Translate

Sabtu, 15 September 2012

Rahasia menjadi penulis yang produktif



Rahasia Menjadi Penulis yang Produktif
Oleh: Encon Rahman, S.Pd

            Proses kreatif lahir dimana saja. Tak mengenal tempat. Tak mengenal waktu. Sebagai seorang penulis freelance, saya sering merasakan kondisi itu. Kondisi serupa ternyata juga dialami oleh rekan-rekan wartawan. Mereka merasakan kondisi yang sama. Jika sudah demikian, tak ada pilihan lain kecuali segera menuangkannya pada tut-tut komputer.
            Jika dibiarkan, ilham bisa hilang begitu saja. Tanpa bekas. Tanpa sisa. Ilham sering datang dan pergi tanpa permisi. Yang paling “menjengkelkan” menurut saya, jika tiba-tiba ilham hadir saat gerakan salat tengah dilakukan. Salat menjadi kurang sungguh-sungguh. Akibatnya, konsentrasi terpecah. Dampaknya bisa ditebak, gerakan salat lebih cepat dari biasanya.
            Ilham, ide, atau pirasat sering datang tanpa diundang. Eksistensinya selalu menekan otak sadar kita untuk segera merealisasikannya. Jika tidak diikuti, rasanya ada sesuatu yang kurang. Dampaknya, ide harus segera kita bedah. Mengikat dengan cara menuliskannya.
            Ide merupakan proses kreatif. Proses kreatif bisa menjamur, apabila banyak membaca. Tanpa membaca, rasa-rasanya ide kreatif tak pernah hadir. Asumsi ini seirama dengan argumentasi Bambang Trims (penulis buku), menurutnya ada tiga tips agar proses kreatif muncul. Pertama, banyak berjalan (instal pengalaman pribadi). Kedua, banyak silaturahmi (instal pengalaman orang lain). Ketiga, banyak membaca (instal ilmu).
            Membaca bagi seorang penulis adalah pekerjaan. Tanpa membaca mustahil proses kreatif akan stagnan. Saya sendiri memiliki tekad membaca dan menulis merupakan pekerjaan yang sifatnya wajib. Jika sehari saja tidak membaca-menulis berarti kerugian. Itulah sebabnya, melahap buku apapun wajib dilakukan. Kapan dan dimana saja.
Ibarat menguyah makanan, membaca adalah amunisi. Semakin banyak menguyah semakin bertambah amunisi. Tak heran, beberapa rekan saya yang selalu membaca, rata-rata mereka produktif menghasilkan berbagai tulisan. Coretan-coretan itu, tidak terlepas dari amunisi yang ia kunyah.
Dengan kata lain, penulis hebat adalah pembaca hebat. Karenanya membaca dan menulis ibarat sisi mata uang logam. Sulit dibedakan. Maka tak bisa dipungkiri apabila muncul ungkapan, apa yang kita baca merupakan apa yang kita tulis. Apa yang kita tulis, berdasarkan apa yang kita baca.
Dalam mendongkrak tulisan, selain banyak membaca. Juga dapat dilakukan dengan bergabung pada komunitas penulis. Komunitas penulis merupakan wahana kreatif sebagai upaya meningkatkan stamina menulis. Stamina menulis kerap naik turun. Kondisi ini tergantung pada situasi hati dan lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, agar stamina menulis tetap fit dibutuhkan obat. Obat yang dimaksud berupa lingkungan yang kondusif, yakni adanya kebersamaan sesama penulis. Interaktif antar penulis diyakini merupakan strategi yang mujarab agar menulis tidak mandul. Kenyataannya, seringkali beberapa rekan penulis yang sangat produktif tiba-tiba menjadi loyo dan tidak bergairah.
Ketika saya mencoba mendiagnosa, kenapa hal itu bisa terjadi. Salah satu penyebabnya, ternyata yang bersangkutan kurang stamina. Lemahnya stamina menyebabkan rendahnya daya saing. Kondisi tersebut diperburuk oleh lingkungan yang tidak mendukung. Maka lengkaplah penderitaan itu.
Komunitas menulis dewasa ini sangat menjamur. Dengan begitu, ini merupakan kesempatan terbaik, bagi penulis untuk merapatkan diri dalam kancah kebersamaan. Komunitas menulis ibarat kendaraan. Percepatan dan kemajuan dalam proses kreatif tidak diragukan lagi.
Banyak rekan-rekan saya yang aktif dalam komunitas`menulis akhirnya mendapatkan perahu untuk berlabuh. Fenomena ini bukan tanpa sebab. Eksistensi komunitas penulis bagaimanapun memiliki daya tawar tinggi terhadap perusahan-perusahan media.
Daya tawar tinggi tersebut seirama dengan semaraknya kompetitor perusahaan media di negeri ini. Dengan demikian, komunitas penulis yang proaktif dan responsif dalam kancah kepenulisan sering menjadi bidikan bagi insan media. Tak hayal kondisi tersebut merupakan mutualisma. Keduanya saling menguntungkan dan membutuhkan.
Dengan mengkaji prosfektif komunitas penulis di masa depan dan link media dewasa ini, maka keberadaan komunitas penulis bagi penulis freelance sangatlah urgen. Komunitas penulis menjadi barometer dalam memfilter siapa penulis produktif atau sebaliknya. Seirama dengan hal itu, komunitas penulis dapat menjadi ajang bergengsi dalam pengembangan karir kepenulisan. Banyak penulis juara pada lomba kepenulisan berasal dari komunitas penulis.
Di samping itu,  kehadiran komunitas`penulis bagi media cetak merupakan mitra yang potensial. Dikatakan demikian, karena banyak penulis yang aktif diberbagai awak media banyak berasal dari himpunan penulis. Awalnya para penulis itu produktif mengirimkan tulisan-tulisan ke berbagai media cetak.
Kesempatan selanjutnya adalah ketika media membutuhkan SDM yang handal sebagai ujung tombak media itu sendiri. Maka banyak penulis freelance yang aktif dalam komunitas penulis, akhirnya ditawari untuk bergabung. Seperti pucuk dicinta ulam tiba. Penulis dan media akhirnya bersatu membangun komitmen bersama.
Seiring waktu, komitmn itu terus berjalan. Demikian juga halnya dengan komunitas penulis. Kader demi kader terus dipersiapkan. Kesetiaan komunitas penulis menyiapkan para kader dalam prosesnya tidak semudah membalikan telepak tangan. Banyak kader rontok di tengah jalan.
Itulah sebabnya, kesabaran mendidik, membina, dan mengarahkan kader harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari misi. Meskipun kadang kesabaran dalam membina para penulis, kerap mendapat tantangan baik dari dalam maupun dari luar organisasi.
 Terlepas dari mekanisme pengkaderan, saya merasakan banyak keuntungan ketika saya bergabung dengan komunitas penulis. Keuntungan yang dimaksud di antaranya ide tidak pernah kering, ajang silaturahmi yang terus berkembang, serta informasi seputar kepenulisan yang selalu aktual.
Komunitas penulis yang saya ikuti hingga sekarang, yakni Balai Jurnalistik (BATIK) ICMI Jawa Barat dan Asosiasi Guru Penulis Indonesia. Komunitas ini bukan saja menelorkan kreativitas dalam bentuk jurnalis juga membimbing anggotanya untuk menjadi penulis freelance yang profesional.
            Profesionalisme penulis bukan ditentukan seberapa banyak honor yang diperoleh. Melainkan seberapa lama eksistensi menulis terus dilakukan. Pramudya Ananta Toer (novelis) berujar, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”            

            Penulis adalah kolomnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar