Tahun
Ajaran Baru Versus Orang Miskin Pedesaan
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)
Bisa dipastikan menjelang
tahun ajaran baru, cost pengeluaran
khususnya pendidikan anak akan meningkat tajam. Terlebih, bagi keluarga yang
memiliki anak setingkat Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Biaya
pendidikan tak bisa dihindari. Bagi mereka yang memiliki anak setingkat sekolah
dasar dan menengah pun, tetap terkena imbasnya. Mulai dari membeli buku, tas
sekolah, sepatu, baju seragam, hingga registrasi.
Masih beruntung, untuk
SD-SMP biaya operasional sekolah sudah ditanggulangi Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Meskipun, masih kita rasakan berbagai pungutan yang dilakukan
pihak sekolah terhadap orang tua siswa. Dengan dalih meningkatkan kualitas
pendidikan, sekolah tak segan untuk melakukan pungutan.
Kondisi tersebut semakin
terasa berat manakala tahun ajaran 2011-2012 berdekatan dengan hari raya Idul
Fitri yang hanya berjarak satu bulan. Di samping itu, harga-harga sembako yang
mulai naik menambah pilu keluarga marginal di pedesaan dan perkotaan. Seirama
dengan hal itu, kondisi cuaca yang tidak menentu melahirkan alam yang tidak
bersahabat, sehingga produktivitas pangan menjadi rendah. Maka tak hayal, kalau
kondisi demikian menambah runyamnya daftar anggaran pengeluaran keluarga petani
di pedesaan.
Di pedesaan, dimana saya
tinggal keterpurukan keluarga marginal sangat terlihat. Apalagi menjelang bulan
Rajab-Ruwah seperti sekarang ini, sebagaimana lazimnya, rentang bulan ini
merupakan masa “panen hajatan” baik khitanan maupun pernikahan. Lengkap sudah
objek penderita keluarga tak mampu di pedesaan.
Potret buram keluarga miskin
tak pernah pupus sepanjang waktu. Dampaknya, lingkaran kemiskinan semakin
menjalar kuat. Pada umumnya, keluarga miskin hanya memiliki modal kecil.
Ujung-ujungnya, usaha yang dikelolanya pun kecil. Karena usahanya kecil, maka
pendapatannya pun kecil. Kondisi tersebut
menyebabkan ia kembali miskin.
Pada sisi lain, keterampilan
yang dimiliki orang miskin sangat rendah. Rendahnya keterampilan itu
menyebabkan produktivitas rendah. Kalau produktivitas rendah, sudah dipastikan
pendapatannya pun rendah alias kecil. Akhirnya ia pun kembali menjadi keluarga
miskin.
Selain skill dan ilmu yang
rendah, orang miskin pada umumnya berpendidikan rendah. Pendidikan rendah
mendorong ia menjadi pekerja rendah. Pekerja rendah penghasilan pun rendah.
Akibatnya, ia tetap menjadi orang miskin. Keluarga miskin rata-rata memiliki
anak yang tidak berpendidikan atau pendidikannya rendah. Karena tidak
berpendidikan, yang bersangkutan tidak memiliki keterampilan. Lemahnya
keterampilan mendorong produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas
melahirkan rendahnya pendapatan. Ya, akhirnya anak orang miskin itu kembali
menjadi miskin seperti ibu bapaknya yang miskin.
Dengan mencermati lingkaran
setan kemiskinan di atas, kita menyadari kalau orang miskin harus didorong
bersekolah. Dengan bersekolah, yang bersangkutan diharapkan akan memiliki
keterampilan dan ilmu yang memadai. Keterampilan yang mumpuni akan melahirkan
produktivitas yang tinggi. Jika produktivitas tinggi, maka disinyalir
pendapatan pun tinggi. Jika pendapatan tinggi yang bersangkutan termasuk
kategori orang mampu dan terhindar dari kemiskinan.
BEBAN
BERAT ORANG MISKIN
Bagi orang miskin tahun
ajaran baru merupakan beban berat yang luar biasa. Kesulitan ekonomi yang kerap
melanda, seolah makanan harian yang tak pernah surut. Menyadari kondisi
demikian, banyak orang miskin yang enggan menyekolahkan anak-anaknya. Mereka
lebih senang, anak-anaknya menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari
nafkah.
Itulah sebabnya, hanya
sebagian kecil orang miskin yang berkeinginan melanjutkan sekolah. Sebagian di
antara mereka ternyata memiliki talenta yang luar biasa. Prestasi ini layak
dibanggakan. Namun, keterbatasan ekonomi orang tuanya, anak-anak miskin itu kerap
terbentur masalah finansial, terlebih ketika mereka berkeinginan melanjutkan
pendidikan tinggi.
Tak khayal, cita-cita mereka
yang setinggi langit itu hanya fatamorgana. Sulit diwujudkan. Susah dibuktikan.
Hanya faktor takdir yang kerap menjadi tumpuan harapan agar cita-cita mereka
terlaksana. Mengingat yang demikian itu, maka perlu kiranya berbagai pihak
melakukan terobosan untuk menggunting lingkaran setan kemiskinan.
Sebenarnya, gerakan
menggunting lingkaran setan kemiskinan, sudah lama digaungkan. Konferensi 55
negara di PBB misalnya pada 20 September 2004 dengan mengambil tema “Tindakan
Memerangi Kelaparan dan Kemiskinan” menyerukan untuk menanggulangi kemiskinan
yang banyak dialami negara-negara berkembang.
Konferensi tersebut juga
merupakan bagian penting dari Tujuan Akhir Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs) yang merencanakan pengurangan
setengah penduduk yang hidup kelaparan pada 2015. MDGs merupakan salah satu
kesepakatan dalam Deklarasi Millenium yang ditandatangani oleh 189 negara
anggota PBB dalam Konferensi Tingkat Tinggi pada 6-8 September 2000.
MDGs terdiri dari delapan
poin kesepakatan, yakni (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2)
mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4)
menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6)
penanggulangan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (7) menjamin
lingkungan yang berkelanjutan, dan (8) pengembangan kemitraan global dalam
pembangunan. Indonesia yang turut ambil bagian dari program MDGs, telah
membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan pada 2001 dengan Keppres No. 124
tahun 2001, jo No. 8 tahun 2002 jo No. 34 tahun 2002 (Leonardo Marbun, 2006:
97).
CATATAN
AKHIR
Strategi kebijakan
alternatif menanggulangi kemiskinan dapat dilakukan berbagai cara. Salah satu
yang ditawarkan, yakni memperkuat sistem pendidikan nasional yang memiliki
keberpihakan kepada kaum miskin. Asumsinya, lemahnya sumber daya manusia akan
berakibat pada rendahnya produktivitas. Sedangkan produktivitas menurut
Leonardo (2006) sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kesehatan yang
memadai. Sebaliknya, kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan akan
berkolerasi dengan rendahnya kesehatan. Dengan kata lain, pendidikan dan
kesehatan merupakan dua sisi yang terkait dalam hal produktivitas seseorang.
Dengan merujuk asumsi dasar
di atas, maka pemerintah harus mampu menawarkan sistem pendidikan nasional yang
terjangkau oleh kalangan orang miskin. Disinyalir dewasa ini pendidikan
nasional sangat mahal sehingga sulit dijangkau oleh kaum dhuafa. Solusinya, revisi UU Sistem Pendidikan Nasional sebagai
bagian penting untuk diinisiasi. Sekaligus sebagai salah satu langkah konkrit
mengurangi beban berat orang miskin, perihal biaya pendidikan dan masa depan
pendidikan keluarga miskin di Indonesia. (*)
*) Penulis : Pengamat
pendidikan dan sosial. Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Majalengka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar