Mengelola
Hidup dan Merencanakan Masa Depan Pasca SMU
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)
Aksi mengotori baju seragam
dan pawai siswa SMU pasca kelulusan masih saja dipertontonkan anak negeri.
Berbagai antisipasi kolektif sudah dilakukan pihak sekolah dan kepolisian. Namun, tradisi curat coret dan pawai masih
saja mewarnai gaya hidup remaja kita. Bukan saja di perkotaan, tradisi ini
sudah mengakar pada siswa SMU di pedesaan.
Pada saat pawai keliling
kota, ada hingar bingar yang mereka munculkan. Teriakan yang menggoda, suara
knalpot yang memekikan telinga, serta aksi-aksi lain yang mencuri perhatian
masyarakat sekitar. Wajah semeringah pun menghiasi seluruh relung aksi. Mereka
tampak suka cita atas “kemenangan semu” yang diraih.
Remaja putera dan puteri
berbaur dalam lautan kegembiraan. Bukan hanya dilingkungan sekolah, tapi
menghiasi pula jalanan raya di sekitar sekolah. Dampaknya, sarana publik
menjadi macet. Ugal-ugalan kerap mereka pertontonkan. Bahkan, nyawa pun dipertaruhkan.
Pada saat itu, norma susila yang pernah diajarkan di sekolah seakan luntur. Tak
berbekas dan hilang ditelan kesenangan yang bersifat fatamorgana.
Tradisi curat coret dan
pawai merupakan manifestasi dari darah muda yang tengah membara. Selain karena
faktor rambatan budaya global yang kian menggurita. Sekaligus, mereka tengah menunjukkan
identitas diri. Adakah yang salah jika mereka menjustifikasi kegembiraan dengan
ciri khas mereka sendiri? Mengapa masyarakat begitu antipasi terhadap tradisi
curat-coret dan pawai yang dilakukan siswa SMU di negeri ini?
Mengelola
Hidup
Tradisi curat coret baju
seragam dan pawai pasca kelulusan yang dilakukan siswa SMU hanya ada di
Indonesia. Di negeri lain, termasuk negeri tetangga tradisi ini tak familiar.
Jika merunut waktu, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1980-an. Saya sendiri
pernah menikmati “ritual” ini. Pada saat itu, kami patungan membeli spidol
besar dan pilok warna warni. Pasca kelulusan diumumkan, aksi curat coret baju
seragam pun dimulai. Kami bergantian mengotori baju seragam.
Pada saat mengotori baju
seragam kami merasakan kenikmatan tersendiri. Bangga, puas, dan senang yang
tiada tara. Ada pemikiran nakal teman-teman saya pada saat itu, “belum lulus
sekolah kalau belum curat coret baju seragam!” Hanya pawai motor dan
ugal-ugalan di jalan raya yang tidak pernah saya lakukan, kondisi itu dikarenakan
orang tua melarang membawa kendaraan
roda dua ke sekolah.
Tiga minggu berselang,
setelah paturay tineung (perpisahan) di
sekolah, di antara kami ada yang melanjutkan kuliah. Menganggur. Bahkan, melangsungkan
pernikahan. Pesta curat coret dan pawai di SMU akhirnya menjadi kenangan yang
tak terlupakan. Setelah itu, kami pun melanjutkan hidup yang bukan sekedar
hidup.
Mencermati fenomena tradisi
yang demikian, saya memiliki asumsi aksi curat coret dan pawai siswa SMU merupakan
gejala alamiah yang patut diapresiasi berbagai kalangan. Biarkan mereka
menikmati “pesta” yang sedang dirayakannya, tanpa harus mendikte ekspresi yang tengah
dilahirkan. Bedahlah ekspresi mereka dengan cara lebih arif. Misalnya, menyalurkan
aksi curat coret mereka bukan pada baju seragam, melainkan pada kanvas-kanvas,
tong sampah, atau dinding khusus yang disediakan oleh sekolah. Berilah reward bagi siswa yang hasil curat
coretnya menggemaskan sebagai sebagai bukti apresiasi.
Demikian juga dengan arak-arakan
sepanjang jalan kota. Arahkan mereka
dengan tertib, termasuk penggunaan helm, menghormati sesama pengguna jalan, dan atribut kelengkapan di jalan raya. Bukan
mencaci maki dan menghardiknya. Sebagai rasa empati, pak polisi dapat menjadi gardu
terdepan dalam pengawalan pawai atau arak-arak siswa SMU.
Saya kira jika produk curat
coret dan pawai dikemas dengan cantik, akan menjadi tradisi dan komoditas wisata
yang menarik. Bukan saja untuk domestik, turis asing pun akan menyukainya. Sisi
lain yang tak kalah pentingnya dalam kaitan ini, yakni pembekalan tentang cara mengelola
hidup pasca SMU.
Pembekalan mengelola hidup pasca
SMU diyakini akan mengubah pola pikir, paradigma dan mindset. Kondisi demikian diharapkan menjadi bekal yang mumpuni
ketika mereka terjun menjadi warga masyarakat. Sehingga mereka merasakan
manfaat untuk dirinya sendiri, untuk masyarakat, dan untuk kemaslahatan umat.
Pembekalan mengelola hidup
juga dapat dijadikan sebagai upaya preventif mencegah tawuran, mengkonsumsi
obat terlarang, merusak lautan, udara, dan daratan. Realita sosial ini setidaknya
menjadi ajang solusi alternatif terhadap maraknya kasus curat coret dan pawai
pasca kelulusan yang tidak terkordinir.
Merencanakan
Masa Depan
Di samping pembekalan
mengelola hidup pasca SMU. Sisi lain yang dapat dijadikan bekal untuk mereka,
yakni memprogramkan rencana masa depan masing-masing siswa. Dengan deskriptif
yang sistematika dan alur yang jelas, diharapkan setiap siswa memiliki rujukan
yang pasti tentang gambaran masa depan tentang dirinya sendiri, cita-cita, dan
obsesinya.
Dengan arahan rancangan masa
depan dari pihak guru, psikolog, atau motivator maka akan dibedah tentang
pengenalan diri, pencarian kesempatan, penetapan tujuan, pemetaan hidup dan
penyusunan proses. Meminjam ungkapan Marwah Daud Ibrahim (2004: 20), pengenalan
diri dan pencarian peluang sangat penting karena tanpa keterampilan, kita sibuk
menyalahkan keadaan atau orang lain: pemerintah, perbankan, luar negeri, agama
lain, etnik lain, atasan, cuaca, dll. Padahal Tuhan sendiri mengingatkan bahwa
kitalah yang seharusnya berketetapan mengubah nasib kita sendiri.
Selanjutnya dikatakan,
keterampilan hidup ini penting dilatihkan dan dibiasakan karena jika hidup
diibaratkan sebagai sebuah perjalanan, maka tanpa menetapkan tujuan dan
penyusunan peta perjalanan serta proses penyiapan alat dan bekal kelengkapan
perjalanan kita bagaikan membawa kapal layar kehidupan kita berputar-putar
mengikuti arah gelombang tanpa kendali kita sama sekali.
Beranjak dari asumsi di
atas, maka disinyalir keuntungan ganda yang akan diperoleh siswa SMU pasca
membedah rencana masa depan dengan pisau pendidikan dan pelatihan, yakni
perubahan dari berpikir negatif menjadi positif, kebiasaan berpikir jangka
pendek ke berpikir jangka panjang, bekerja sendiri menjadi bekerja team,
mencari-cari masalah menjadi menemukan solusi, tergantung menjadi mandiri, dan
asal-asalan menjadi yang terbaik (Marwah, 2004: 24).
Catatan
Akhir
Pendidikan dan pelatihan
yang diselenggarakan pihak sekolah tentang cara mengelola hidup dan
merencanakan masa depan pasca kelulusan, akan memiliki dampak terhadap
perubahan karakter bangsa, mindset
individu, pola budaya dan visi bangsa itu sendiri.
Dengan kata lain, dapat
dikemukakan suksesnya individu merupakan suksesnya sebuah bangsa. Sinyalamen
ini berdasarkan makna bangsa itu sendiri, yakni bangsa adalah kumpulan individu.(*)
*) Penulis : Pengamat pendidikan dan sosial.
Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Kabupaten Majalengka. HP 081 3131
789 79 (simpati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar