Peran
Bimbel dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)
Dewasa ini
bimbingan belajar (Bimbel) sangat menjamur. Di kota-kota
besar, bimbel merupakan irisan pendidikan yang khas. Ciri khas inilah yang
menyebabkan bimbel banyak diserbu siswa.
Terlebih menjelang ujian Nasional (UN) atau
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Bimbel menjadi
primadona. Pesona bimbel memang luar biasa. Dari sisi pendidikan,
bimbel mampu mendorong dinamika pendidikan. Sedangkan dari sisi
bisnis, bimbel mampu menjaring lipatan uang yang luar
biasa.
Tengok
saja misalnya, bimbel milik Purdi E.
Chandra yang dikenal sebagai pengusaha yang sukses dibidang lembaga bimbel Primagama. Lewat Primagama Purdi sukses
sehingga mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) lantaran
memiliki 181 cabang di 96 kota besar di Indonesia. Tidak kurang 100 ribu siswa
tiap tahun belajar di Primagama. Kini Primagama menjadi perusahaan holding
company yang membawahi lebih dari 20 anak perusahaan.
Kehadiran bimbel disadari
atau tidak telah menjadi irisan tak terpisahkan dari hiruk pikuk dunia
pendidikan kita. Menengok agresivitas bimbel yang semakin dinamis di era global
sekarang ini, melahirkan pertanyaan mendasar, apakah benar eksistensi bimbel
membantu perkembangan pendidikan siswa Indonesia, atau hanya sekedar
fatamorgana pendidikan yang hanya meraup untung semata?
Tiga Aspek
Dalam ranah pendidikan
nasional, kita mengenal tiga aspek yang menjadi pedoman guru dalam mendidik
siswa, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif adalah
upaya guru dalam mengukur kemampuan siswa dalam memahami pelajaran.
Sedangkan, ranah afektif
adalah strategi guru dalam mengukur perubahan tingkah laku. Pengukuran ranah
afektif tidak semudah mengukur ranah kognitif. sebab pengukuran afektif siswa, tidak
dapat dilakukan setiap saat karena perubahan tingkah laku yang bersangkutan
yang dapat berubah sewaktu-waktu.
Selanjutnya, ranah
psikomotor adalah pengukuran terhadap hasil belajar berupa penampilan. Pada
umumnya untuk mengukur ranah psikomotor dimulai dengan pengukuran ranah
kognitif sekaligus.
Ketiga aspek di atas, dalam
proses selanjutnya harus melahirkan pembelajaran yang komprehensif. Artinya, hasil
pembelajaran yang diperoleh siswa sebaiknya menggambarkan keadaan siswa secara
keseluruhan seperti kecerdasan, sikap, pribadi, sosial dan sebagainya. Dengan
kata lain, kewajiban seorang guru dalam mengajar adalah memadukan ketiga aspek
itu sebagai kejaran utama.
Adanya
Ketimpangan
Sejak awal eksistensinya,
bimbel bukan semata-mata sebagai lembaga yang mendorong ketiga ranah pendidikan
menjadi padu. Bimbel cenderung hanya membangun aspek kognitif saja. Kondisi ini
dimaklumi sebab output utama bimbel, yaitu siswa mampu menjawab tes atau
evaluasi UN atau SNMPTN semata. Sehingga
siswa yang bersangkutan bisa diterima di perguruan tinggi negeri yang menjadi
idamannya.
Kejaran inilah yang
mendorong sebagian besar pakar pendidikan kerap menuding miring tentang kehadiran
bimbel. Mereka beranggapan bimbel hanya lembaga pendidikan yang berkedok
mencari keuntungan semata. Menurut mereka, bimbel sebenarnya hanya membantu
siswa dalam proses strategi memecahkan soal-soal yang mungkin akan keluar pada
saat UN atau SNMPT saja. Sedangkan aspek yang lainnya diabaikan.
Dengan demikian,
pembelajaran bimbel tidak memiliki irisan yang utuh dari ketiga ranah tujuan
pendidikandi atas. Bimbel pada dasarnya hanya membantu siswa dalam proses strategi
dalam memecahkan evaluasi sebagai tindak lanjut terakhir dalam pendidikan.
Sementara itu, banyak pula orang tua yang mengeluhkan biaya bimbel tidak
terjangkau alias mahal. Sehingga banyak siswa yang tidak bisa menikmati
eksistensi bimbel.
Bagi siswa miskin, bimbel
hanya impian. Karenanya, banyak siswa miskin yang merebut peluang PTN tanpa menikmati
bimbel. Kalaupun pihak bimbel berdalih, bimbel juga milik siswa marginal,
dengan bukti bimbel selalu melakukan tryout gratis menjelang UN atau SNMPTN.
Namun, masyarakat kecandung paham tryout gratis hanya sebuah layanan marketing
dalam menjaring calon siswa pasca tryout.
Idealisme
dan Binis
Eksistensi bimbel dalam
dunia pendidikan kita menjadi simalakama. Pada satu sisi, bimbel mendorong siswa
berperan dalam proses tindal lanjut pendidikan, yaitu evaluasi. Namun, pada
sisi lain bimbel tidak mengajarkan hakikat pendidikan itu sendiri, yakni aspek
psikomotor, kognitif dan afektif.
Sebagaimana kita pahami,
tujuan utama pendidikan nasional bukan
mengejar nilai semata. Angka yang diperoleh siswa hanya bagian terkecil dari
prosesi pendidikan. Itulah sebabnya, dalam penguatan nilai-nilai pendidikan
seperti peningkatan kedewasaan, keutuhan mentalitas siswa, pengembangan karakter kuat, dan estapet
budaya merupakan penjawantahan yang
tidak bisa ditolak.
Sekolah sebagai lembaga
budaya menjadi muara dalam pengembangan unsur-unsur tersebut. Maka kehadiran
bimbel yang hanya memiliki orientasi angka kelulusan, menjadi paradok yang
memprihatinkan. Betapa tidak, potret buram seperti ini dapat kita saksikan
beberapa tahun terakhir, misalnya ketika seorang siswa SMU tidak lulus UN
dengan mudah ia melakukan bunuh diri.
Rendahnya mentalitas para
pelajar kita, menaruhkan kepiluan yang amat sangat. Betapa sedihnya nasib
generasi bangsa ini ke depan, jika tujuan utama dari finishing pendidikan hanya
mengejar kelulusan dan nilai angka saja. (*)
Biodata Penulis
Contak Person Encon Rahman HP 081 3131 789 79 (simpati).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar