Peran
Dongeng dalam Kancah Digital
Oleh Encon Rahman
Anak-anak
yang sering didongengi biasanya tumbuh menjadi anak yang lebih pandai, lebih
tenang, lebih terbuka, dan lebih seimbang bila dibandingkan dengan anak-anak
yang tidak didongengi—demikian kesimpulan tiga orang peneliti berkebangsaan
Jerman H.G Wahn, W.Hesse dan U. Schaefer di dalam Suddeutsche Zeitung, 24 juni 1980. Lebih lanjut mereka mengemukakan,
imajinasi, perbendaharan kata, daya ingat, dan cara berbicara berkembang sesuai
dengan kesan-kesan pendengaran dan pengamatan yang diterima anak melalui
dongeng.
Berdasarkan asumsi di atas,
eksistensi dongeng bukan sekedar bumbu cerita. Dongeng diyakini memiliki
filosofi yang luhur dalam membangun budi pekerti. Sejak dulu dongeng merupakan
salah satu budaya yang mengakar. Ceritanya turun temurun. Dari cerita turun
temurun itulah, kelestarian budaya bangsa ini dipertahankan.
Salah satu cerita dongeng
yang hingga kini masih melekat pada pendengaran kita, misalnya cerita Malin
Kundang, sasakala Gunung Tangkuban
Perahu, si Kancil, si Kabayan, dan cerita rakyat lainnya. Dongeng-dongeng itu
sampai saat ini tetap bertahan dan disukai anak-anak negeri.
Berkaitan dengan dongeng di tanah air, ada fenomena menarik di
antaranya banyak dongeng atau cerita rakyat yang sudah dibukukan penerbit. Kumpulan
cerita rakyat tersebut dengan mudah dapat kita peroleh di toko-toko buku
terkemuka. Dipandang dari persfektif budaya, kumpulan dongeng Nusantara akan menambah
khazanah. Di samping, tentunya kondisi itu merupakan salah satu upaya dalam
melestarikan cerita rakyat yang dimaksud.
Pada awalnya, cerita rakyat
selalu dibedah dengan budaya lisan. Nenek moyang kita sejak zaman dulu telah
menjadikan bahasa lisan sebagai sarana utama dalam proses penjabaran budaya.
Kondisi ini tentu dimaklumi. Sebab, ketika budaya tulis mulai merambah negeri,
nenek moyang kita baru mengenal sabak sebagai alat tulis kantornya (ATK).
Dengan demikian, dapat
dipahami jika nenek moyang kita lebih banyak menyimpan materi atau cerita masih
dalam bentuk lisan. Hal itu disebabkan tidak tersedianya dokumentasi untuk
menyimpannya. Sabak hanya sebuah alat tulis sederhana. Kondisinya tidak
memungkinkan untuk menjadi sarana dokumentasi selengkap buku.
Pergeseran zaman lambat laun
merubah tatanan budaya itu sendiri. Sabak yang menjadi primadona akhirnya
tergilas dengan ditemukannya kertas dan percetakan. Namun disayangkan,
perubahan zaman itu tidak diikuti oleh inovasi tatanan budaya nenek moyang
kita. Budaya lisan masih menjadi primadona. Dampaknya jejak pencipta dongeng
hilang tak berbekas. Padahal betapa pentingnya sumber cerita tersebut diketahui
khalayak banyak.
Di Eropa jejak para pencipta
dongeng tetap utuh hingga sekarang, sebut saja misalnya Robert Chambers dari
Scotlandia, Bohemia dari Cekoslowakia, Pavel Bazhov dari Rusia, Alfred Smedberg
dari Swedia, Hans Christian Andersen dari denmark, Andrew Lang dari India, dan
sebagainya.
Selain itu, dongeng-dongeng
yang termashyur sering dijadikan pentas dipanggung atau layar lebar. Misalnya,
Tchaikovky dan Rimsky-Korssakov dengan musik romantis, Gustave Dore dan Walter
Crane atau Oskar Wilde serta Leo Tolstroy.
Pancegnya cerita dongeng di
Nusantara dalam tatanan bahasa lisan, menyebabkan keutuhan cerita dan
penafsiran yang muncul pun berbeda-beda. Kondisi ini melahirkan paradigma yang
berbeda pula. Fenomena ini tentu saja dapat merugikan filosofi dongeng yang
terkandung di dalamnya. Bukan hanya itu, dongeng menjadi bias. Nilai rasa yang
ada di dalam dongeng menjadi tak jelas lagi. Beruntung beberapa penerbit dewasa
ini memiliki inisiatif untuk membukukan dongeng yang tanpa nama pengarangnya (anonim).
Dengan beralihnya dongeng dari
bentuk bahasa lisan menjadi bentuk bahasa tulis. Saya rasa ini merupakan
kemajuan yang luar biasa. Meskipun kondisi itu masih dibilang sangat terlambat.
Mengapa demikian? Di Eropa pembukuan dongeng sudah sejak lama dilakukuan.
Bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Beberapa contoh dongeng yang
sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa misalnya, People of the Dreamtime (bunga sukun berpayung pelangi) dongeng
asli penduduk Australia, Lembu Jantan
Hitam dari Norroway dongeng kuno Skotlandia karya Robert Chambers, Putri Birubaba Penguasa Rawa (Sinyushkin kolodets) dongenng dari
pegunungan Ural koleksi Pavel Bazhov (1879-1950), Thirty Indian Legends of Canada (Peri-peri Kecil Penunggu Bukit) dongeng suku Indian Cree yang
dihimpun oleh Margaret Bemister, Batu
Pemantik Api karya Hans Andersen yang ditulis tahun 1835, kisah si Kembang Seroja dongeng Tibet karya
Yuri Partionovich, dan pendongeng lain seperti Charles Perrault dari Prancis,
Andersen dari Denmark, Grimm dari Jerman, dan Alexander Afanasiev dari Rusia.
Pengalihan budaya lisan
menjadi tulis ini disadari atau tidak akan mendorong anak suka membaca. Dengan
membaca buku-buku dongeng setidaknya memberikan peluang kepada anak untuk
mengembangkan kemampuan berpikir.
Dengan membaca dongeng seseorang
bisa mengatur sendiri kecepatan alur cerita. Andai ada suatu yang menarik di
satu halaman, pembaca bisa berhenti sejenak untuk merenungkan dan
membandingkannya dengan peristiwa lain yang berhubungan. Pembaca juga bisa
membaca ulang beberapa pokok bacaan yang jelas atau dirasa sangat penting.
Pada sisi lain, membaca dongeng
melatih seseorang untuk berusaha mengingatnya
dengan peristiwa lain yang berhubungan. Selanjutnya, membaca dongeng dapat
melatih seseorang untuk berusaha mengembangkan daya kreativitas dan
imajinasinya.
Dengan kata lain, membaca
dongeng bagi anak sangat efektif dalam mengembangkan imajinasi yang positif,
mengembangkan pengalaman emosi, pemberian pendidikan moral, memperbesar
cakrawala mental, menumbuhkan rasa humor serta membangkitkan apresiasi.
Sementara itu, perkembangan intelektual anak yang senang
membaca dan mendengar dongeng dengan anak yang enggan terhadap eksistensi
dongeng akan terlihat secara jelas. Bagi anak yang suka mendengar dongeng lebih
besar keinginannya untuk membaca buku dan ilmu pengetahuan daripada anak yang
tak menyukai dongeng. Dari segi tingkah laku dan kasih sayang terhadap teman
sebanya pun sangat berbeda. Mengapa demikian? Dongeng memiliki pesan moral yang
tinggi. Cerita yang tersaji sistematis dan mudah dicerna.
Sisi
lain yang perlu digarisbawahi dalam menyampaikan dongeng kepada anak, selain
menyampaikan cerita yang menarik perhatiannya juga harus mengembangkan daya
minatnya untuk tidak hanya disuapi saja.
Pendongeng dituntut agar
anak dituntun ke arah budaya tulis. Misalnya, kita selalu berbicara dengan
bijaksana apabila selesai mendongeng, “Nak, apabila kamu sudah pandai membaca,
kamu akan menemukan dongeng-dongeng yang lebih mengasyikan dan seru dari dongeng
yang saya ceritakan.”
Sikap seperti di atas jelas
akan lebih membangkitkan semangat anak untuk membaca buku. Jika hal tersebut
sudah tampak langkah berikutnya yang perlu dilakukan yaitu memberikan buku-buku
bergambar berwarna warni pada anak. Kesenangan anak membolak balik buku
merupakan awal keberhasilan dari pendongeng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar