Mencermati
Produktivitas PNS di Bulan Ramadan
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)
Kementerian Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) mewanti-wanti PNS
tidak boleh meremehkan pekerjaan selama beribadah puasa Ramadan. Selama satu bulan,
jam pelayanan masyarakat tidak boleh dipangkas atau disunat. Pelayanan dalam
sepekan tetap 37,5 jam. Ketentuan jam kerja PNS tersebut sesuai dengan
peraturan pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun
2010 tentang Disiplin PNS.
PNS sebagai aparatur negara,
abdi negara, dan abdi masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan selayaknya menjadi panutan. Di samping itu, karena tugas utama PNS
adalah melayani publik dengan mengacu pada kepuasaan pelanggan, maka tak bisa
dipungkiri kalau konsep mendahulukan kepentingan pelanggan merupakan prioritas
utama.
Pelayanan publik tak pernah surut
karena waktu, termasuk bulan Ramadan. Itulah sebabnya, bulan Ramadan sebaiknya
tidak dijadikan alasan, bekerja boleh asal-asalan karena sedang berpuasa.
Idealnya, bulan Ramadan menjadi
parameter kinerja seorang muslim. Kondisi ini seirama dengan hadis riwayat
Thabrani,” Dari Ubadah bin Shamit ra, sesungguhnya pada suatu hari ketika
Ramadan hampir tiba Rasulullah saw bersabda, “Telah datang kepadamu bulan
Ramadan, dimana Allah melimpahkan keberkahan, menurunkan rahmat dan mengampuni
dosa-dosamu, menerima doa-doamu, melihat atas perlombaan kamu (dalam kebaikan)
dan membanggakanmu di hadapan para malaikat. Maka tunjukkanlah kepada Allah
Swt., kebaikanmu. Sesungguhnya orang yang celaka adalah dia yang terhalang dari
rahmat Allah pada bulan ini.”
Hadis tersebut memberi
gambaran, betapa dahsyatnya eksistensi Ramadan. Di samping itu, hadis ini
memberi penekanan kepada kita, agar berlomba-lomba dalam kebaikan. Kebaikan
yang dimaksud tentu bukan saja dalam bentuk sedekah terhadap sesama, melainkan juga
pada tataran etos kerja. Ramadan menjadi
salah satu bentuk tolak ukur etos kerja muslim.
Etos kerja yang rendah pada
hakikatnya bukan merupakan identitas muslim sebagaimana diungkapkan, dari Abu
Hurairah ra berkata, ”Rasulullah saw., bersabda, “Banyak orang yang berpuasa
tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus, dan
banyak orang yang bangun (salat) pada malam hari tetapi tidak memperoleh
apa-apa dari salatnya kecuali letih (karena berjaga malam).” (HR. Ibnu Majah,
Nasai, Ibnu Khuzaimah).
Menurut Syaikhul Hadits
Maulana Muhammad Zakariyya (2001: 499) hadis itu menjelaskan, pertama, tentang
mereka yang berpuasa pada siang hari, tetapi berbuka dengan makanan haram.
Berapapun banyak ganjaran puasanya namun tidak melebihi dosa besarnya karena
makan makanan haram. Kedua, menyatakan tentang orang-orang yang berpuasa tetapi
masih tetap melakukan ghibah (membicarakan keburukan orang lain).
Ketiga, hadits di atas
menyebutkan tentang orang-orang yang berpuasa tetapi mereka tidak mencegah
dirinya dari perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa. Dalam hadits di atas juga
tersirat segala kemungkinan dalam penafsirannya, termasuk tiga penafsiran di
atas. Begitu pula halnya dengan orang yang berjaga di malam hari untuk
mengerjakan salat nafil, tetapi tetap
membicarakan keburukan orang walaupun sedikit.
Padahal Rasulullah sudah
mewanti-wanti puasa ibarat perisai. Dari Abu Ubaidah ra berkata, “Aku telah
mendengar Rasulullah saw., bersabda, “Puasa adalah sebagai perisai, selagi dia
tidak memecahkan perisai itu.” (HR. Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan
Hakim).
MENJAGA
PRODUKTIVITAS
Menjaga produktivitas
pelayanan kepada masyarakat, bagi seorang PNS di bulan Ramadan merupakan prioritas.
Sebagaimana kita pahami bersama, standar mutu pelayanan dalam birokrasi
mencakup empat dimensi, yakni dimensi waktu, dimensi biaya, dimensi kualitas
dan dimensi moral.
Dimensi waku terkait dengan
komitmen aparatur dalam menyelesaikan atau memberikan pelayanan sesuai dengan
lamanya waktu yang dibutuhkan. Dalam hal ini pelanggan (baca: masyarakat) akan
diberitahu berapa lama proses pelayanan akan selesai.
Adapun dimensi biaya terkait
dengan transparansi tentang besarnya biaya yang dibebankan kepada pelanggan
dalam suatu jenis layanan. Jadi dalam hal ini pelanggan akan mengetahui secara
terbuka berapa biaya yang harus ditanggung dan informasi mengenai biaya juga
harus transparan. Kondisi ini dimaksudkan untuk menghindari dari tindakan
petugas memungut biaya melebihi standar.
Selanjutnya, dimensi
kualitas terkait dengan produk layanan yang dihasilkan, apakah sesuai dengan
standar mutu yang ada atau tidak. Sementara itu, dimensi moral terkait dengan
mentalitas aparatur dalam memberikan pelayanan. Seperti kedisiplinan dalam
memberikan layanan sehingga tidak memprosesnya diluar prosedur dan mencari
keuntungan pribadi (Sutopo dan Adi Suryanto, 23: 25).
Standar mutu pelayanan
tersebut tetap berlaku dan menjadi tolak ukur kinerja PNS kapan dan dimana saja.
Bagi PNS kepuasan pelanggan merupakan tujuan utama pelayanan prima. Karenanya,
setiap aparatur berkewajiban untuk berupaya memuaskan pelangganya.
Kepuasan pelanggan dapat
dicapai apabila aparatur pelayanan mengetahui siapa pelangganya, baik pelanggan
internal maupun eksternal. Dengan mengetahui siapa pelanggannya, maka aparatur
pelayanan akan dapat mengidentifikasi apa keinginan pelanggan. Salah satu
indikator danya kepuasan pelanggan adalah tidak adanya keluhan dari pelanggan.
KEBIJAKAN
PEMDA
Dalam rangka menjembatani
kepuasaan pelanggan dan produktivitas kerja PNS di bulan Ramadan, setiap
pemerintahan daerah memiliki kebijakan dalam mengatur kinerja aparaturnya. Kondisi
ini seirama dengan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pemda Majalengka, misalnya
jauh-jauh hari sebelum Ramadan sudah mengeluarkan surat edaran tentang kinerja
PNS di kabupaten Majalengka sebagaimana tertuang dalam Surat edaran Bupati
Majalengka No. BKD/800/1208/2011 tanggal 25 Juli 2011 Perihal jam kerja
PNS selama bulan Ramadan 1432 H.
Saya kira surat edaran
bupati sejenis itu termasuk kategori normatif dalam tataran birokrasi pemda.
Namun, ada beberapa kajian kritis yang perlu mendapat apresiasi kita. Apakah
kebijakan tersebut ditaati dan dilaksanakan sepenuhnya oleh aparatur dilapangan?
Apakah kebijakan itu cenderung mengutamakan pelanggan (masyarakat) atau
sebaliknya? Apakah ada monitoring dan evaluasi nyata sebelum, sedang atau pasca
Ramadan terkait dengan surat edaran itu?
Sederet kajian kritis di
atas, akhirnya berpulang kembali kepada dimensi mental aparatur sebagaimana
dikemukakan pada awal tulisan. Seorang aparatur yang baik, tentu akan menghormati
dan melaksanakan kebijakan pemda sebagai langkah strategis dalam mengutamakan
pelayanan publik.(*)
*)
Penulis : Pengamat pendidikan dan sosial. Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Majalengka. HP 081 3131 789
79 (simpati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar