Wartawan
Profesional Vs Wartawan Karbitan
Oleh: Encon Rahman*)
Peringatan Hari Pers
Nasional (HPN) yang jatuh setiap tanggal 8 Februari tiap tahunnya, selalu melahirkan
harapan sekaligus kecemasan bagi perkembangan informasi di negeri ini. Betapa
tidak, pasca keberadaan Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 tentang tentang
Kebebasan Pers telah melahirkan nuansa sekaligus warna terhadap eksistensi
jurnalis.
Dengan kata lain, lahirnya
UU Pers telah melahirkan ‘untung-rugi’ tentang keberadaan wartawan di negeri
seribu pulau ini. Jurnalis diyakini sebagai pekerja profesional, mulia, dan
terhormat kini banyak tercoreng oleh ulah segelintir oknum wartawan yang sering
disebut wartawan karbitan.
Mudahnya rekruitmen calon
jurnalis pasca kelahiran UU Pers, oleh perusahaan media cetak, tanpa fit and proper test telah melahirkan
“jurnalis karbitan” yang merugikan wartawan profesional secara umum. Padahal
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial eksistensi
wartawan sangat urgen.
MUHASABAH
HPN
Hari Pers Nasional merupakan
momentum penting bagi insan pers untuk melakukan muhasabah. Pertama, hentikan
kekerasan terhadap wartawan. Sudah cukup lama intimidasi terhadap wartawan terjadi
di Indonesia. Kita tentu masih ingat Udin (Fuad Muhammad Syafruddin), wartawan
Harian Bernas Yogyakarta yang meninggal pada 13 Agustus 1996. Kematiannya yang
tragis akibat penganiayaan orang yang tak dikenal, telah membayar idealismenya
sebagai seorang jurnalis dengan nyawa. Udin menjadi simbol kekerasan yang
dihadapi para jurnalis ketika menjalankan tugas jurnalisnya.
Kedua,
hentikan pembungkaman terhadap kebebasan pers. Seorang wartawan profesional
akan bekerja sesuai dengan kode etik dan rambu-rambu jurnalistik seperti diatur
UU Pers sebagaimana tersurat pada Bab II Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban, dan
Peranan Pers pasal 6. Dengan demikian, pejabat dan pemangku kepentingan tidak
perlu “alergi” atau merasa “kebakaran jenggot” ketika dikritik oleh jurnalis.
Kritik merupakan bumbu demokrasi.
Ketiga, menjaga
hubungan proporsional dengan pemerintah. Fungsi jurnalis adalah mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan atau informasi. Berdasarkan hal itu,
maka pers memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga hubungan yang proporsional
antara media dengan pemerintah sebagai stockholder.
Keempat, menertibkan
oknum wartawan. Disinyalir dewasa ini
wartawan karbitan banyak gentayangan. Khususnya di daerah-daerah. Kondisi ini tentu
sangat memprihatinkan sekaligus ancaman bagi profesi wartawan profesional.
Adapun indikasi oknum wartawan antara lain:
(1) mereka selalu meminta
amplop pada narasumber saat mereka meliput. Ketika tidak diberi amplop, mereka
menulis narasumber dengan menjelek-jelekan di tabloidnya (kalau memiliki
tabloid).
(2) kedatangan mereka selalu
bergerombol. Biasanya, dua, tiga, bahkan empat orang saat mendatangi
narasumber. Tak jelas dari satu penerbitan atau beda penerbitan. Modusnya
wawancana. Tapi umumnya, tidak mencari bahan berita. Sekedar basa basi, ngobrol
ngaler ngidul lalu pulang setelah mendapat amplop.
(3) sistematika hasil
tulisan wawancara dengan narasumber banyak rekayasa (imajinasi “wartawan
karbitan” sendiri) bukan berdasarkan fakta hasil wawancara, serta (4) tidak
mampu menulis berita berdasarkan kaidah-kaidah berita sesuai kode etik
jurnalistik.
Dengan kata lain, teknik
penulisan beritanya masih rancu, tidak enak dibaca, pengembangan paragraf tidak
terpola, dan pemilihan diksi yang tidak efektif dan efesien termasuk penulisan
EYD.(Andika, Edisi 10/2011).
ALTERNATIF
SOLUSI
Sebagai alternatif solusi
dalam meminimalisir memburuknya citra wartawan oleh segelintir oknum wartawan,
ada sumbang saran yang dapat dikaji.
Pertama, perlu
adanya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang keberadaan perusahaan
yang akan mendirikan media cetak maupun elektronik. Sebab dalam prosesnya, eksistensi
perusahaan media, pasti berhubungan dengan seleksi wartawan sebagai ujung
tombak perusahaannya.
Dalam kaitan ini, teknis dan
mekanisme seleksi wartawan perlu diperhatikan. Sebagai pekerja profesional,
wartawan merupakan ujung tombak yang sangat penting. Jika rekruitmen terhadap
wartawan asal-asalan, dikhawatirkan citra wartawan semakin terpuruk.
Kedua,
adanya mekanisme dalam seleksi wartawan yang sangat ketat. Sebagaimana
diungkapkan Asep Syamsul M Romli (2003:
9-10) setidaknya ada enam tahap agar tidak terjadi lahirnya “wartawan karbitan.”
(a) Well selected
maksudnya wartawan harus diseleksi dengan baik. Menjadi wartawan semestinya
tidak mudah karena harus memenuhi kriteria profesionalisme antara lain keahlian
(expertise) atau keterampilan jurnalistik serta mentaati kode etik jurnalistik.
(b) Well educated
artinya terdidik dengan baik. Wartawan seyogyanya melalui tahap pendidikan
kewartawanan, setidaknya melalui pelatihan jurnalistik yang terpola dan terarah
secara baik.
(c) Well trained
artinya terlatih dengan baik. Akibat kurang terlatihnya wartawan kita, banyak
berita muncul di media yang bukan kurang cermat, tidak enak dibaca, dan bahkan
menyesatkan.
(d) Well equipped
maksudnya dilengkapi dengan peralatan memadai. Pekerjaan wartawan butuh
pasilitas seperti alat tulis, alat rekam, kamera, alat komunikasi, alat
transportasi, dan sebagainya. Wartawan tidak akan dapat bekerja optimal tanpa
dukungan pasilitas memadai.
(e) Well paid
yakni digaji secara layak. Jika tidak, jangan harap “budaya amplop” bisa
diberantas. Kasus pemerasan dan penyalahgunaan profesi wartawan akan terus
muncul akibat “tuntutan perut”.
(f) Well motivated
artinya memiliki motivasi yang baik ketika menerjuni dunia kewartawanan.
Motivasi di sini lebih pada idealisme, bukan materi. Jika motivasinya berlatar
uang, maka tidak bisa diharapkan menjadi wartawan profesional atau wartawan
sejati.
Pers adalah penerang. Kehadirannya seperti
cahaya matahari. Selalu bersinar untuk kebenaran. Karenanya, menjaga pers agar tetap
utuh sesuai porsinya, maka tak ada pilihan lain, selain memeliharanya pada
jalur profesional.*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar