Translate

Jumat, 14 September 2012

Mencermati Produktivitas PNS di Bulan Ramadan


Mencermati Produktivitas PNS di Bulan Ramadan
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)


Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) mewanti-wanti PNS tidak boleh meremehkan pekerjaan selama beribadah puasa Ramadan. Selama satu bulan, jam pelayanan masyarakat tidak boleh dipangkas atau disunat. Pelayanan dalam sepekan tetap 37,5 jam. Ketentuan jam kerja PNS tersebut sesuai dengan peraturan pemerintah (PP)  Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
PNS sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan selayaknya menjadi panutan. Di samping itu, karena tugas utama PNS adalah melayani publik dengan mengacu pada kepuasaan pelanggan, maka tak bisa dipungkiri kalau konsep mendahulukan kepentingan pelanggan merupakan prioritas utama.
Pelayanan publik tak pernah surut karena waktu, termasuk bulan Ramadan. Itulah sebabnya, bulan Ramadan sebaiknya tidak dijadikan alasan, bekerja boleh asal-asalan karena sedang berpuasa.
Idealnya, bulan Ramadan menjadi parameter kinerja seorang muslim. Kondisi ini seirama dengan hadis riwayat Thabrani,” Dari Ubadah bin Shamit ra, sesungguhnya pada suatu hari ketika Ramadan hampir tiba Rasulullah saw bersabda, “Telah datang kepadamu bulan Ramadan, dimana Allah melimpahkan keberkahan, menurunkan rahmat dan mengampuni dosa-dosamu, menerima doa-doamu, melihat atas perlombaan kamu (dalam kebaikan) dan membanggakanmu di hadapan para malaikat. Maka tunjukkanlah kepada Allah Swt., kebaikanmu. Sesungguhnya orang yang celaka adalah dia yang terhalang dari rahmat Allah pada bulan ini.”
Hadis tersebut memberi gambaran, betapa dahsyatnya eksistensi Ramadan. Di samping itu, hadis ini memberi penekanan kepada kita, agar berlomba-lomba dalam kebaikan. Kebaikan yang dimaksud tentu bukan saja dalam bentuk sedekah terhadap sesama, melainkan juga pada tataran etos kerja.  Ramadan menjadi salah satu bentuk tolak ukur etos kerja muslim.
Etos kerja yang rendah pada hakikatnya bukan merupakan identitas muslim sebagaimana diungkapkan, dari Abu Hurairah ra berkata, ”Rasulullah saw., bersabda, “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus, dan banyak orang yang bangun (salat) pada malam hari tetapi tidak memperoleh apa-apa dari salatnya kecuali letih (karena berjaga malam).” (HR. Ibnu Majah, Nasai, Ibnu Khuzaimah).
Menurut Syaikhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya (2001: 499) hadis itu menjelaskan, pertama, tentang mereka yang berpuasa pada siang hari, tetapi berbuka dengan makanan haram. Berapapun banyak ganjaran puasanya namun tidak melebihi dosa besarnya karena makan makanan haram. Kedua, menyatakan tentang orang-orang yang berpuasa tetapi masih tetap melakukan ghibah (membicarakan keburukan orang lain).
Ketiga, hadits di atas menyebutkan tentang orang-orang yang berpuasa tetapi mereka tidak mencegah dirinya dari perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa. Dalam hadits di atas juga tersirat segala kemungkinan dalam penafsirannya, termasuk tiga penafsiran di atas. Begitu pula halnya dengan orang yang berjaga di malam hari untuk mengerjakan salat nafil,  tetapi tetap membicarakan keburukan orang walaupun sedikit.
Padahal Rasulullah sudah mewanti-wanti puasa ibarat perisai. Dari Abu Ubaidah ra berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw., bersabda, “Puasa adalah sebagai perisai, selagi dia tidak memecahkan perisai itu.” (HR. Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim).
MENJAGA PRODUKTIVITAS
Menjaga produktivitas pelayanan kepada masyarakat, bagi seorang PNS di bulan Ramadan merupakan prioritas. Sebagaimana kita pahami bersama, standar mutu pelayanan dalam birokrasi mencakup empat dimensi, yakni dimensi waktu, dimensi biaya, dimensi kualitas dan dimensi moral.
Dimensi waku terkait dengan komitmen aparatur dalam menyelesaikan atau memberikan pelayanan sesuai dengan lamanya waktu yang dibutuhkan. Dalam hal ini pelanggan (baca: masyarakat) akan diberitahu berapa lama proses pelayanan akan selesai.
Adapun dimensi biaya terkait dengan transparansi tentang besarnya biaya yang dibebankan kepada pelanggan dalam suatu jenis layanan. Jadi dalam hal ini pelanggan akan mengetahui secara terbuka berapa biaya yang harus ditanggung dan informasi mengenai biaya juga harus transparan. Kondisi ini dimaksudkan untuk menghindari dari tindakan petugas memungut biaya melebihi standar.
Selanjutnya, dimensi kualitas terkait dengan produk layanan yang dihasilkan, apakah sesuai dengan standar mutu yang ada atau tidak. Sementara itu, dimensi moral terkait dengan mentalitas aparatur dalam memberikan pelayanan. Seperti kedisiplinan dalam memberikan layanan sehingga tidak memprosesnya diluar prosedur dan mencari keuntungan pribadi (Sutopo dan Adi Suryanto, 23: 25).
Standar mutu pelayanan tersebut tetap berlaku dan menjadi tolak ukur kinerja PNS kapan dan dimana saja. Bagi PNS kepuasan pelanggan merupakan tujuan utama pelayanan prima. Karenanya, setiap aparatur berkewajiban untuk berupaya memuaskan pelangganya.
Kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila aparatur pelayanan mengetahui siapa pelangganya, baik pelanggan internal maupun eksternal. Dengan mengetahui siapa pelanggannya, maka aparatur pelayanan akan dapat mengidentifikasi apa keinginan pelanggan. Salah satu indikator danya kepuasan pelanggan adalah tidak adanya keluhan dari pelanggan.
KEBIJAKAN PEMDA
Dalam rangka menjembatani kepuasaan pelanggan dan produktivitas kerja PNS di bulan Ramadan, setiap pemerintahan daerah memiliki kebijakan dalam mengatur kinerja aparaturnya. Kondisi ini seirama dengan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pemda Majalengka, misalnya jauh-jauh hari sebelum Ramadan sudah mengeluarkan surat edaran tentang kinerja PNS di kabupaten Majalengka sebagaimana tertuang dalam Surat edaran Bupati Majalengka No. BKD/800/1208/2011 tanggal 25 Juli 2011 Perihal jam kerja PNS  selama bulan Ramadan  1432 H.
Saya kira surat edaran bupati sejenis itu termasuk kategori normatif dalam tataran birokrasi pemda. Namun, ada beberapa kajian kritis yang perlu mendapat apresiasi kita. Apakah kebijakan tersebut ditaati dan dilaksanakan sepenuhnya oleh aparatur dilapangan? Apakah kebijakan itu cenderung mengutamakan pelanggan (masyarakat) atau sebaliknya? Apakah ada monitoring dan evaluasi nyata sebelum, sedang atau pasca Ramadan terkait dengan surat edaran itu?
Sederet kajian kritis di atas, akhirnya berpulang kembali kepada dimensi mental aparatur sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan. Seorang aparatur yang baik, tentu akan menghormati dan melaksanakan kebijakan pemda sebagai langkah strategis dalam mengutamakan pelayanan publik.(*)
*) Penulis : Pengamat pendidikan dan sosial. Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Majalengka. HP 081 3131 789 79 (simpati)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar