Translate

Jumat, 14 September 2012

Tahun Pelajaran Baru Versus Orang Miskin Pedesaan


Tahun Ajaran Baru Versus Orang Miskin Pedesaan
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)


Bisa dipastikan menjelang tahun ajaran baru, cost pengeluaran khususnya pendidikan anak akan meningkat tajam. Terlebih, bagi keluarga yang memiliki anak setingkat Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Biaya pendidikan tak bisa dihindari. Bagi mereka yang memiliki anak setingkat sekolah dasar dan menengah pun, tetap terkena imbasnya. Mulai dari membeli buku, tas sekolah, sepatu, baju seragam, hingga registrasi.
Masih beruntung, untuk SD-SMP biaya operasional sekolah sudah ditanggulangi Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Meskipun, masih kita rasakan berbagai pungutan yang dilakukan pihak sekolah terhadap orang tua siswa. Dengan dalih meningkatkan kualitas pendidikan, sekolah tak segan untuk melakukan pungutan.
Kondisi tersebut semakin terasa berat manakala tahun ajaran 2011-2012 berdekatan dengan hari raya Idul Fitri yang hanya berjarak satu bulan. Di samping itu, harga-harga sembako yang mulai naik menambah pilu keluarga marginal di pedesaan dan perkotaan. Seirama dengan hal itu, kondisi cuaca yang tidak menentu melahirkan alam yang tidak bersahabat, sehingga produktivitas pangan menjadi rendah. Maka tak hayal, kalau kondisi demikian menambah runyamnya daftar anggaran pengeluaran keluarga petani di pedesaan.
Di pedesaan, dimana saya tinggal keterpurukan keluarga marginal sangat terlihat. Apalagi menjelang bulan Rajab-Ruwah seperti sekarang ini, sebagaimana lazimnya, rentang bulan ini merupakan masa “panen hajatan” baik khitanan maupun pernikahan. Lengkap sudah objek penderita keluarga tak mampu di pedesaan.
Potret buram keluarga miskin tak pernah pupus sepanjang waktu. Dampaknya, lingkaran kemiskinan semakin menjalar kuat. Pada umumnya, keluarga miskin hanya memiliki modal kecil. Ujung-ujungnya, usaha yang dikelolanya pun kecil. Karena usahanya kecil, maka pendapatannya pun kecil. Kondisi tersebut  menyebabkan ia kembali miskin.
Pada sisi lain, keterampilan yang dimiliki orang miskin sangat rendah. Rendahnya keterampilan itu menyebabkan produktivitas rendah. Kalau produktivitas rendah, sudah dipastikan pendapatannya pun rendah alias kecil. Akhirnya ia pun kembali menjadi keluarga miskin.
Selain skill dan ilmu yang rendah, orang miskin pada umumnya berpendidikan rendah. Pendidikan rendah mendorong ia menjadi pekerja rendah. Pekerja rendah penghasilan pun rendah. Akibatnya, ia tetap menjadi orang miskin. Keluarga miskin rata-rata memiliki anak yang tidak berpendidikan atau pendidikannya rendah. Karena tidak berpendidikan, yang bersangkutan tidak memiliki keterampilan. Lemahnya keterampilan mendorong produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas melahirkan rendahnya pendapatan. Ya, akhirnya anak orang miskin itu kembali menjadi miskin seperti ibu bapaknya yang miskin.
Dengan mencermati lingkaran setan kemiskinan di atas, kita menyadari kalau orang miskin harus didorong bersekolah. Dengan bersekolah, yang bersangkutan diharapkan akan memiliki keterampilan dan ilmu yang memadai. Keterampilan yang mumpuni akan melahirkan produktivitas yang tinggi. Jika produktivitas tinggi, maka disinyalir pendapatan pun tinggi. Jika pendapatan tinggi yang bersangkutan termasuk kategori orang mampu dan terhindar dari kemiskinan.
BEBAN BERAT ORANG MISKIN
Bagi orang miskin tahun ajaran baru merupakan beban berat yang luar biasa. Kesulitan ekonomi yang kerap melanda, seolah makanan harian yang tak pernah surut. Menyadari kondisi demikian, banyak orang miskin yang enggan menyekolahkan anak-anaknya. Mereka lebih senang, anak-anaknya menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah.
Itulah sebabnya, hanya sebagian kecil orang miskin yang berkeinginan melanjutkan sekolah. Sebagian di antara mereka ternyata memiliki talenta yang luar biasa. Prestasi ini layak dibanggakan. Namun, keterbatasan ekonomi orang tuanya, anak-anak miskin itu kerap terbentur masalah finansial, terlebih ketika mereka berkeinginan melanjutkan pendidikan tinggi.
Tak khayal, cita-cita mereka yang setinggi langit itu hanya fatamorgana. Sulit diwujudkan. Susah dibuktikan. Hanya faktor takdir yang kerap menjadi tumpuan harapan agar cita-cita mereka terlaksana. Mengingat yang demikian itu, maka perlu kiranya berbagai pihak melakukan terobosan untuk menggunting lingkaran setan kemiskinan.
Sebenarnya, gerakan menggunting lingkaran setan kemiskinan, sudah lama digaungkan. Konferensi 55 negara di PBB misalnya pada 20 September 2004 dengan mengambil tema “Tindakan Memerangi Kelaparan dan Kemiskinan” menyerukan untuk menanggulangi kemiskinan yang banyak dialami negara-negara berkembang.
Konferensi tersebut juga merupakan bagian penting dari Tujuan Akhir Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs) yang merencanakan pengurangan setengah penduduk yang hidup kelaparan pada 2015. MDGs merupakan salah satu kesepakatan dalam Deklarasi Millenium yang ditandatangani oleh 189 negara anggota PBB dalam Konferensi Tingkat Tinggi pada 6-8 September 2000.
MDGs terdiri dari delapan poin kesepakatan, yakni (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) penanggulangan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (7) menjamin lingkungan yang berkelanjutan, dan (8) pengembangan kemitraan global dalam pembangunan. Indonesia yang turut ambil bagian dari program MDGs, telah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan pada 2001 dengan Keppres No. 124 tahun 2001, jo No. 8 tahun 2002 jo No. 34 tahun 2002 (Leonardo Marbun, 2006: 97).
CATATAN AKHIR
Strategi kebijakan alternatif menanggulangi kemiskinan dapat dilakukan berbagai cara. Salah satu yang ditawarkan, yakni memperkuat sistem pendidikan nasional yang memiliki keberpihakan kepada kaum miskin. Asumsinya, lemahnya sumber daya manusia akan berakibat pada rendahnya produktivitas. Sedangkan produktivitas menurut Leonardo (2006) sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kesehatan yang memadai. Sebaliknya, kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan akan berkolerasi dengan rendahnya kesehatan. Dengan kata lain, pendidikan dan kesehatan merupakan dua sisi yang terkait dalam hal produktivitas seseorang.
Dengan merujuk asumsi dasar di atas, maka pemerintah harus mampu menawarkan sistem pendidikan nasional yang terjangkau oleh kalangan orang miskin. Disinyalir dewasa ini pendidikan nasional sangat mahal sehingga sulit dijangkau oleh kaum dhuafa. Solusinya, revisi UU Sistem Pendidikan Nasional sebagai bagian penting untuk diinisiasi. Sekaligus sebagai salah satu langkah konkrit mengurangi beban berat orang miskin, perihal biaya pendidikan dan masa depan pendidikan keluarga miskin di Indonesia. (*)
  *) Penulis : Pengamat pendidikan dan sosial. Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Majalengka.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar