Untung Rugi Pelaksanaan
Merger Sekolah Dasar
Encon Rahman*)
Rencana
Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Majalengka yang akan menggabungkan (merger) dua atau lebih sekolah dasar dengan
alasan efesiensi anggaran rehabilitasi menarik untuk kita cermati. Meskipun
wacana ini mendapat respon positif dari anggota Komisi D DPRD Majalengka, Asep
Saepudin ST dan Wagub DR. H. Karna Subahi MMPd sebagaimana diberitakan Radar (17-18/2) realisasi merger perlu dikaji lebih mendalam.
Wacana
merger sekolah di kabupaten
Majalengka bukan hal baru. Sebagaimana disampaikan mantan Disdik, Karna Sobahi
realisasi merger pernah dilakukan. Gagasannya lahir sejak ada program Basic Education Project (BEP) dari World
Bank (Bank Dunia) untuk pendidikan tahun 1998. Salah satu contoh SD yang
dimerger saat beliau menjabat adalah SD Negeri Cijati Majalengka.
Berdasarkan
data dari Disdik, jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kabupaten Majalengka
sebanyak 62 sekolah sedangkan Sekolah Dasar (SD) berjumlah 832, dengan rincian
44 SD di Kecamatan Majalengka, 28 di
Kecamatan Kadipaten, 25 di Kecamatan Dawuan, 30 di Kecamatan Kasokandel, 33 di Kecamatan
Kertajati, 34 di Kecamatan Jatitujuh, 45 di Kecamatan Lingung, 60 di Kecamatan
Jatiwangi,
Selanjutnya 41 di Kecamatan
Sumberjaya, 37 di Kecamatan Leuwimunding, 30 di Kecamatan Rajagaluh, 28 di
Kecamatan Sukahaji, 11 di Kecamatan Sindang, 38 di Kecamatan Maja, 26 di
Kecamatan Argapura, 33 di Kecamatan Talaga,
Berikutnya 39 di Kecamatan
Cikijing, 28 di Kecamatan bantarujeg, 28 di Kecamatan Malausma, 42 di Kecamatan
Lemah Sugih, 22 di Kecamatan Cigasong, 18 di Kecamatan Panyingkiran, 33 di
Kecamatan Palasah, 23 di Kecamatan Sindangwangi, 18 di Kecamatan Banjaran, dan
29 di Kecamatan Cingambul.
KEUNTUNGAN
MERGER
Dengan mengacu pada jumlah
SD yang tersebar di kab. Majalengka seraya menyisir kondisi demografi SD-SD
yang notabene mayoritas berada di wilayah pegunungan, setidaknya wacana merger di
Majalengka melahirkan untung rugi. Keuntungan yang dimaksud. Pertama, adanya efesiensi anggaran
rehabilitasi. Dengan adanya merger sudah bisa dipastikan anggaran perbaikan
sekolah akan mengalami efesiensi. Kondisi ini sejalan dengan realita bangunan
sekolah yang dimerger.
Kedua,
perampingan kepala sekolah. Dengan adanya merger disinyalir pimpinan sekolah
akan mengalami perampingan. Perampingan kepala sekolah tentu saja nilai baik,
apabila manajerial yang bersangkutan
bagus. Namun sebaliknya, jika leadhership
kepala sekolah rendah akan berakibat fatal bagi perkembangan organisasi sekolah
itu sendiri.
Ketiga, perampirang
guru kelas. Dengan merger akan mendorong terjadinya perampingan guru kelas.
Kondisi ini nilai positif bagi kondusivitas sistem mengajar dan distribusi guru. Meskipun demikian, jumlah siswa dari dua
sekolah yang dimerger menjadi acuan apakah mengajar lebih efektif atau
sebaliknya. Sebab, idealnya jumlah siswa SD satu kelas di Kab. Majalengka maksimalnya
harus berjumlah 28 siswa.
Keempat, terpusat
pada satu titik wilayah. Dengan merger segala aktivitas akan terpusat pada satu
tempat. Kondisi ini tentu saja sangat memudahkan dalam melaksanakan aktivitas proses
belajar mengajar (PBM). Dengan kata lain, merger bisa menguntungkan bagi
eksistensi dunia pendidikan dasar kita.
Menyingkapi sederet kajian keuntungan
jika SD-SD di merger, kita dapat menyimpulkan wacana merger merupakan langkah
strategis dalam memperbaiki kondisi pendidikan di kabupaten Majalengka. Di
samping merupakan terobosan baru dalam menindaklanjuti konsep yang pernah
digulirkan sebelumnya.
KERUGIAN MERGER
Sementara itu, sederet
analisis kerugian dengan adanya rencana merger dapat dikemukakan sebagai
berikut. Pertama, merger membutuhkan
pemikiran serius dalam penanganannya. Diyakini proses hukum dan politik dalam
irisan merger sangat kental. Betapa tidak, status kepemilikan tanah dan
bangunan sekolah, dalam prosesnya akan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan.
Pemangku
kepentingan yang dimaksud diantaranya, Disdik, DPRD khususnya komisi D yang
menangani masalah pendidikan, Pemerintah Daerah dalam kaitan ini pemerintahan
desa juga kepala UPTD serta warga sekolah di dalamnya.
Kedua, rendahnya daya serap guru.
Sebagaimana diungkapkan pada awal tulisan, perampingan guru pada satu sisi
dapat mengefektifkan eksistensi guru. Namun, di sisi lain kondisi ini mengancam
stabilitas guru itu sendiri. Beranjak dari kondisi itu, wajar jika guru sukwan
merasa was-was dengan adanya wacana merger. Bagaimana pun keberadaan mereka
sangat lemah. Dalam tataran kebijakan manajerial, guru sukwan akan menjadi
korban pertama dalam perampingan guru di sekolah merger. Selanjutnya diikuti
oleh guru-guru PNS yang dinilai “bermasalah”.
Ketiga, tatanan inventaris lembaga. Salah
satu kerugian yang akan timbul dengan adanya merger adalah pengelembungan nilai
inventaris lembaga. Diprediksi hasil “gona gini merger” merupakan pemicu
lahirnya kehilangan berbagai inventaris.
Dalam prakteknya, inventaris sekolah yang terlalu gemuk akan ”menguap” entah
kemana. Pertanggungjawaban ini perlu dicermati dengan seksama sejak dini.
Wacana
merger merupakan salah satu langkah strategis dan visioner Disdik Majalengka.
Meskipun demikian, dalam proses pelaksanaannya jangan sampai merugikan berbagai
pihak. Pemetaan secara komprehensif dan tidak tergesah-gesah merupakan langkah
awal dalam proses merger.
Di
samping itu, yang paling utama dalam pelaksanaan merger yakni tidak boleh ada
kebijakan politik status quo. Sebab
dalam tatanan ini kepala UPTD kecamatan menjadi rekomendasi awal dalam
penanganan merger. Itikad baik kepala UPTD sangat dipertaruhkan dalam kaitan
ini.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar