Kajian
Kritis Moratorium PNS di Kab. Majalengka
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)
Wacana tentang perlunya pensiun
dini dan moratorium (penundaan sementara rekruitmen) PNS yang digulirkan
pemerintah pusat akhir-akhir ini, menjadi kajian yang menarik untuk dibahas. Ada
berbagai alasan yang dikemukakan pemerintah pusat, terkait dengan isu pensiun
dini dan moratorium yang ditawarkan kepada pemerintah daerah, yakni membengkaknya
belanja pegawai dari tahun ke tahun.
Data dari Badan Kepegawaian
Negara (BKN), jumlah belanja pegawai terus menanjak seiring naiknya jumlah
pegawai. Tercatat pada 2009, jumlah pegawai sebanyak 4.524.205 menyedot
anggaran sebesar Rp 127,67 triliun atau 20,3 persen dari APBN. Pada 2010,
jumlah pegawai meningkat menjadi 4.598.100 orang yang menghabiskan anggaran Rp
162,66 triliun (20,8 persen). Sementara pada 2011, sekitar Rp 180,82 triliun
(21,61 persen) diserap untuk menggaji 4.708.330 pegawai.
Sementara itu, Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) provinsi Jawa Barat, M. Solihin mengemukakan, jumlah
pegawai dilingkungan pemprov Jawa Barat berjumlah 14.458 orang. Sedangkan
jumlah PNS di kabupaten Majalengka menurut Kepala BKD, Siswantoro Stoven
berkisar angka 14.571 orang di semua golongan dan kepangkatan.
Kondisi tersebut tercakup
dalam struktur perangkat daerah di kabupaten Majalengka pada 2010 terdiri
dari satu sekretariat daerah, satu
sekretariat DPRD, lima staf ahli, duabelas Dinas, tujuh Badan, tiga kantor,
satu inspektorat, dua RSUD, satu Satuan Polisi Pamong Praja, 26 Kecamatan dan
13 Kelurahan. Sementara itu, jumlah struktur SKPD berdasarkan eselonering dan
jabatan terdiri dari satu Eselon IIA, 30 Eselon IIB, 65 Eselon IIIA, 106 Eselon
IIIB, 518 Eselon IVA, 213 Eselon IV
B, dan 77 Eselon IVA sehingga jumlah
jabatan struktural SKPD sebanyak 1.010 jabatan. Selanjutnya, jumlah PNS pada
setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah tingkat SD sebanyak 262 orang, SLTP
sebanyak 451 orang, SLTA 3.466 orang (SM, Mei/Th.V/2011).
Dengan bercermin pada
tataran data di atas, perlukah kabupaten Majalengka melakukan himbauan pensiun
dini kepada PNS dan moratorium?
BELANJA
PEGAWAI
Besaran anggaran belanja
pegawai yang terus melonjak, disinyalir merupakan salah satu biang keladi
lahirnya himbauan pensiun dini dan wacana moratorium PNS. Bahkan, Fitra (Forum
Indonesia untuk Transparnsi Anggaran)
menilai dengan anggaran belanja pegawai di atas 70% akan menyebabkan kebangkrutan
pemerintah daerah, sekaligus merupakan bukti kegagalan otonomi daerah (Otda). Meskipun
demikian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi E.E.
Mangindaan bersama sejumlah menteri terkait membantah argumentasi tersebut.
Terlepas dari konflik yang
tengah bergulir, saya menilai wacana pensiunan dini dan moratorium PNS harus
dikaji ulang secara optimal. Ada sejumlah pertimbangan yang harus menjadi
rekomendasi tentang masalah ini. Pertimbangan yang dimaksud, yakni kebutuhan
setiap pemerintah daerah terhadap eksistensi karyawannya yang tidak sama.
Dengan merujuk pada substansi ini, maka dapat dikatakan, setiap daerah tidak
bisa ikut-ikutan trend atau manut saja melakukan moratorium PNS.
Pertimbangan lain, Peraturan
Pemerintah (PP) yang mengatur tentang Otda dengan memberi ruang seluas-luasnya kepada
pemerintah daerah untuk berekspresi dalam menentukan kebijakan rumah tangganya.
Ekspresi yang dimaksud, bukan sekedar kebijakan yang bersifat internal, namun
lebih jauh bagaimana menentukan nasib dalam mensejahterakan rakyat.
Dengan beranjak dari dua
komponen mendasar di atas, maka dapat ditarik garis simpul, wacana pensiun dini
dan moratorium PNS bukan sekedar hak preogratif pemerintah pusat. Pemerintah
daerah sebagai mitra dalam kaitan ini pun, memiliki peran yang sangat urgen. Curah
gagas, urung rembug, dan duduk bersama dalam mengambil keputusan merupakan
langkah strategis dalam menyelesaikan masalah yang satu ini.
MORATORIUM
DI MAJALENGKA
Wacana moratorium di
Kabupaten Majalengka mendapat penilaian beragam dari berbagai kalangan. Adalah
wakil ketua DPRD kab. Majalengka, Drs. H Zack Jakaria Iskandar seperti dilansir
harian ini, misalnya setuju Pemkab Majalengka ikut melakukan langkah moratorium
CPNS, mengingat tingginya beban APBD saat ini.
Menurutnya, setiap
pembahasan APBD, anggaran biaya langsung atau biaya pegawai kerap menjadi
masalah, mengingat bebannya lebih besar dari biaya langsung untuk rakyat (HU
Radar Cirebon, 20/7). Opini yang disampaikan Zack pada media, idealnya dikaji ulang
terlebih dahulu dari berbagai sisi. Sebab, persoalan utama masalah ini bukan
pada pembahasan APBD, melainkan dampak positif negatif bagi rencana jangka
menengah pembangunan di kabupaten Majalengka jika moratorium diberlakukan.
Sebagaimana kita pahami
bersama, eksistensi PNS dalam ranah birokrasi memiliki peran sebagai pelayanan
publik, bukan pencari profite seperti
di perusahaan swasta. Dengan asumsi demikian, maka kehadiran PNS bukan “ongkos
tukang” yang selama ini dituduhkan beberapa kalangan.
Fungsi utama PNS adalah melakukan
pelayanan prima (excellent service) kepada publik. Tujuan pelayanan prima
adalah memberikan pelayanan yang dapat memenuhi dan memuaskan pelanggan atau
masyarakat serta memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan.
Pelayanan prima kepada
masyarakat di dasarkan pada tekad, “pelayanan adalah pemberdayaan” (Sutopo,
2003: 7). Jika pada sektor bisnis pelayanan selalu bertujuan atau berorientasi
keuntungan (profite) perusahaan. Pelayanan prima yang diberikan kepada
masyarakat pada dasarnya tidaklah mencari untung, tetapi memberikan pelayanan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat
secara baik.
Dengan mengacu pada
orientasi pelayanan prima, maka kajian kritis yang dikemukakan, apakah PNS di
Kab. Majalengka sudah konsisten melakukan pelayanan terbaik pada masyarakat
(pelanggannya)? Sisi lain, apakah kuota PNS di Majalengka dianggap berlebihan
sehingga perlu dilakukan moratorium?
CATATAN
AKHIR
Tujuan utama moratorium
adalah menekan membengkaknya tingkat anggaran belanja pegawai. Namun, apalah
artinya minimalis anggaran belanja pegawai kalau pelayanan publik semakin carut
marut. Sebagai perumpamaan, misalnya anggaran belanja pegawai untuk PNS guru
dan kesehatan ditekan sedemikian rupa. Maka, bisa dipastikan pelayanan
pendidikan dan kesehatan menjadi rendah.
Rendahnya pelayanan kedua
pilar tersebut akan menyebabkan terpuruknya komponen SDM dan tingkat kesehatan
masyarakat negeri ini. Betapa naifnya pemerintah, jika moratorium diberlakukan
kepada PNS guru dan kesehatan. Sisi lain yang perlu dikaji ulang, yakni bukan
mempermasalahkan besaran anggaran APBD untuk pegawai atau perampingan PNS,
tetapi pemda mencari terobosan baru dalam upaya meningkatkan kapasitas fiskalnya
(Pendapatan asli daerah).
Dengan formula ini diharapkan,
pelayanan publik tetap terjaga. Sementara efesiensi belanja pegawai dapat
dipertahankan. Akhir kata, semoga pemda Majalengka lebih arif menyiasati wacana
moratorium yang tengah bergulir.(*)
*) Penulis : Pengamat
pendidikan dan sosial. Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Majalengka. HP 081 3131 789
79 (simpati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar