Memperingati Maulid Nabi
Politisasi
Kepemimpinan Rasulullah
Oleh Encon Rahman*)
Berawal dari curahan hati (curhat)
presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama tujuh tahun tidak pernah naik
gaji beberapa waktu lalu, akhirnya melahirkan reaktif dengan adanya gerakan
koin untuk presiden oleh anggota Komisi III DPR. Aksi Koin untuk presiden itu menurut
saya kontra produktif dan cenderung melecehkan presiden.
Sikap anggota Komisi III DPR
tersebut, bukan saja menunjukkan sikap mempolitisasi keadaan. Sekaligus menjadi
gambaran begitu naifnya pemikiran anggota dewan, dalam menyingkapi persoalan
yang tidak krusial. Curhat dalam tatanan keseharian tidak berarti keluh kesah. Toh selevel sahabat Rasulullah pun, Abu
Bakar Ash-Shiddiq ra pernah melakukan curhat kepada sahabat Umar bin Khaththab
ra terkait dengan masalah gajinya sebagai umaroh.
Bagaimana kisahnya? Berikut
ini saya rekam ulang dari kitab Fadhail A’mal karya Maulana M. Zakariyya
al Kandhalawi (2001: 595). Abu Bakar bernama lengkap Abdullah bin Abi Kuhafah
At-Tamimi. Nama kecilnya adalah Abdul Ka’bah. Gelar Abu Bakar diberikan
Rasulullah karena cepatnya di masuk Islam (Ashaabiquunal
Awwalun, yakni golongan pertama yang masuk Islam. Sedang Ash-Shiddiq yang
berarti ‘amat membenarkan’ adalah gelar yang diberikan kepadanya lantaran dia
segera membenarkan Rasulullah dalam berbagai peristiwa (Muhammad Nur Ali,
2004:12).
Sebagaimana kita ketahui, pekerjaan
Abu Bakar sebelum dan sesudah masuk Islam adalah pengusaha kain. Sebagai
pengusaha ia termasuk pekerja keras. Pada suatu hari Abu Bakar Shiddiq tengah
memikul dagangannya menuju pasar. Di perjalanan beliau bertemu dengan Umar bin
Khaththab.
“Hai Abu Bakar, mau kemana
engkau?” tanya Umar.
“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.
Umar berkata, “Apabila
engkau sibuk dengan perdaganganmu, lalu bagaimana dengan urusan kekhalifahan?”
Abu bakar berkata,”Kalau
demikian, bagaimana saya menafkahi anak dan isteri saya?”
Umar bin Khaththab berkata,
“Mari kita mencari Abu Ubaidah yang diberi gelar oleh Rasulullah Saw., gelar aminulummah (orang kepercayaan umat).
Dia akan menentapkan gaji bagimu dari Baitul Mal (lembaga kas negara).”
Keduanya pun pergi menemui
Abu Ubaidah ra. Maka Abu Ubaidah menetapkan tunjangan untuk Abu Bakar ra
sebagaimana yang ditetapkan bagi setiap muhajir
tanpa pengurangan dan penambahan.
Pada suatu ketika, istrinya
memohon kepada Abu Bakar, “Saya ingin makan manisan.”
Abu Bakar berkata,”Saya
tidak memiliki uang untuk membelinya.”
Isterinya berkata
lagi,”Kalau engkau setuju, saya akan menyisihkan sedikit uang dari pembelanjaan
setiap hari, sehingga dalam beberapa hari uang akan terkumpul.” Abu Bakar pun
mengizinkannya.
Isterinya kemudian
menyisihkan sedikit demi sedikit uang, sehingga dalam beberapa hari uang itu
sudah terkumpul. Isterinya menyerahkan uang itu kepada Abu Bakar untuk
dibelikan bahan-bahan manisan. Kemudian Abu Bakar berkata,”Dari pengalaman ini
sekarang saya tahu, bahwa kita mendapatkan gaji yang berlebihan dari Baitul
Mal.”
Kemudian uang yang
dikumpulkan isterinya ia kembalikan ke Baitul Mal. Selanjutnya ia mengurangi
gajinya sejumlah nilai uang yang dikumpulkan oleh isterinya setiap hari.
Sikap waro (kehati-hatian) yang ditunjukkan Abu Bakar sebagai pemimpin umat
merupakan duplikat kepemimpinan Rasulullah sebagai panutan. Sebagai panutan, dalam
praktek kepemimpinannya Rasulullah setidaknya memiliki karakter yang patut
dicontoh.
Pertama,
keberanian dan kepahlawanan. Sejarah mencatat dalam peperangan, Rasulullah
bukan saja mengatur strategi sebagai komandan, tetapi acapkali beliau sendiri
maju ke front yang terdepan. Keberanian dan sikap kepahlawanan tersebut,
merupakan ujung tombak keberhasilan dalam berbagai pertempuran.
Kedua,
rendah hati. Rasulullah sangat rendah hati. Di rumah tangga beliau sering
menyapu, membersihkan alat-alat rumah tangga, membantu pekerjaan isteri. Beliau
menambal terompanya sendiri, menjahit sendiri bajunya yang sobek. Dalam
pergaulan pun beliau tidak pernah membeda-bedakannya.
Ketiga,
ramah dan setia kawan. Rasulullah sangat ramah terhadap siapapun. Rasulullah
selalu tersenyum saat bertemu dengan
para sahabatnya. Jika beliau berjabat tangan, beliau genggam erat-erat, tidak
pernah beliau lebih dahulu melepaskan tangannya sebelum sabahat tersebut
melepaskan tangannya. Saat sahabatnya berbicara, beliau tidak pernah memotong
percakapan sehingga tidak ada seorang pun yang merasa tersinggung.
Keempat,
penyabar dan pemaaf. Rasulullah sangat penyabar dan senantiasa memaafkan kesalahan orang lain. Pada suatu waktu,
seorang Yahudi datang ke rumah beliau dengan mengucapkan salam secara
berolok-olok, “Assamu alaikum
(mampuslah engkau!). tatkala mendengar ucapan itu, Siti Aisyah membalas dengan
ucapan,”Mudah-mudahan engkaulah yang mampus!” Rasulullah menegur Aisyah dengan mengatakan,”Allah Swt., tidak
senang mendengar perkataan yang kasar dan mengandung dendam.”
Kelima,
tidak suka dikultuskan. Rasulullah tidak suka disanjung, dipuji bahkan
dikultuskan. Ketika seorang laki-laki yang berjabat salam dengan beliau hendak
mencium tangannya, maka lekas-lekas beliau menarik tangannya sendiri, lalu
berkata kepada laki-laki itu,” Cara mencium tangan itu adalah sikap orang-orang
asing dalam menghormati dan mengkultuskan raja-raja mereka.”
Ketauladan kepemimpinan Rasulullah sebaiknya menjadi
sarana back to basic bagi eksekutif
dan legislatif. Fenomena curhat Presiden SBY yang tidak pernah naik gaji sehingga
menjadi polemik hingga saat ini, seharusnya menjadi introspeksi berbagai
kalangan. Selanjutnya, peringatan maulid Nabi tahun 1432 H semoga menjadi
tonggak awal perbaikan dan evaluasi, khususnya dalam politisasi kepemimpinan bagi
seluruh pemangku kepentingan di negeri ini.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar