Translate

Sabtu, 15 September 2012

Peran Dongeng dalam Kancah Digital


Peran Dongeng dalam Kancah Digital
Oleh Encon Rahman


            Anak-anak yang sering didongengi biasanya tumbuh menjadi anak yang lebih pandai, lebih tenang, lebih terbuka, dan lebih seimbang bila dibandingkan dengan anak-anak yang tidak didongengi—demikian kesimpulan tiga orang peneliti berkebangsaan Jerman H.G Wahn, W.Hesse dan U. Schaefer di dalam Suddeutsche Zeitung, 24 juni 1980. Lebih lanjut mereka mengemukakan, imajinasi, perbendaharan kata, daya ingat, dan cara berbicara berkembang sesuai dengan kesan-kesan pendengaran dan pengamatan yang diterima anak melalui dongeng.
Berdasarkan asumsi di atas, eksistensi dongeng bukan sekedar bumbu cerita. Dongeng diyakini memiliki filosofi yang luhur dalam membangun budi pekerti. Sejak dulu dongeng merupakan salah satu budaya yang mengakar. Ceritanya turun temurun. Dari cerita turun temurun itulah, kelestarian budaya bangsa ini dipertahankan.
Salah satu cerita dongeng yang hingga kini masih melekat pada pendengaran kita, misalnya cerita Malin Kundang, sasakala Gunung Tangkuban Perahu, si Kancil, si Kabayan, dan cerita rakyat lainnya. Dongeng-dongeng itu sampai saat ini tetap bertahan dan disukai anak-anak negeri.
Berkaitan dengan  dongeng di tanah air, ada fenomena menarik di antaranya banyak dongeng atau cerita rakyat yang sudah dibukukan penerbit. Kumpulan cerita rakyat tersebut dengan mudah dapat kita peroleh di toko-toko buku terkemuka. Dipandang dari persfektif budaya, kumpulan dongeng Nusantara akan menambah khazanah. Di samping, tentunya kondisi itu merupakan salah satu upaya dalam melestarikan cerita rakyat yang dimaksud.
Pada awalnya, cerita rakyat selalu dibedah dengan budaya lisan. Nenek moyang kita sejak zaman dulu telah menjadikan bahasa lisan sebagai sarana utama dalam proses penjabaran budaya. Kondisi ini tentu dimaklumi. Sebab, ketika budaya tulis mulai merambah negeri, nenek moyang kita baru mengenal sabak sebagai alat tulis kantornya (ATK).
Dengan demikian, dapat dipahami jika nenek moyang kita lebih banyak menyimpan materi atau cerita masih dalam bentuk lisan. Hal itu disebabkan tidak tersedianya dokumentasi untuk menyimpannya. Sabak hanya sebuah alat tulis sederhana. Kondisinya tidak memungkinkan untuk menjadi sarana dokumentasi selengkap buku.
Pergeseran zaman lambat laun merubah tatanan budaya itu sendiri. Sabak yang menjadi primadona akhirnya tergilas dengan ditemukannya kertas dan percetakan. Namun disayangkan, perubahan zaman itu tidak diikuti oleh inovasi tatanan budaya nenek moyang kita. Budaya lisan masih menjadi primadona. Dampaknya jejak pencipta dongeng hilang tak berbekas. Padahal betapa pentingnya sumber cerita tersebut diketahui khalayak banyak.
Di Eropa jejak para pencipta dongeng tetap utuh hingga sekarang, sebut saja misalnya Robert Chambers dari Scotlandia, Bohemia dari Cekoslowakia, Pavel Bazhov dari Rusia, Alfred Smedberg dari Swedia, Hans Christian Andersen dari denmark, Andrew Lang dari India, dan sebagainya.
Selain itu, dongeng-dongeng yang termashyur sering dijadikan pentas dipanggung atau layar lebar. Misalnya, Tchaikovky dan Rimsky-Korssakov dengan musik romantis, Gustave Dore dan Walter Crane atau Oskar Wilde serta Leo Tolstroy.
Pancegnya cerita dongeng di Nusantara dalam tatanan bahasa lisan, menyebabkan keutuhan cerita dan penafsiran yang muncul pun berbeda-beda. Kondisi ini melahirkan paradigma yang berbeda pula. Fenomena ini tentu saja dapat merugikan filosofi dongeng yang terkandung di dalamnya. Bukan hanya itu, dongeng menjadi bias. Nilai rasa yang ada di dalam dongeng menjadi tak jelas lagi. Beruntung beberapa penerbit dewasa ini memiliki inisiatif untuk membukukan dongeng yang tanpa nama pengarangnya (anonim).
Dengan beralihnya dongeng dari bentuk bahasa lisan menjadi bentuk bahasa tulis. Saya rasa ini merupakan kemajuan yang luar biasa. Meskipun kondisi itu masih dibilang sangat terlambat. Mengapa demikian? Di Eropa pembukuan dongeng sudah sejak lama dilakukuan. Bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Beberapa contoh dongeng yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa misalnya, People of the Dreamtime (bunga sukun berpayung pelangi) dongeng asli penduduk Australia, Lembu Jantan Hitam dari Norroway dongeng kuno Skotlandia karya Robert Chambers, Putri Birubaba Penguasa Rawa (Sinyushkin kolodets) dongenng dari pegunungan Ural koleksi Pavel Bazhov (1879-1950), Thirty Indian Legends of Canada (Peri-peri Kecil Penunggu Bukit) dongeng suku Indian Cree yang dihimpun oleh Margaret Bemister, Batu Pemantik Api karya Hans Andersen yang ditulis tahun 1835, kisah si Kembang Seroja dongeng Tibet karya Yuri Partionovich, dan pendongeng lain seperti Charles Perrault dari Prancis, Andersen dari Denmark, Grimm dari Jerman, dan Alexander Afanasiev dari Rusia.
Pengalihan budaya lisan menjadi tulis ini disadari atau tidak akan mendorong anak suka membaca. Dengan membaca buku-buku dongeng setidaknya memberikan peluang kepada anak untuk mengembangkan kemampuan berpikir.  
Dengan membaca dongeng seseorang bisa mengatur sendiri kecepatan alur cerita. Andai ada suatu yang menarik di satu halaman, pembaca bisa berhenti sejenak untuk merenungkan dan membandingkannya dengan peristiwa lain yang berhubungan. Pembaca juga bisa membaca ulang beberapa pokok bacaan yang jelas atau dirasa sangat penting.
Pada sisi lain, membaca dongeng melatih seseorang untuk berusaha mengingatnya  dengan peristiwa lain yang berhubungan. Selanjutnya, membaca dongeng dapat melatih seseorang untuk berusaha mengembangkan daya kreativitas dan imajinasinya.
Dengan kata lain, membaca dongeng bagi anak sangat efektif dalam mengembangkan imajinasi yang positif, mengembangkan pengalaman emosi, pemberian pendidikan moral, memperbesar cakrawala mental, menumbuhkan rasa humor serta membangkitkan apresiasi.
Sementara itu,  perkembangan intelektual anak yang senang membaca dan mendengar dongeng dengan anak yang enggan terhadap eksistensi dongeng akan terlihat secara jelas. Bagi anak yang suka mendengar dongeng lebih besar keinginannya untuk membaca buku dan ilmu pengetahuan daripada anak yang tak menyukai dongeng. Dari segi tingkah laku dan kasih sayang terhadap teman sebanya pun sangat berbeda. Mengapa demikian? Dongeng memiliki pesan moral yang tinggi. Cerita yang tersaji sistematis dan mudah dicerna.
            Sisi lain yang perlu digarisbawahi dalam menyampaikan dongeng kepada anak, selain menyampaikan cerita yang menarik perhatiannya juga harus mengembangkan daya minatnya untuk tidak hanya disuapi saja.
Pendongeng dituntut agar anak dituntun ke arah budaya tulis. Misalnya, kita selalu berbicara dengan bijaksana apabila selesai mendongeng, “Nak, apabila kamu sudah pandai membaca, kamu akan menemukan dongeng-dongeng yang lebih mengasyikan dan seru dari dongeng yang saya ceritakan.”
Sikap seperti di atas jelas akan lebih membangkitkan semangat anak untuk membaca buku. Jika hal tersebut sudah tampak langkah berikutnya yang perlu dilakukan yaitu memberikan buku-buku bergambar berwarna warni pada anak. Kesenangan anak membolak balik buku merupakan awal keberhasilan dari pendongeng.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar