Translate

Jumat, 14 September 2012

Plus Minus Budaya Pulang Kampung


Plus Minus Budaya Pulang Kampung
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)


Bagi saya, pulang kampung merupakan “rukun keluarga” yang wajib dilaksanakan. Setahun sekali, secara bergiliran saya wajib melakukan lebaran di tempat kelahiran. Tahun berikutnya, saya harus berlebaran di tempat istri, di kota Bandung. Kondisi ini, sudah berjalan sekitar enam belas tahun. Selama melakukan rukun keluarga, suka dan duka sering kami alami. Tentu saja kondisi serupa, akan dinikmati pula oleh keluarga-keluarga lain, yang ikut merayakan tradisi pulang kampung.
Tradisi pulang kampung merupakan fenomena yang tidak mungkin terkikis oleh budaya global sekalipun. Hal itu disebabkan, mudik merupakan identitas rakyat yang kian mengakar. Pada sisi lain, tradisi mudik yang tumbuh seiring zaman mengokohkan asumsi massa terhadap upaya pelestarian silaturahmi. Pada kondisi ini gejala sosial-politik kerap muncul kepermukaan. Berbaurnya orang desa yang lama tinggal di kota lalu kembali ke desa melahirkan kontradiktif.
Sebagian masyarakat pedesaan menganggap mencari nafkah di kota sangat gampang. Kecenderungan itu disebabkan realita yang dilihat dari segelintir orang yang pergi merantau ke kota dan terkesan sukses. Anggapan itulah yang memicu munculnya gejala urbanisasi masyarakat secara besar-besaran dari pedesaaan ke wilayah perkotaan. Akibatnya kesenjangan ekonomi kota dan desa menunjukkan titik rawan.
TRADISI PULANG KAMPUNG
Mudik lebaran adalah tradisi religius masyarakat kita. Oleh karena itu, kehadirannya cenderung dianggap “rukun wajib keluarga” yang harus diikuti dan dilaksanakan. Setiap sepekan atau H-3 menjelang lebaran masyarakat berlomba melakukan mudik dengan memadati jalur pantura. Fenomena tersebut tidak mungkin terkikis dari agenda masyarakat kita. Selain memiliki muatan kultural budaya, ekonomi, politik, psikologis, juga mengandung persepsi bahasa solidaritas.
Kondisi seperti ini semakin hari semakin melebar. Seiring jumlah urbanisasi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Kita pahami tradisi mudik merupakan bagian dari prosesi masal yang digerakan oleh semangat pencarian makna kehidupan dari dua pilar eksistensi, yaitu nilai ekonomi dan nilai spritual dinamika kehidupan.
Selanjutnya, seperti tampak sadar seluruh masyarakat bergerak oleh nilai-nilai tersebut dari titik pusat ekonomi tempat kerja yang selama ini menjadi pusat orientasi kehidupan ke arah titik pusat yang lain, yaitu rumah dan kampung halaman. Oleh karena itu, mudik lebaran mampu membentuk muatan perubahan dan perkembangan makna ritual mudik.
DAMPAK MUDIK
Aneka kenyataan dan kecenderungan yang mencuat dari sisi tradisi mudik yakni merebaknya sikap arogan. Munculnya gejala tersebut tidak terlepas dari pengaruh kompetisi, eksistensi, profesionalisme, dan ironisme kota. Metropolitan dalam pemikiran orang awam, berkonotasi sebuah kota yang serba modern. Praktis warganya pun acap dinilai memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Padahal metropolitan yang melahirkan pemeo hidup nestapa, saat mudik dipuja.
Apabila budaya ini menjalar, persepsi masyarakat terhadap pulang kampung lebih terpacu karena ingin memamerkan kekayaan pada sanak saudara di desa daripada niat suci silaturahmi.
Kita paham gejala adigung adiguna hanya akan melahirkan kenyataan pahit seperti sikap emosional dan frontal masyarakat terhadap bahasa pembangunan. Dalam kerangka inilah sorotan masyarakat terhadap sikap arogan tak pernah luntur. Arogan bagaimanapun merupakan sikap pragmatisme sosial yang memiliki muatan hedonistik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi sehingga menjurus pada tingkah laku ieu aing uyah kidul, riya dan takabur. Dengan kata lain, tradisi pulang kampung bukan sekedar produk budaya. Dalam prakteknya, mudik menjadi sarana yang kadang tidak sesuai dengan tuntutan agama.
DINAMIKA PULANG KAMPUNG
Jika kita cermati dinamika tradisi pulang kampung dari tahun ke tahun, ada kesamaan fenomena. Fenomena yang dimaksud di antaranya kenaikan tarif angkutan dan pungutan liar. Kita tidak bisa menutup mata kenaikan ongkos yang dilakukan pengemudi angkutan lebaran kerap ilegal.
Masih segar dalam ingat kita beberapa tahun yang lalu peristiwa menjelang lebaran, seorang penumpang bus Jakarta-Solo diturunkan paksa di tengah jalan tol karena bersikeras mempertahankan tarif standar “pemerintah”. Selanjutnya, menjelang lebaran ini kerap juga terjadi, “uang siluman” yang tidak hanya melanda calo dan orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, namun aparat yang seharusnya melindungi masyarakat pun sering terbawa maremaan.
Sikap tegas, fair, dan berani memberikan sanksi  kepada petugas patroli di jalan yang berani melakukan kolusi merupakan cermin kedewasaan politis kepolisian kita. Dalam kaitan ini sikap masyarakat pun dituntut fair, keberanian melaporkan kejanggalan aparat yang ditemui di jalan pada pihak yang berwenang merupakan kelayakan. Bukan sebaliknya, mendukung pola oknum polisi secara sembunyi.
Demikian juga dengan penertiban tarif angkutan. Kenalan pengemudi menjelang dan sesudah lebaran harus menjadi agenda antisipasi jajaran perhubungan, polisi dan masyarakat. Fakta menunjukkan, hingga kini sering terjadi adanya kejanggalan tarif. Ketegasan penumpang dengan melaporkan bentuk “pelecehan” tersebut pada aparat merupakan sikap tanggungjawab bersama. Sementara pada sisi lain, konsekwensi dari konsep sanksi pencabutan trayek apabila pengemudi benar memasng tarif seenaknya, jangan hanya menghiasi lebaran belaka.
Apapun persoalannya, kalau sinyalamen masyarakat itu otentik, tentu hal ini segera ditindaklanjuti untuk diproses secara yuridis yang berlaku. Kelemahan umum yang kerap dijumpai dalam gejala ini, yakni antisipasi aparat yang alot dan adanya gejala kolusi antara petugas dan pemilik kendaraan.  Padahal perkembangan persoalan di lapangan kadangkala lebih banyak perhatian yang memerlukan pola titik pandang, sikap, kebijaksanaan futuristik yang fleksibel dan fungsional.
Dinamika dan modus yang terjadi saat pulang kampung, selayaknya tidak pernah mempengaruhi budaya mudik itu sendiri. Apalagi menyurutkan tradisi yang satu ini. Masyarakat kita di perkotaan lebih gandrung menikmati mudik sebagai suasana yang menyenangkan. Karenanya, apapun resiko yang terjadi pada saat mudik tidak lagi menjadi tolak ukur. Yang menjadi tolak ukur adalah silaturahmi seraya memperlihatkan “kesuksesan” selama merantau di perkotaan pada sanak saudara.(*)
  *) Penulis : Pemerhati masalah sosial kemasyarakatan.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar