. Ada sekolah yang menerima tabungan siswa setiap
hari. Tetapi, ada juga sekolah yang hanya menerima tabungan seminggu dua kali.
Kondisi demikian tergantung leadhersip SD setempat.
ATM yang dihimpun, dikelola,
dan diolah oleh guru-guru SD merupakan upaya meningkatkan kesadaran menabung. Dengan
demikian, budaya menabung masyarakat kita semakin tumbuh seiring perjalanan
waktu. Sayang budaya menabung dikalangan warga sekolah ini masih ternodai oleh
oknum guru/bendahara yang tidak pandai mengelola ATM. Dampaknya, citra yang
bersangkutan menjadi rusak.
Beberapa kasus dilapangan
menunjukkan, saat ATM harus dibagikan kepada siswa, guru pengelola tidak mampu
membuktikannya. Terang saja kondisi itu memicu kemarahan orang tua siswa.
Mereka berbondong-bondong mendatangi guru dan meminta pertanggungjawabannya.
Yang paling menyakitkan dari
kasus di atas, ada orang tua siswa yang memaki-maki guru dengan kata-kata bernada
kasar. Di samping itu, ada orang tua siswa yang mengintimidasi dan mengancam guru,
jika dalam rentang waktu tertentu ATM tidak dibagikan, maka sikap anarkis akan
dilakukan mereka. Di samping itu, pernah terjadi kasus kemacetan ATM, orang tua
melibatkan pihak berwajib.
Fenomena kemacetan ATM oleh
pihak guru atau bendahara sekolah bukan rahasia umum lagi. Disinyalir kondisi
ini merupakan salah satu “penyakit akut” yang sering menimpa guru-guru SD.
Baik, di wilayah pedesaan maupun di perkotaan di negeri ini. Sebagai sesama
pendidik saya merasa prihatin. Keprihatinan terhadap kondisi itu, memicu nurani
saya untuk mengkaji, menganalisis, dan mencoba menawarkan solusi alternatif
menghadapi kasus ATM, khususnya di kabupaten Majalengka.
Kajian terhadap kasus ATM di
Kabupaten Majalengka sudah saya lakukan sejak tahun 2007 hingga sekarang. Populasinya
SD-SD di wilyah UPTD pendidikan se-kabupaten Majalengka. Meskipun kajian ini
tidak dilakukan secara format ilmiah, namun riset ini dapat membantu tentang
perkembangan dan cara memecahkan persoalan kemacetan ATM oleh guru/bendahara di
kabupaten Majalengka.
Makan
Sate Bayar Sapi
Ada seloroh yang lahir dari
rekan sejawat, ketika saya mendiskusikan tentang fenomena ATM versus citra
guru. Seloroh tersebut, yakni “makan sate bayar sapi!” Maksudnya, menerima,
menampung, dan mengelola ATM ibarat makan sate setiap hari. Namun, pada bulan
Juni pengelola ATM (guru/bendahara) harus mengembalikan uang seharga sapi.
Sepintas seloroh tersebut
mengundang gelak tawa. Namun, jika dikaji dari sisi filosofinya. Seloroh
sederhana itu mengandung makna yang sangat dalam. Ya, pada realitanya ATM persis seperti itu. Bagi rekan guru yang
terbiasa mengelola uang ATM pasti merasakan kondisi serupa.
Berdasarkan temuan di
lapangan antara 2009-2010, 90% ATM sekolah di Kab. Majalengka di simpan di bank.
Sedangkan 10%nya ATM di kelola oleh guru kelas atau bendahara. Adapun bank yang
menjadi pilihan utama untuk menyimpan ATM, yakni BRI unit. Pemilihan BRI unit
disebabkan bank terdekat dengan lembaga sekolah.
Sebagaimana kita ketahui,
SD-SD di kabupaten Majalengka secara demografi mayoritas berada di wilayah
pedesaan. Maka, pemilihan BRI Unit yang ada di kecamatan merupakan pilihan
terdepan di samping Bank Jabar Banten (BJB), BCA, BNI, BMI, kantor pos, dan
bank Mandiri. Dengan demikian, proyeksi tingkat kemacetan ATM secara umum di
kabupaten Majalengka sangat rendah.
Meskipun demikian, sebagai
antisipasi terhadap tingkat kemacetan ATM yang dikelola guru/bendahara, pihak
UPTD kecamatan di kabupaten Majalengka sudah mengintruksikan agar penerimaan
ATM hanya sampai bulan Maret 2011.
Intruksi tersebut memiliki
kebaikan dan kekurangan. Kebaikan yang dimaksud jika terjadi kemacetan ATM,
sejak dini bisa diantisipasi. Masih ada tiga bulan untuk mencari solusi ATM.
Sedangkan kekurangan yang dimaksud banyak orang tua siswa yang merasa mengeluh
dan kecewa dengan kebijakan ini. Mereka tidak bisa menabung. Padahal menurut
beberapa orang tua yang saya wawancarai, mereka tidak bisa menyimpan uang hasil
pertanian kecuali di sekolah.
“Kalau tiap hari menabung di
BRI kecamatan jauh pak, habis sama ongkos ojeg, lebih baik menyimpan uang
tabungan di sekolah melalui anak saya!” ujarnya ketika saya menyarankan
menyimpan setoran ke BRI unit di kecamatan. Dalih yang disampaikan orang tua
siswa itu logis. Kondisi demikian cenderung disebabkan faktor demografi.
Budaya
Menabung
Semangat menabung warga
sekolah di Kabupaten Majalengka sangat luar biasa! Sebagai sample riset, penerimaan tabungan siswa di SD-SD di wilayah UPTD
pendidikan kecamatan Argapura kabupaten Majalengka tahun pelajaran 2009-2010 mencapai
Rp600.000,00 hingga Rp800.000,00/harinya.
Penerimaan itu berdasarkan akumulasi
tabungan dari siswa kelas I-VI. Sehingga tahun pelajaran yang sama, UPTD pendidikan
kecamatan Argapura misalnya, memiliki data akumulasi tabungan siswa sekitar Rp
920 juta atau sekitar satu miliar kurang dari 26 SD di wilayahnya.
Fenomena itu, sangat
menarik. Bukan saja dari sisi jumlah tabungan, melainkan tingkat kesadaran
menabung masyarakat di kabupaten Majalengka yang cukup tinggi. Itulah sebabnya,
upaya peningkatan motivasi menabung warga sekolah harus terus dilakukan.
Pada sisi lain, untuk
mencegah agar tidak terjadi kemacetan ATM oleh guru/bendahara sekolah di
kabupaten Majalengka, maka perlu diimplementasikan sejenis pendidikan dan
pelatihan (diklat) manajemen keuangan rumah tangga guru secara kontinu, percepatan
pemerataan kesejahteraan guru dalam bentuk sertifikasi, adanya keseimbangan
antara pemasukan dan pengeluaran, menekan keinginan/ gaya hidup, program gaji
13 dan fungsional yang berkesinambungan, serta tidak mudahnya lembaga
keuangan/bank memberikan pinjaman kepada calon nasabah.
Catatan
Akhir
Guru yang diproyeksikan oleh
undang-undang sebagai pekerja profesional belum sepenuhnya dinikmati oleh guru
itu sendiri. Kondisi itu tercermin dari lemahnya kesejahteraan yang dinikmati
selama ini, pendidikan mereka yang rendah, dan kinerja guru yang perlu terus ditingkatkan.
Lemahnya tiga mata rantai di
atas, menyebabkan guru terjebak pada manajerial “dapur” dan mutu pendidikan
yang masih rendah. Perlu diakui, belum meratanya penerimaan sertifikasi guru saat
ini, mengakibatkan kesejahteraan ekonomi guru rendah. Rendahnya ekonomi guru memicu
mereka untuk (selalu) meminjam ATM yang dikelolanya. Namun, kebutuhan hidup
yang terus meningkat, menyebabkan guru-guru yang meminjam ATM terjebak pada kesulitan
pengembalian.
Kesulitan pengembalian ATM
menimbulkan kemarahan orang tua siswa. Ujungnya, guru menjadi sasaran caci maki
masyarakat. Dengan demikian citra guru menjadi terpuruk di mata umat. Dengan
terpuruknya citra guru, apalagi yang bisa dibanggakan? Maka, slogan yang
dikibarkan PGRI, guru sejahtera, terlindungi, dan bermutu semoga menjadi
kenyataan.*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar