Translate

Jumat, 14 September 2012

Wartawan Profesional Vs Wartawan Karbitan


Wartawan Profesional Vs Wartawan Karbitan
Oleh: Encon Rahman*)


Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh setiap tanggal 8 Februari tiap tahunnya, selalu melahirkan harapan sekaligus kecemasan bagi perkembangan informasi di negeri ini. Betapa tidak, pasca keberadaan Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 tentang tentang Kebebasan Pers telah melahirkan nuansa sekaligus warna terhadap eksistensi jurnalis.
Dengan kata lain, lahirnya UU Pers telah melahirkan ‘untung-rugi’ tentang keberadaan wartawan di negeri seribu pulau ini. Jurnalis diyakini sebagai pekerja profesional, mulia, dan terhormat kini banyak tercoreng oleh ulah segelintir oknum wartawan yang sering disebut wartawan karbitan.
Mudahnya rekruitmen calon jurnalis pasca kelahiran UU Pers, oleh perusahaan media cetak, tanpa fit and proper test telah melahirkan “jurnalis karbitan” yang merugikan wartawan profesional secara umum. Padahal sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial eksistensi wartawan sangat urgen.
MUHASABAH HPN
Hari Pers Nasional merupakan momentum penting bagi insan pers untuk melakukan muhasabah. Pertama, hentikan kekerasan terhadap wartawan. Sudah cukup lama intimidasi terhadap wartawan terjadi di Indonesia. Kita tentu masih ingat Udin (Fuad Muhammad Syafruddin), wartawan Harian Bernas Yogyakarta yang meninggal pada 13 Agustus 1996. Kematiannya yang tragis akibat penganiayaan orang yang tak dikenal, telah membayar idealismenya sebagai seorang jurnalis dengan nyawa. Udin menjadi simbol kekerasan yang dihadapi para jurnalis ketika menjalankan tugas jurnalisnya.
Kedua, hentikan pembungkaman terhadap kebebasan pers. Seorang wartawan profesional akan bekerja sesuai dengan kode etik dan rambu-rambu jurnalistik seperti diatur UU Pers sebagaimana tersurat pada Bab II Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban, dan Peranan Pers pasal 6. Dengan demikian, pejabat dan pemangku kepentingan tidak perlu “alergi” atau merasa “kebakaran jenggot” ketika dikritik oleh jurnalis. Kritik merupakan bumbu demokrasi.
Ketiga, menjaga hubungan proporsional dengan pemerintah. Fungsi jurnalis adalah mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan atau informasi. Berdasarkan hal itu, maka pers memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga hubungan yang proporsional antara media dengan pemerintah sebagai stockholder.
Keempat, menertibkan oknum wartawan. Disinyalir  dewasa ini wartawan karbitan banyak gentayangan. Khususnya di daerah-daerah. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan sekaligus ancaman bagi profesi wartawan profesional. Adapun indikasi oknum wartawan antara lain:
(1) mereka selalu meminta amplop pada narasumber saat mereka meliput. Ketika tidak diberi amplop, mereka menulis narasumber dengan menjelek-jelekan di tabloidnya (kalau memiliki tabloid).
(2) kedatangan mereka selalu bergerombol. Biasanya, dua, tiga, bahkan empat orang saat mendatangi narasumber. Tak jelas dari satu penerbitan atau beda penerbitan. Modusnya wawancana. Tapi umumnya, tidak mencari bahan berita. Sekedar basa basi, ngobrol ngaler ngidul lalu pulang setelah mendapat amplop.
(3) sistematika hasil tulisan wawancara dengan narasumber banyak rekayasa (imajinasi “wartawan karbitan” sendiri) bukan berdasarkan fakta hasil wawancara, serta (4) tidak mampu menulis berita berdasarkan kaidah-kaidah berita sesuai kode etik jurnalistik.
Dengan kata lain, teknik penulisan beritanya masih rancu, tidak enak dibaca, pengembangan paragraf tidak terpola, dan pemilihan diksi yang tidak efektif dan efesien termasuk penulisan EYD.(Andika, Edisi 10/2011).
ALTERNATIF SOLUSI
Sebagai alternatif solusi dalam meminimalisir memburuknya citra wartawan oleh segelintir oknum wartawan, ada sumbang saran yang dapat dikaji.
Pertama, perlu adanya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang keberadaan perusahaan yang akan mendirikan media cetak maupun elektronik. Sebab dalam prosesnya, eksistensi perusahaan media, pasti berhubungan dengan seleksi wartawan sebagai ujung tombak perusahaannya.
Dalam kaitan ini, teknis dan mekanisme seleksi wartawan perlu diperhatikan. Sebagai pekerja profesional, wartawan merupakan ujung tombak yang sangat penting. Jika rekruitmen terhadap wartawan asal-asalan, dikhawatirkan citra wartawan semakin terpuruk.
Kedua, adanya mekanisme dalam seleksi wartawan yang sangat ketat. Sebagaimana diungkapkan  Asep Syamsul M Romli (2003: 9-10) setidaknya ada enam tahap agar tidak terjadi lahirnya “wartawan karbitan.”
(a)   Well selected maksudnya wartawan harus diseleksi dengan baik. Menjadi wartawan semestinya tidak mudah karena harus memenuhi kriteria profesionalisme antara lain keahlian (expertise) atau keterampilan jurnalistik serta mentaati kode etik jurnalistik.
(b)   Well educated artinya terdidik dengan baik. Wartawan seyogyanya melalui tahap pendidikan kewartawanan, setidaknya melalui pelatihan jurnalistik yang terpola dan terarah secara baik.
(c)    Well trained artinya terlatih dengan baik. Akibat kurang terlatihnya wartawan kita, banyak berita muncul di media yang bukan kurang cermat, tidak enak dibaca, dan bahkan menyesatkan.
(d)   Well equipped maksudnya dilengkapi dengan peralatan memadai. Pekerjaan wartawan butuh pasilitas seperti alat tulis, alat rekam, kamera, alat komunikasi, alat transportasi, dan sebagainya. Wartawan tidak akan dapat bekerja optimal tanpa dukungan pasilitas memadai.
(e)   Well paid yakni digaji secara layak. Jika tidak, jangan harap “budaya amplop” bisa diberantas. Kasus pemerasan dan penyalahgunaan profesi wartawan akan terus muncul akibat “tuntutan perut”.
(f)     Well motivated artinya memiliki motivasi yang baik ketika menerjuni dunia kewartawanan. Motivasi di sini lebih pada idealisme, bukan materi. Jika motivasinya berlatar uang, maka tidak bisa diharapkan menjadi wartawan profesional atau wartawan sejati.
Pers adalah penerang. Kehadirannya seperti cahaya matahari. Selalu bersinar untuk kebenaran. Karenanya, menjaga pers agar tetap utuh sesuai porsinya, maka tak ada pilihan lain, selain memeliharanya pada jalur profesional.*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar