Rahasia
Menjadi Penulis yang Produktif
Oleh: Encon Rahman, S.Pd
Proses
kreatif lahir dimana saja. Tak mengenal tempat. Tak mengenal waktu. Sebagai
seorang penulis freelance, saya sering merasakan kondisi itu. Kondisi serupa ternyata
juga dialami oleh rekan-rekan wartawan. Mereka merasakan kondisi yang sama.
Jika sudah demikian, tak ada pilihan lain kecuali segera menuangkannya pada
tut-tut komputer.
Jika
dibiarkan, ilham bisa hilang begitu saja. Tanpa bekas. Tanpa sisa. Ilham sering
datang dan pergi tanpa permisi. Yang paling “menjengkelkan” menurut saya, jika
tiba-tiba ilham hadir saat gerakan salat tengah dilakukan. Salat menjadi kurang
sungguh-sungguh. Akibatnya, konsentrasi terpecah. Dampaknya bisa ditebak,
gerakan salat lebih cepat dari biasanya.
Ilham,
ide, atau pirasat sering datang tanpa diundang. Eksistensinya selalu menekan
otak sadar kita untuk segera merealisasikannya. Jika tidak diikuti, rasanya ada
sesuatu yang kurang. Dampaknya, ide harus segera kita bedah. Mengikat dengan
cara menuliskannya.
Ide
merupakan proses kreatif. Proses kreatif bisa menjamur, apabila banyak membaca.
Tanpa membaca, rasa-rasanya ide kreatif tak pernah hadir. Asumsi ini seirama
dengan argumentasi Bambang Trims (penulis buku), menurutnya ada tiga tips agar
proses kreatif muncul. Pertama, banyak berjalan (instal pengalaman pribadi).
Kedua, banyak silaturahmi (instal pengalaman orang lain). Ketiga, banyak
membaca (instal ilmu).
Membaca
bagi seorang penulis adalah pekerjaan. Tanpa membaca mustahil proses kreatif
akan stagnan. Saya sendiri memiliki tekad membaca dan menulis merupakan
pekerjaan yang sifatnya wajib. Jika sehari saja tidak membaca-menulis berarti kerugian.
Itulah sebabnya, melahap buku apapun wajib dilakukan. Kapan dan dimana saja.
Ibarat menguyah makanan,
membaca adalah amunisi. Semakin banyak menguyah semakin bertambah amunisi. Tak
heran, beberapa rekan saya yang selalu membaca, rata-rata mereka produktif
menghasilkan berbagai tulisan. Coretan-coretan itu, tidak terlepas dari amunisi
yang ia kunyah.
Dengan kata lain, penulis
hebat adalah pembaca hebat. Karenanya membaca dan menulis ibarat sisi mata uang
logam. Sulit dibedakan. Maka tak bisa dipungkiri apabila muncul ungkapan, apa
yang kita baca merupakan apa yang kita tulis. Apa yang kita tulis, berdasarkan
apa yang kita baca.
Dalam mendongkrak tulisan,
selain banyak membaca. Juga dapat dilakukan dengan bergabung pada komunitas
penulis. Komunitas penulis merupakan wahana kreatif sebagai upaya meningkatkan
stamina menulis. Stamina menulis kerap naik turun. Kondisi ini tergantung pada
situasi hati dan lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, agar
stamina menulis tetap fit dibutuhkan obat. Obat yang dimaksud berupa lingkungan
yang kondusif, yakni adanya kebersamaan sesama penulis. Interaktif antar
penulis diyakini merupakan strategi yang mujarab agar menulis tidak mandul. Kenyataannya,
seringkali beberapa rekan penulis yang sangat produktif tiba-tiba menjadi loyo
dan tidak bergairah.
Ketika saya mencoba
mendiagnosa, kenapa hal itu bisa terjadi. Salah satu penyebabnya, ternyata yang
bersangkutan kurang stamina. Lemahnya stamina menyebabkan rendahnya daya saing.
Kondisi tersebut diperburuk oleh lingkungan yang tidak mendukung. Maka
lengkaplah penderitaan itu.
Komunitas menulis dewasa ini
sangat menjamur. Dengan begitu, ini merupakan kesempatan terbaik, bagi penulis
untuk merapatkan diri dalam kancah kebersamaan. Komunitas menulis ibarat
kendaraan. Percepatan dan kemajuan dalam proses kreatif tidak diragukan lagi.
Banyak rekan-rekan saya yang
aktif dalam komunitas`menulis akhirnya mendapatkan perahu untuk berlabuh.
Fenomena ini bukan tanpa sebab. Eksistensi komunitas penulis bagaimanapun
memiliki daya tawar tinggi terhadap perusahan-perusahan media.
Daya tawar tinggi tersebut
seirama dengan semaraknya kompetitor perusahaan media di negeri ini. Dengan
demikian, komunitas penulis yang proaktif dan responsif dalam kancah
kepenulisan sering menjadi bidikan bagi insan media. Tak hayal kondisi tersebut
merupakan mutualisma. Keduanya saling menguntungkan dan membutuhkan.
Dengan mengkaji prosfektif
komunitas penulis di masa depan dan link media dewasa ini, maka keberadaan
komunitas penulis bagi penulis freelance sangatlah urgen. Komunitas penulis
menjadi barometer dalam memfilter siapa penulis produktif atau sebaliknya.
Seirama dengan hal itu, komunitas penulis dapat menjadi ajang bergengsi dalam
pengembangan karir kepenulisan. Banyak penulis juara pada lomba kepenulisan
berasal dari komunitas penulis.
Di samping itu, kehadiran komunitas`penulis bagi media cetak
merupakan mitra yang potensial. Dikatakan demikian, karena banyak penulis yang
aktif diberbagai awak media banyak berasal dari himpunan penulis. Awalnya para
penulis itu produktif mengirimkan tulisan-tulisan ke berbagai media cetak.
Kesempatan selanjutnya adalah
ketika media membutuhkan SDM yang handal sebagai ujung tombak media itu
sendiri. Maka banyak penulis freelance yang aktif dalam komunitas penulis,
akhirnya ditawari untuk bergabung. Seperti pucuk dicinta ulam tiba. Penulis dan
media akhirnya bersatu membangun komitmen bersama.
Seiring waktu, komitmn itu terus
berjalan. Demikian juga halnya dengan komunitas penulis. Kader demi kader terus
dipersiapkan. Kesetiaan komunitas penulis menyiapkan para kader dalam prosesnya
tidak semudah membalikan telepak tangan. Banyak kader rontok di tengah jalan.
Itulah sebabnya, kesabaran
mendidik, membina, dan mengarahkan kader harus menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari misi. Meskipun kadang kesabaran dalam membina para penulis, kerap
mendapat tantangan baik dari dalam maupun dari luar organisasi.
Terlepas dari mekanisme pengkaderan, saya
merasakan banyak keuntungan ketika saya bergabung dengan komunitas penulis. Keuntungan
yang dimaksud di antaranya ide tidak pernah kering, ajang silaturahmi yang
terus berkembang, serta informasi seputar kepenulisan yang selalu aktual.
Komunitas penulis yang saya
ikuti hingga sekarang, yakni Balai Jurnalistik (BATIK) ICMI Jawa Barat dan Asosiasi
Guru Penulis Indonesia. Komunitas ini bukan saja menelorkan kreativitas dalam
bentuk jurnalis juga membimbing anggotanya untuk menjadi penulis freelance yang
profesional.
Profesionalisme
penulis bukan ditentukan seberapa banyak honor yang diperoleh. Melainkan
seberapa lama eksistensi menulis terus dilakukan. Pramudya Ananta Toer
(novelis) berujar, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak
menulis, ia akan hilang dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Penulis adalah kolomnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar