Translate

Jumat, 14 September 2012

Kajian Kritis Moratorium PNS di Majalengka


Kajian Kritis Moratorium PNS di Kab. Majalengka
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)

Wacana tentang perlunya pensiun dini dan moratorium (penundaan sementara rekruitmen) PNS yang digulirkan pemerintah pusat akhir-akhir ini, menjadi kajian yang menarik untuk dibahas. Ada berbagai alasan yang dikemukakan pemerintah pusat, terkait dengan isu pensiun dini dan moratorium yang ditawarkan kepada pemerintah daerah, yakni membengkaknya belanja pegawai dari tahun ke tahun.
Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah belanja pegawai terus menanjak seiring naiknya jumlah pegawai. Tercatat pada 2009, jumlah pegawai sebanyak 4.524.205 menyedot anggaran sebesar Rp 127,67 triliun atau 20,3 persen dari APBN. Pada 2010, jumlah pegawai meningkat menjadi 4.598.100 orang yang menghabiskan anggaran Rp 162,66 triliun (20,8 persen). Sementara pada 2011, sekitar Rp 180,82 triliun (21,61 persen) diserap untuk menggaji 4.708.330 pegawai.
Sementara itu, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) provinsi Jawa Barat, M. Solihin mengemukakan, jumlah pegawai dilingkungan pemprov Jawa Barat berjumlah 14.458 orang. Sedangkan jumlah PNS di kabupaten Majalengka menurut Kepala BKD, Siswantoro Stoven berkisar angka 14.571 orang di semua golongan dan kepangkatan.
Kondisi tersebut tercakup dalam struktur perangkat daerah di kabupaten Majalengka pada 2010 terdiri dari  satu sekretariat daerah, satu sekretariat DPRD, lima staf ahli, duabelas Dinas, tujuh Badan, tiga kantor, satu inspektorat, dua RSUD, satu Satuan Polisi Pamong Praja, 26 Kecamatan dan 13 Kelurahan. Sementara itu, jumlah struktur SKPD berdasarkan eselonering dan jabatan terdiri dari satu Eselon IIA, 30 Eselon IIB, 65 Eselon IIIA, 106 Eselon IIIB, 518 Eselon IVA,  213 Eselon IV B,  dan 77 Eselon IVA sehingga jumlah jabatan struktural SKPD sebanyak 1.010 jabatan. Selanjutnya, jumlah PNS pada setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah tingkat SD sebanyak 262 orang, SLTP sebanyak 451 orang, SLTA 3.466 orang (SM, Mei/Th.V/2011).
Dengan bercermin pada tataran data di atas, perlukah kabupaten Majalengka melakukan himbauan pensiun dini kepada PNS dan moratorium?
BELANJA PEGAWAI
Besaran anggaran belanja pegawai yang terus melonjak, disinyalir merupakan salah satu biang keladi lahirnya himbauan pensiun dini dan wacana moratorium PNS. Bahkan, Fitra (Forum Indonesia  untuk Transparnsi Anggaran) menilai dengan anggaran belanja pegawai di atas 70% akan menyebabkan kebangkrutan pemerintah daerah, sekaligus merupakan bukti kegagalan otonomi daerah (Otda). Meskipun demikian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi E.E. Mangindaan bersama sejumlah menteri terkait membantah argumentasi tersebut.
Terlepas dari konflik yang tengah bergulir, saya menilai wacana pensiunan dini dan moratorium PNS harus dikaji ulang secara optimal. Ada sejumlah pertimbangan yang harus menjadi rekomendasi tentang masalah ini. Pertimbangan yang dimaksud, yakni kebutuhan setiap pemerintah daerah terhadap eksistensi karyawannya yang tidak sama. Dengan merujuk pada substansi ini, maka dapat dikatakan, setiap daerah tidak bisa ikut-ikutan trend atau manut saja melakukan moratorium PNS.
Pertimbangan lain, Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang Otda dengan memberi ruang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk berekspresi dalam menentukan kebijakan rumah tangganya. Ekspresi yang dimaksud, bukan sekedar kebijakan yang bersifat internal, namun lebih jauh bagaimana menentukan nasib dalam mensejahterakan rakyat.
Dengan beranjak dari dua komponen mendasar di atas, maka dapat ditarik garis simpul, wacana pensiun dini dan moratorium PNS bukan sekedar hak preogratif pemerintah pusat. Pemerintah daerah sebagai mitra dalam kaitan ini pun, memiliki peran yang sangat urgen. Curah gagas, urung rembug, dan duduk bersama dalam mengambil keputusan merupakan langkah strategis dalam menyelesaikan masalah yang satu ini.
MORATORIUM DI MAJALENGKA
Wacana moratorium di Kabupaten Majalengka mendapat penilaian beragam dari berbagai kalangan. Adalah wakil ketua DPRD kab. Majalengka, Drs. H Zack Jakaria Iskandar seperti dilansir harian ini, misalnya setuju Pemkab Majalengka ikut melakukan langkah moratorium CPNS, mengingat tingginya beban APBD saat ini.
Menurutnya, setiap pembahasan APBD, anggaran biaya langsung atau biaya pegawai kerap menjadi masalah, mengingat bebannya lebih besar dari biaya langsung untuk rakyat (HU Radar Cirebon, 20/7). Opini yang disampaikan Zack pada media, idealnya dikaji ulang terlebih dahulu dari berbagai sisi. Sebab, persoalan utama masalah ini bukan pada pembahasan APBD, melainkan dampak positif negatif bagi rencana jangka menengah pembangunan di kabupaten Majalengka jika moratorium diberlakukan.
Sebagaimana kita pahami bersama, eksistensi PNS dalam ranah birokrasi memiliki peran sebagai pelayanan publik, bukan pencari profite seperti di perusahaan swasta. Dengan asumsi demikian, maka kehadiran PNS bukan “ongkos tukang” yang selama ini dituduhkan beberapa kalangan.
Fungsi utama PNS adalah melakukan pelayanan prima (excellent service) kepada publik. Tujuan pelayanan prima adalah memberikan pelayanan yang dapat memenuhi dan memuaskan pelanggan atau masyarakat serta memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan.
Pelayanan prima kepada masyarakat di dasarkan pada tekad, “pelayanan adalah pemberdayaan” (Sutopo, 2003: 7). Jika pada sektor bisnis pelayanan selalu bertujuan atau berorientasi keuntungan (profite) perusahaan. Pelayanan prima yang diberikan kepada masyarakat pada dasarnya tidaklah mencari untung, tetapi memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan  masyarakat secara baik.
Dengan mengacu pada orientasi pelayanan prima, maka kajian kritis yang dikemukakan, apakah PNS di Kab. Majalengka sudah konsisten melakukan pelayanan terbaik pada masyarakat (pelanggannya)? Sisi lain, apakah kuota PNS di Majalengka dianggap berlebihan sehingga perlu dilakukan moratorium?
CATATAN AKHIR
Tujuan utama moratorium adalah menekan membengkaknya tingkat anggaran belanja pegawai. Namun, apalah artinya minimalis anggaran belanja pegawai kalau pelayanan publik semakin carut marut. Sebagai perumpamaan, misalnya anggaran belanja pegawai untuk PNS guru dan kesehatan ditekan sedemikian rupa. Maka, bisa dipastikan pelayanan pendidikan dan kesehatan menjadi rendah.
Rendahnya pelayanan kedua pilar tersebut akan menyebabkan terpuruknya komponen SDM dan tingkat kesehatan masyarakat negeri ini. Betapa naifnya pemerintah, jika moratorium diberlakukan kepada PNS guru dan kesehatan. Sisi lain yang perlu dikaji ulang, yakni bukan mempermasalahkan besaran anggaran APBD untuk pegawai atau perampingan PNS, tetapi pemda mencari terobosan baru dalam upaya meningkatkan kapasitas fiskalnya (Pendapatan asli daerah).
Dengan formula ini diharapkan, pelayanan publik tetap terjaga. Sementara efesiensi belanja pegawai dapat dipertahankan. Akhir kata, semoga pemda Majalengka lebih arif menyiasati wacana moratorium yang tengah bergulir.(*)
  *) Penulis : Pengamat pendidikan dan sosial. Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Majalengka. HP 081 3131 789 79 (simpati)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar