Translate

Jumat, 14 September 2012

Mencermati Strategi Pengkaderan Anggota NII


Mencermati Strategi Pengkaderan Anggota NII
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)


Seiring mencuatnya beragam kasus teroris, dugaan praktik pencucian otak, dan orang hilang, eksistensi gerakan Negara  Islam Indonesia (NII) kembali diperbincangkan. Menurut  ketua Forum Ulama Umat Islam (FUUI) KH Atian Ali Da’i sebagaimana dilansir media, NII sudah melebarkan jaringannya hingga ke kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), STT Telkom, Politeknik Bandung, dan Universitas Padjadjaran (Unpad). Bahkan menurut dia ada sekitar 200 mahasiswa di salah satu PTN, drop out (DO) karena tidak luliah dan tidak membayar SPP yang diduga  akibat pengaruh NII.
Maraknya pembahasan NII belakangan ini, mengingatkan saya pada lima belas tahun lalu. Dimana pada saat itu, saya nyaris menjadi kader anggota NII. Adapun kronologisnya, sejak lulus Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) di Majalengka tahun 1992, saya merantau ke Bandung. Di Bandung saya bekerja, sambil kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di salah satu PT swasta di Bandung.
Pada suatu hari seorang rekan mahasiswa jurusan FISIP mengajak saya berdiskusi tentang keagamaan. Perbincangan itu kami lakukan selepas melaksanakan salat asar berjamaah di mesjid kampus. Saya pun melayaninya dengan penuh konsentrasi. Dari diskusi sepuluh menit itu, ujungnya ia mengajak saya untuk ikut pengajian, yang konon katanya pengajian rutin dilaksanakan DKM mesjid kampus setiap hari Sabtu bada asar pukul 16.30 WIB.
Gayung bersambut, ajakan itu saya respon positif. Pada hari H-nya saya datang memenuhi undangan rekan tersebut. Pengajian awal kami lakukan di ruang DKM. Dalam prediksi saya ruangan DKM bakal sesak dipenuhi oleh mahasiswa yang ikut pengajian. Namun, kenyataannya tidak demikian. Setibanya di ruang DKM, saya hanya menemukan tiga orang mustami (jamaah). Dua orang ahwat (perempuan), dan saya sendiri. Kedua orang ahwat itu merupakan mahasiswa Fakultas Teknik di kampus yang sama.
Saya mengetahui identitas mereka, setelah kami diperkenalkan oleh orang yang menjadi ustaz pada saat itu. Pasca perkenalan, kegiatan dilanjutkan dengan membaca Alquran secara bergiliran. Masing-masing peserta membaca Alquran sebanyak lima ayat.
Selanjutnya, sang ustaz mulai berceramah tentang keesaan Allah. Sekitar tigapuluh menit ustaz menyampaikan materinya. Kami pun menyimak dengan kesungguhan. Pasca ceramah ustaz tersebut membuka tanya jawab seputar materi yang disampaikan. Diskusi kecil pun mengalir. Kurang lebih satu jam kami melakukan pengajian. Selanjutnya kami pun pulang. Sebelum pulang, ustaz tidak lupa mengingatkan kami untuk ikut kembali pengajian pekan mendatang.
Pertemuan kedua, dan ketiga, kami pindah tempat, semula di ruang DKM mesjid kampus, pengajian itu pindah ke rumah kontrakan ustaz. Pada pertemuan itu, kami disuguhi materi tentang penjelasan zaman Makiyah dan Madaniah. Kajian materi ini mengungkapkan, karakteristik zaman Makiyah serta perbedaan zaman Madaniah. Inti persoalan yang dikemukakan ustaz, Islam hingga saat ini masih berada di zaman Makiyah. Karenanya, menurut ustaz pola dakwah yang mesti dilakukan adalah sembunyi-sembunyi dan berkelompok kecil. Sejenis holakoh, persis gaya Rasulullah di awal dakwah.
Selain itu, karena umaro yang memerintah di Indonesia tidak berasaskan Islam, maka kita layak memerangi, menentang, dan memusuhinya. Argumentasi yang dijelaskan ustaz sungguh rasional. Beliau menyetir berbagai peristiwa sejarah, hadis dan Alquran yang memperkuat opininya.
Pada pertemuan keempat, kajian Makiyah dan Madaniah lebih diperdalam. Pada pertemuan ini, ustaz membeberkan peristiwa penting dalam sejarah. Salah satu kajian pada waktu itu, yakni eksistensi kewajiban berperang dan jihad di jalan Allah Swt., dengan mengorbankan harta benda yang kita miliki.
Saya meyakini kebenaran argumentasi yang dipaparkan sang ustaz. Namun, ada materi yang menurut saya ganjil, yakni ustaz membolehkan saya untuk mencuri uang lembaga atau uang orang-orang kafir untuk kepentingan jihad fisabilillah. Saya sempat protes dengan paparan itu, namun dengan berbagai dalih termasuk membuka bukti-bukti ayat Alquran sebagai justifikasi apa yang ia sampaikan.
Sampai materi berakhir, saya merasa tidak nyaman dengan kajian pada saat itu. “Masa sih orang Islam diperbolehkan mencuri harta benda milik orang lain untuk jihad fisabilillah?” demikian kira-kira pertanyaan yang terus berkecamuk dalam hati saya pada saat itu.
Pada pertemuan berikutnya, saya masih ikut pengajian. Pada pertemuan itu, ustaz kembali menegaskan tentang peran jihad dan perang dalam memerangi orang kafir. Pada pertemuan kali ini, saya mendapati kembali materi yang saya anggap ganjil. Materi yang yang dimaksud menyatakan, orang-orang yang tidak sepaham dengan kajian yang ia sampaikan, maka yang bersangkutan termasuk kategori kafir. Meskipun ia mengaku orang Islam. Haram hukumnya kita salat berjamaah dengan mereka.
Ungkapan itu, terus terang semakin mengusik ketidaknyamanan saya mengikuti kajian. Banyak materi yang baru saya dapatkan selama ini, namun bertentangan dengan dasar-dasar pengetahuan agama Islam yang saya miliki. Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya saya absen. Ustaz tersebut mencoba menghubungi dan mengajak saya ke pengajian.
Dengan berbagai dalih, saya pun hengkang dari pengajian holakoh itu. Termasuk mengganti nomor handphone. Alhamdulillah, ijin Allah saya tidak terbawa arus. O ya, tidak berapa lama berselang, berbagai media pada saat itu ramai-ramai membahas tentang eksistensi dan rekruitmen anggota NII di Bandung. Menurut berbagai sumber media, kampus dimana saya belajar ternyata merupakan salah satu basis NII.
Membaca kabar media tersebut, melahirkan keterkagetan yang tiada tara. Saya baru tahu kalau pengajian tersebut merupakan model strategi pengkaderan anggota NII. Keterkagetan kembali terulang ketika Republika (29/4/2011) menurunkan sebuah tulisan, sebagaimana dikemukakan Ahmad Nurdin (41) mantan ketua Dewan Pembinaan NII KW IX dari Dhairah VII-72, yang menyatakan perekrutan dan pembinaan anggota NII menggunakan tiga tahapan, yakni tilawah, tazkiah, dan al irsyad.
Tahapan awal, tilawah dipakai untuk merekrut orang luar untuk menjadi anggota. Tahapan tazkiah digunakan untuk membina anggota yang harus mendapat perlakuan ulang. Sementara tahapan al irsyad bagi para calon pemimpin NII.
Mencermati ketiga tahapan tersebut, posisi saya pada waktu itu masih berada pada tahap tilawah. Beruntung, hingga tulisan ini disusun saya tidak pernah bertemu dengan ustaz yang pernah mengajarkan materi NII, termasuk kedua teman yang sama-sama ngaji bareng. Entahlah dimana mereka sekarang.
Sebagai catatan akhir, saya berharap semoga kemurnian Islam tetap terjaga. Islam adalah agama rahmatan lilalamin. Agama keselamatan bagi seluruh umat.*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar