Translate

Jumat, 14 September 2012

Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan Pasca SMU


Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan Pasca SMU
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)


Aksi mengotori baju seragam dan pawai siswa SMU pasca kelulusan masih saja dipertontonkan anak negeri. Berbagai antisipasi kolektif sudah dilakukan pihak sekolah dan kepolisian.  Namun, tradisi curat coret dan pawai masih saja mewarnai gaya hidup remaja kita. Bukan saja di perkotaan, tradisi ini sudah mengakar pada siswa SMU di pedesaan.
Pada saat pawai keliling kota, ada hingar bingar yang mereka munculkan. Teriakan yang menggoda, suara knalpot yang memekikan telinga, serta aksi-aksi lain yang mencuri perhatian masyarakat sekitar. Wajah semeringah pun menghiasi seluruh relung aksi. Mereka tampak suka cita atas “kemenangan semu” yang diraih.
Remaja putera dan puteri berbaur dalam lautan kegembiraan. Bukan hanya dilingkungan sekolah, tapi menghiasi pula jalanan raya di sekitar sekolah. Dampaknya, sarana publik menjadi macet. Ugal-ugalan kerap mereka pertontonkan. Bahkan, nyawa pun dipertaruhkan. Pada saat itu, norma susila yang pernah diajarkan di sekolah seakan luntur. Tak berbekas dan hilang ditelan kesenangan yang bersifat fatamorgana.
Tradisi curat coret dan pawai merupakan manifestasi dari darah muda yang tengah membara. Selain karena faktor rambatan budaya global yang kian menggurita. Sekaligus, mereka tengah menunjukkan identitas diri. Adakah yang salah jika mereka menjustifikasi kegembiraan dengan ciri khas mereka sendiri? Mengapa masyarakat begitu antipasi terhadap tradisi curat-coret dan pawai yang dilakukan siswa SMU di negeri ini?
Mengelola Hidup
Tradisi curat coret baju seragam dan pawai pasca kelulusan yang dilakukan siswa SMU hanya ada di Indonesia. Di negeri lain, termasuk negeri tetangga tradisi ini tak familiar. Jika merunut waktu, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1980-an. Saya sendiri pernah menikmati “ritual” ini. Pada saat itu, kami patungan membeli spidol besar dan pilok warna warni. Pasca kelulusan diumumkan, aksi curat coret baju seragam pun dimulai. Kami bergantian mengotori baju seragam.
Pada saat mengotori baju seragam kami merasakan kenikmatan tersendiri. Bangga, puas, dan senang yang tiada tara. Ada pemikiran nakal teman-teman saya pada saat itu, “belum lulus sekolah kalau belum curat coret baju seragam!” Hanya pawai motor dan ugal-ugalan di jalan raya yang tidak pernah saya lakukan, kondisi itu dikarenakan orang tua melarang membawa  kendaraan roda dua ke sekolah.
Tiga minggu berselang, setelah paturay tineung (perpisahan) di sekolah, di antara kami ada yang melanjutkan kuliah. Menganggur. Bahkan, melangsungkan pernikahan. Pesta curat coret dan pawai di SMU akhirnya menjadi kenangan yang tak terlupakan. Setelah itu, kami pun melanjutkan hidup yang bukan sekedar hidup.
Mencermati fenomena tradisi yang demikian, saya memiliki asumsi aksi curat coret dan pawai siswa SMU merupakan gejala alamiah yang patut diapresiasi berbagai kalangan. Biarkan mereka menikmati “pesta” yang sedang dirayakannya, tanpa harus mendikte ekspresi yang tengah dilahirkan. Bedahlah ekspresi mereka dengan cara lebih arif. Misalnya, menyalurkan aksi curat coret mereka bukan pada baju seragam, melainkan pada kanvas-kanvas, tong sampah, atau dinding khusus yang disediakan oleh sekolah. Berilah reward bagi siswa yang hasil curat coretnya menggemaskan sebagai sebagai bukti apresiasi.
Demikian juga dengan arak-arakan sepanjang jalan kota.  Arahkan mereka dengan tertib, termasuk penggunaan helm, menghormati sesama pengguna jalan,  dan atribut kelengkapan di jalan raya. Bukan mencaci maki dan menghardiknya. Sebagai rasa empati, pak polisi dapat menjadi gardu terdepan dalam pengawalan pawai atau arak-arak siswa SMU.
Saya kira jika produk curat coret dan pawai dikemas dengan cantik, akan menjadi tradisi dan komoditas wisata yang menarik. Bukan saja untuk domestik, turis asing pun akan menyukainya. Sisi lain yang tak kalah pentingnya dalam kaitan ini, yakni pembekalan tentang cara mengelola hidup pasca SMU.
Pembekalan mengelola hidup pasca SMU diyakini akan mengubah pola pikir, paradigma dan mindset. Kondisi demikian diharapkan menjadi bekal yang mumpuni ketika mereka terjun menjadi warga masyarakat. Sehingga mereka merasakan manfaat untuk dirinya sendiri, untuk masyarakat, dan untuk  kemaslahatan umat.
Pembekalan mengelola hidup juga dapat dijadikan sebagai upaya preventif mencegah tawuran, mengkonsumsi obat terlarang, merusak lautan, udara, dan daratan. Realita sosial ini setidaknya menjadi ajang solusi alternatif terhadap maraknya kasus curat coret dan pawai pasca kelulusan yang tidak terkordinir.


Merencanakan Masa Depan
Di samping pembekalan mengelola hidup pasca SMU. Sisi lain yang dapat dijadikan bekal untuk mereka, yakni memprogramkan rencana masa depan masing-masing siswa. Dengan deskriptif yang sistematika dan alur yang jelas, diharapkan setiap siswa memiliki rujukan yang pasti tentang gambaran masa depan tentang dirinya sendiri, cita-cita, dan obsesinya.
Dengan arahan rancangan masa depan dari pihak guru, psikolog, atau motivator maka akan dibedah tentang pengenalan diri, pencarian kesempatan, penetapan tujuan, pemetaan hidup dan penyusunan proses. Meminjam ungkapan Marwah Daud Ibrahim (2004: 20), pengenalan diri dan pencarian peluang sangat penting karena tanpa keterampilan, kita sibuk menyalahkan keadaan atau orang lain: pemerintah, perbankan, luar negeri, agama lain, etnik lain, atasan, cuaca, dll. Padahal Tuhan sendiri mengingatkan bahwa kitalah yang seharusnya berketetapan mengubah nasib kita sendiri.
Selanjutnya dikatakan, keterampilan hidup ini penting dilatihkan dan dibiasakan karena jika hidup diibaratkan sebagai sebuah perjalanan, maka tanpa menetapkan tujuan dan penyusunan peta perjalanan serta proses penyiapan alat dan bekal kelengkapan perjalanan kita bagaikan membawa kapal layar kehidupan kita berputar-putar mengikuti arah gelombang tanpa kendali kita sama sekali.
Beranjak dari asumsi di atas, maka disinyalir keuntungan ganda yang akan diperoleh siswa SMU pasca membedah rencana masa depan dengan pisau pendidikan dan pelatihan, yakni perubahan dari berpikir negatif menjadi positif, kebiasaan berpikir jangka pendek ke berpikir jangka panjang, bekerja sendiri menjadi bekerja team, mencari-cari masalah menjadi menemukan solusi, tergantung menjadi mandiri, dan asal-asalan menjadi yang terbaik (Marwah, 2004: 24).
Catatan Akhir
Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan pihak sekolah tentang cara mengelola hidup dan merencanakan masa depan pasca kelulusan, akan memiliki dampak terhadap perubahan karakter bangsa, mindset individu, pola budaya dan visi bangsa itu sendiri.
Dengan kata lain, dapat dikemukakan suksesnya individu merupakan suksesnya sebuah bangsa. Sinyalamen ini berdasarkan makna bangsa itu sendiri, yakni bangsa adalah kumpulan individu.(*)

*) Penulis : Pengamat pendidikan dan sosial. Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Kabupaten Majalengka. HP 081 3131 789 79 (simpati)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar