Mencermati
Strategi Pengkaderan Anggota NII
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)
Seiring mencuatnya beragam
kasus teroris, dugaan praktik pencucian otak, dan orang hilang, eksistensi gerakan
Negara Islam Indonesia (NII) kembali diperbincangkan.
Menurut ketua Forum Ulama Umat Islam
(FUUI) KH Atian Ali Da’i sebagaimana dilansir media, NII sudah melebarkan
jaringannya hingga ke kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI), STT Telkom, Politeknik Bandung, dan Universitas
Padjadjaran (Unpad). Bahkan menurut dia ada sekitar 200 mahasiswa di salah satu
PTN, drop out (DO) karena tidak luliah dan tidak membayar SPP yang diduga akibat pengaruh NII.
Maraknya pembahasan NII
belakangan ini, mengingatkan saya pada lima belas tahun lalu. Dimana pada saat
itu, saya nyaris menjadi kader anggota NII. Adapun kronologisnya, sejak lulus
Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) di Majalengka tahun 1992, saya merantau
ke Bandung. Di Bandung saya bekerja, sambil kuliah di Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) di salah satu PT swasta di Bandung.
Pada suatu hari seorang rekan
mahasiswa jurusan FISIP mengajak saya berdiskusi tentang keagamaan. Perbincangan
itu kami lakukan selepas melaksanakan salat asar berjamaah di mesjid kampus. Saya
pun melayaninya dengan penuh konsentrasi. Dari diskusi sepuluh menit itu, ujungnya
ia mengajak saya untuk ikut pengajian, yang konon katanya pengajian rutin
dilaksanakan DKM mesjid kampus setiap hari Sabtu bada asar pukul 16.30 WIB.
Gayung bersambut, ajakan itu
saya respon positif. Pada hari H-nya saya datang memenuhi undangan rekan
tersebut. Pengajian awal kami lakukan di ruang DKM. Dalam prediksi saya ruangan
DKM bakal sesak dipenuhi oleh mahasiswa yang ikut pengajian. Namun, kenyataannya
tidak demikian. Setibanya di ruang DKM, saya hanya menemukan tiga orang mustami
(jamaah). Dua orang ahwat (perempuan), dan saya sendiri. Kedua orang ahwat itu
merupakan mahasiswa Fakultas Teknik di kampus yang sama.
Saya mengetahui identitas
mereka, setelah kami diperkenalkan oleh orang yang menjadi ustaz pada saat itu.
Pasca perkenalan, kegiatan dilanjutkan dengan membaca Alquran secara
bergiliran. Masing-masing peserta membaca Alquran sebanyak lima ayat.
Selanjutnya, sang ustaz
mulai berceramah tentang keesaan Allah. Sekitar tigapuluh menit ustaz
menyampaikan materinya. Kami pun menyimak dengan kesungguhan. Pasca ceramah
ustaz tersebut membuka tanya jawab seputar materi yang disampaikan. Diskusi
kecil pun mengalir. Kurang lebih satu jam kami melakukan pengajian. Selanjutnya
kami pun pulang. Sebelum pulang, ustaz tidak lupa mengingatkan kami untuk ikut
kembali pengajian pekan mendatang.
Pertemuan kedua, dan ketiga,
kami pindah tempat, semula di ruang DKM mesjid kampus, pengajian itu pindah ke
rumah kontrakan ustaz. Pada pertemuan itu, kami disuguhi materi tentang penjelasan
zaman Makiyah dan Madaniah. Kajian materi ini mengungkapkan, karakteristik
zaman Makiyah serta perbedaan zaman Madaniah. Inti persoalan yang dikemukakan
ustaz, Islam hingga saat ini masih berada di zaman Makiyah. Karenanya, menurut
ustaz pola dakwah yang mesti dilakukan adalah sembunyi-sembunyi dan berkelompok
kecil. Sejenis holakoh, persis gaya Rasulullah di awal dakwah.
Selain itu, karena umaro
yang memerintah di Indonesia tidak berasaskan Islam, maka kita layak memerangi,
menentang, dan memusuhinya. Argumentasi yang dijelaskan ustaz sungguh rasional.
Beliau menyetir berbagai peristiwa sejarah, hadis dan Alquran yang memperkuat
opininya.
Pada pertemuan keempat,
kajian Makiyah dan Madaniah lebih diperdalam. Pada pertemuan ini, ustaz
membeberkan peristiwa penting dalam sejarah. Salah satu kajian pada waktu itu,
yakni eksistensi kewajiban berperang dan jihad di jalan Allah Swt., dengan mengorbankan
harta benda yang kita miliki.
Saya meyakini kebenaran
argumentasi yang dipaparkan sang ustaz. Namun, ada materi yang menurut saya
ganjil, yakni ustaz membolehkan saya untuk mencuri uang lembaga atau uang orang-orang
kafir untuk kepentingan jihad fisabilillah. Saya sempat protes dengan paparan itu,
namun dengan berbagai dalih termasuk membuka bukti-bukti ayat Alquran sebagai
justifikasi apa yang ia sampaikan.
Sampai materi berakhir, saya
merasa tidak nyaman dengan kajian pada saat itu. “Masa sih orang Islam diperbolehkan mencuri harta benda milik orang lain
untuk jihad fisabilillah?” demikian kira-kira pertanyaan yang terus berkecamuk
dalam hati saya pada saat itu.
Pada pertemuan berikutnya,
saya masih ikut pengajian. Pada pertemuan itu, ustaz kembali menegaskan tentang
peran jihad dan perang dalam memerangi orang kafir. Pada pertemuan kali ini,
saya mendapati kembali materi yang saya anggap ganjil. Materi yang yang
dimaksud menyatakan, orang-orang yang tidak sepaham dengan kajian yang ia
sampaikan, maka yang bersangkutan termasuk kategori kafir. Meskipun ia mengaku
orang Islam. Haram hukumnya kita salat berjamaah dengan mereka.
Ungkapan itu, terus terang
semakin mengusik ketidaknyamanan saya mengikuti kajian. Banyak materi yang baru
saya dapatkan selama ini, namun bertentangan dengan dasar-dasar pengetahuan agama
Islam yang saya miliki. Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya saya absen. Ustaz tersebut mencoba menghubungi
dan mengajak saya ke pengajian.
Dengan berbagai dalih, saya
pun hengkang dari pengajian holakoh itu. Termasuk mengganti nomor handphone.
Alhamdulillah, ijin Allah saya tidak terbawa arus. O ya, tidak berapa lama
berselang, berbagai media pada saat itu ramai-ramai membahas tentang eksistensi
dan rekruitmen anggota NII di Bandung. Menurut berbagai sumber media, kampus
dimana saya belajar ternyata merupakan salah satu basis NII.
Membaca kabar media
tersebut, melahirkan keterkagetan yang tiada tara. Saya baru tahu kalau
pengajian tersebut merupakan model strategi pengkaderan anggota NII. Keterkagetan
kembali terulang ketika Republika (29/4/2011) menurunkan sebuah tulisan,
sebagaimana dikemukakan Ahmad Nurdin (41) mantan ketua Dewan Pembinaan NII KW
IX dari Dhairah VII-72, yang menyatakan perekrutan dan pembinaan anggota NII
menggunakan tiga tahapan, yakni tilawah,
tazkiah, dan al irsyad.
Tahapan awal, tilawah dipakai untuk merekrut orang
luar untuk menjadi anggota. Tahapan tazkiah
digunakan untuk membina anggota yang harus mendapat perlakuan ulang. Sementara
tahapan al irsyad bagi para calon
pemimpin NII.
Mencermati ketiga tahapan
tersebut, posisi saya pada waktu itu masih berada pada tahap tilawah. Beruntung, hingga tulisan ini
disusun saya tidak pernah bertemu dengan ustaz yang pernah mengajarkan materi
NII, termasuk kedua teman yang sama-sama ngaji bareng. Entahlah dimana mereka
sekarang.
Sebagai catatan akhir, saya
berharap semoga kemurnian Islam tetap terjaga. Islam adalah agama rahmatan
lilalamin. Agama keselamatan bagi seluruh umat.*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar