Translate

Sabtu, 15 September 2012

Politisasi Kepemimpinan Rasulullah


Memperingati Maulid Nabi
Politisasi Kepemimpinan Rasulullah
Oleh Encon Rahman*)


Berawal dari curahan hati (curhat) presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama tujuh tahun tidak pernah naik gaji beberapa waktu lalu, akhirnya melahirkan reaktif dengan adanya gerakan koin untuk presiden oleh anggota Komisi III DPR. Aksi Koin untuk presiden itu menurut saya kontra produktif dan cenderung melecehkan presiden.
Sikap anggota Komisi III DPR tersebut, bukan saja menunjukkan sikap mempolitisasi keadaan. Sekaligus menjadi gambaran begitu naifnya pemikiran anggota dewan, dalam menyingkapi persoalan yang tidak krusial. Curhat dalam tatanan keseharian tidak berarti keluh kesah. Toh selevel sahabat Rasulullah pun, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra pernah melakukan curhat kepada sahabat Umar bin Khaththab ra terkait dengan masalah gajinya sebagai umaroh.
Bagaimana kisahnya? Berikut ini saya rekam ulang dari kitab  Fadhail A’mal karya Maulana M. Zakariyya al Kandhalawi (2001: 595). Abu Bakar bernama lengkap Abdullah bin Abi Kuhafah At-Tamimi. Nama kecilnya adalah Abdul Ka’bah. Gelar Abu Bakar diberikan Rasulullah karena cepatnya di masuk Islam (Ashaabiquunal Awwalun, yakni golongan pertama yang masuk Islam. Sedang Ash-Shiddiq yang berarti ‘amat membenarkan’ adalah gelar yang diberikan kepadanya lantaran dia segera membenarkan Rasulullah dalam berbagai peristiwa (Muhammad Nur Ali, 2004:12).
Sebagaimana kita ketahui, pekerjaan Abu Bakar sebelum dan sesudah masuk Islam adalah pengusaha kain. Sebagai pengusaha ia termasuk pekerja keras. Pada suatu hari Abu Bakar Shiddiq tengah memikul dagangannya menuju pasar. Di perjalanan beliau bertemu dengan Umar bin Khaththab.
“Hai Abu Bakar, mau kemana engkau?” tanya Umar.
“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.
Umar berkata, “Apabila engkau sibuk dengan perdaganganmu, lalu bagaimana dengan urusan kekhalifahan?”
Abu bakar berkata,”Kalau demikian, bagaimana saya menafkahi anak dan isteri saya?”
Umar bin Khaththab berkata, “Mari kita mencari Abu Ubaidah yang diberi gelar oleh Rasulullah Saw., gelar aminulummah (orang kepercayaan umat). Dia akan menentapkan gaji bagimu dari Baitul Mal (lembaga kas negara).”
Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah ra. Maka Abu Ubaidah menetapkan tunjangan untuk Abu Bakar ra sebagaimana yang ditetapkan bagi setiap muhajir tanpa pengurangan dan penambahan.
Pada suatu ketika, istrinya memohon kepada Abu Bakar, “Saya ingin makan manisan.”
Abu Bakar berkata,”Saya tidak memiliki uang untuk membelinya.”
Isterinya berkata lagi,”Kalau engkau setuju, saya akan menyisihkan sedikit uang dari pembelanjaan setiap hari, sehingga dalam beberapa hari uang akan terkumpul.” Abu Bakar pun mengizinkannya.
Isterinya kemudian menyisihkan sedikit demi sedikit uang, sehingga dalam beberapa hari uang itu sudah terkumpul. Isterinya menyerahkan uang itu kepada Abu Bakar untuk dibelikan bahan-bahan manisan. Kemudian Abu Bakar berkata,”Dari pengalaman ini sekarang saya tahu, bahwa kita mendapatkan gaji yang berlebihan dari Baitul Mal.”
Kemudian uang yang dikumpulkan isterinya ia kembalikan ke Baitul Mal. Selanjutnya ia mengurangi gajinya sejumlah nilai uang yang dikumpulkan oleh isterinya setiap hari.
Sikap waro (kehati-hatian) yang ditunjukkan Abu Bakar sebagai pemimpin umat merupakan duplikat kepemimpinan Rasulullah sebagai panutan. Sebagai panutan, dalam praktek kepemimpinannya Rasulullah setidaknya memiliki karakter yang patut dicontoh.
Pertama, keberanian dan kepahlawanan. Sejarah mencatat dalam peperangan, Rasulullah bukan saja mengatur strategi sebagai komandan, tetapi acapkali beliau sendiri maju ke front yang terdepan. Keberanian dan sikap kepahlawanan tersebut, merupakan ujung tombak keberhasilan dalam berbagai pertempuran.
Kedua, rendah hati. Rasulullah sangat rendah hati. Di rumah tangga beliau sering menyapu, membersihkan alat-alat rumah tangga, membantu pekerjaan isteri. Beliau menambal terompanya sendiri, menjahit sendiri bajunya yang sobek. Dalam pergaulan pun beliau tidak pernah membeda-bedakannya.
Ketiga, ramah dan setia kawan. Rasulullah sangat ramah terhadap siapapun. Rasulullah selalu tersenyum saat  bertemu dengan para sahabatnya. Jika beliau berjabat tangan, beliau genggam erat-erat, tidak pernah beliau lebih dahulu melepaskan tangannya sebelum sabahat tersebut melepaskan tangannya. Saat sahabatnya berbicara, beliau tidak pernah memotong percakapan sehingga tidak ada seorang pun yang merasa tersinggung.
Keempat, penyabar dan pemaaf. Rasulullah sangat penyabar dan senantiasa memaafkan  kesalahan orang lain. Pada suatu waktu, seorang Yahudi datang ke rumah beliau dengan mengucapkan salam secara berolok-olok, “Assamu alaikum (mampuslah engkau!). tatkala mendengar ucapan itu, Siti Aisyah membalas dengan ucapan,”Mudah-mudahan engkaulah yang mampus!” Rasulullah menegur  Aisyah dengan mengatakan,”Allah Swt., tidak senang mendengar perkataan yang kasar dan mengandung dendam.”
Kelima, tidak suka dikultuskan. Rasulullah tidak suka disanjung, dipuji bahkan dikultuskan. Ketika seorang laki-laki yang berjabat salam dengan beliau hendak mencium tangannya, maka lekas-lekas beliau menarik tangannya sendiri, lalu berkata kepada laki-laki itu,” Cara mencium tangan itu adalah sikap orang-orang asing dalam menghormati dan mengkultuskan raja-raja mereka.”
Ketauladan  kepemimpinan Rasulullah sebaiknya menjadi sarana back to basic bagi eksekutif dan legislatif. Fenomena curhat Presiden SBY yang tidak pernah naik gaji sehingga menjadi polemik hingga saat ini, seharusnya menjadi introspeksi berbagai kalangan. Selanjutnya, peringatan maulid Nabi tahun 1432 H semoga menjadi tonggak awal perbaikan dan evaluasi, khususnya dalam politisasi kepemimpinan bagi seluruh pemangku kepentingan di negeri ini.(*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar