Potensi
Zakat di Indonesia dan Pemberdayaan Umat
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)
Rukun Islam terdiri atas
syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Secara fungsional, meminjam istilah
Eri Sudewo dalam “Manajemen Zakat
Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar” (2004), rukun Islam dibagi
menjadi dua, yakni rukun pribadi dan rukun masyarakat. Rukun pribadi adalah
syahadat, salat, puasa dan haji. Sedangkan rukun masyarakat hanya satu yakni
zakat.
Pada prakteknya rukun
pribadi dikerjakan karena yang menikmati langsung adalah yang bersangkutan.
Sedangkan rukun masyarakat ditunaikan untuk orang lain. Dalam pelaksanaannya
zakat ternyata melibatkan kehadiran pihak lain, dari muzaki, oleh amil, dan untuk mustahik. Karena melibatkan pihak lain
yakni amil sebagai pengelola dan mustahik
sebagai penerima zakat, maka rukun ini dikatakan menjadi rukun masyarakat.
Menurut Eri Sudewo, sukses
tidaknya rukun masyarakat, amat tergantung pada amil sebagai pengelola. Bila
amilnya jujur, amanah, profesional dan inovatif, insya Allah zakat akan
memiliki kontribusi besar bagi kalangan yang membutuhkan. Dengan demikian akan
semakin banyak muzaki yang
mempercayakan dananya. Sebaliknya jika amilnya tak jujur dan berkhianat,
celakalah bagi mustahik karena tak kebagian. Serta sia-sialah dana yang
disalurkan donatur pada amil yang tidak bisa dipercaya.
POTENSI
ZAKAT DI INDONESIA
Menurut catatan Bank Dunia
2000/2001 dalam “Attacking Poverty” tahun 1996 jumlah penduduk Indonesia yang
berada di bawah garis kemiskinan mencapai angka 11,3% kemudian meningkat
menjadi 20,3% pada tahun 1998 dan 66,1% atau sekitar 136,8 juta jiwa (1999).
Sementara itu potensi zakat
di Indonesia menurut Zaim Said (2002), sebagaimana pernah diungkapkan Menteri
Agama Indonesia Said Agil H. Munawar, minimal sebesar Rp7,5 triliun pertahun. Kondisi
ini seirama dengan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 32 juta penduduk
Indonesia merupakan penduduk muslim sejahtera dengan penghasilan sekitar Rp 10
juta hingga Rp 1 miliar per tahun per keluarga. Sementara itu, potensi zakat
mal yang terkumpul bisa mencapai sekitar Rp 7,5 triliun.
Selanjutnya, menurut Depag
(2002), zakat infak sedekah (ZIS) yang terkumpul dari masyarakat baru mencapai
Rp 208,2 miliar, zakat fitrah, Rp 25,7 miliar, zakat mal, Rp 13,8 miliar infak
dan sekitar Rp 144 miliar sedekah.
Seandainya seluruh kaum
muslimin di Indonesia berzakat dan terhimpun dana sebesar Rp 7,5 triliun
sebagaimana data di atas, lalu dibagikan secara konvensional, yakni charity (bagi habis) kepada seluruh
penduduk miskin (136,8 juta jiwa), maka setiap orang miskin dalam kurun waktu
satu tahun (365 hari) hanya akan menerima Rp 55.000,00 atau kurang dari Rp
5.000,00 per bulan.
Bisa dibayangkan uang
sebesar Rp 5.000,00 per bulan cukup untuk apa. Uang sebesar itu pada saat ini,
tidak mungkin cukup untuk “hidup”. Dengan demikian dapat disimpulkan, meskipun
dana zakat bisa terkumpul hingga Rp 7,5 triliun pertahun tidak bisa mengentaskan
kemiskinan di Indonesia.
Apalagi kalau kita menghitung
berdasarkan fakta yang ada, dana zakat yang disetorkan oleh masyarakat
Indonesia hingga saat ini baru mencapai Rp 3,74 triliun rupiah, maka jika dana
itu dibagi sama rata (charity) kepada
orang miskin di Indonesia, perseorangnya hanya akan menerima Rp 27,33 pertahun.
SALAH
KAPRAH
Dengan membaca data
kuantitas tentang potensi zakat di Indonesia, kita dapat menyimpulkan, eksistensi
dan sadar zakat masyarakat Indonesia dewasa ini masih rendah. Rendahnya sadar
zakat, juga tampak pada alur distribusi zakat yang dilakukan sebagian
besar masyarakat muslim Indonesia. Menurut Didin Hafidhudin (2005) ketua Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS), masyarakat kita masih salah kaprah dalam
mempersepsi distribusi zakat.
Dalam prakteknya menurut
Didin, zakat sering diberikan langsung kepada mustahik (penerima zakat), kiai, ustad, dan guru ngaji. Padahal
yang boleh langsung diberikan kepada mustahik,
kiai, ustad, dan guru ngaji hanyalah dana infak sedekah, sedangkan dana
zakat menurut contoh Rasulullah dan para sahabatnya langsung diserahkan atau
dijemput oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Hal tersebut sebagaimana
dijelaskan Alquran surat At Taubah ayat 60,”Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan budak), orang-orang yang
berhutang untuk di jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
Kondisi ini menjadi
tantangan tersendiri bagi LAZ dan BAZ di Indonesia. Lahirnya kondisi itu, tidak
terlepas dari citra sejarah yang melatarbelakanginya. Disinyalir, kontribusi zakat
yang dilakukan umaro, sejak negara ini berdiri hingga sekarang belum bisa
meraih simpati muzaki (pemberi
zakat). Seloroh yang tidak nyaman seperti, “kok zakat jadi jaket!” menunjukkan masih
muncul persepsi negatif terhadap kontribusi zakat yang dikelola oleh BAZ.
MEMBERDAYAKAN
POTENSI ZAKAT
Jika dana zakat dibagi
kepada yang berhaknya (mustahik)
dengan pola bagi habis (charity),
maka harapan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia tidak akan terwujud
sampai kapanpun. Akan menjadi lebih baik jika pengelolaan dana zakat yang masih
terbatas itu dikelola dengan cara produktif sehingga dana zakat bisa
berkesinambungan. Salah satu cara agar dana zakat tetap berkesinambungan, yakni
dengan memberdayakan zakat untuk kepentingan umat.
Pemberdayaan menurut kaca
mata Depsos (2004) mengandung makna adanya partisipasi seluruh sasaran
pelayanan, keluarga fakir miskin komunitas sekitarnya dan masyarakat pada
umumnya; melaksanakan dan mengendalikan program penanggulangan kemiskinan;
adanya peningkatan kemampuan fakir miskin dan penguatan kemampuan memanajemen
pengelolaan usaha produktif.
Bermuara dari ungkapan di
atas, maka eksistensi zakat pada dasarnya dapat dilakukan untuk pemberdayaan
umat dengan cara inovatif dan kreatif. Umat membutuhkan lembaga amil zakat dan amilin
yang profesional, jujur, amanah, sidiq, dan tanggungjawab. Tanpa mengindahkan
prinsip moral tersebut, mustahil zakat dapat berkembang dengan baik. Padahal
Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia.(*)
*)
Penulis : alumni santri karya pesantren Daarut Tauhiid Bandung. Amilin LAZNAS Dompet
Peduli Umat (DPU) Bandung periode 2002-2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar