Plus
Minus Budaya Pulang Kampung
Oleh : Encon Rahman, S.Pd*)
Bagi saya, pulang kampung
merupakan “rukun keluarga” yang wajib dilaksanakan. Setahun sekali, secara
bergiliran saya wajib melakukan lebaran di tempat kelahiran. Tahun berikutnya,
saya harus berlebaran di tempat istri, di kota Bandung. Kondisi ini, sudah
berjalan sekitar enam belas tahun. Selama melakukan rukun keluarga, suka dan
duka sering kami alami. Tentu saja kondisi serupa, akan dinikmati pula oleh
keluarga-keluarga lain, yang ikut merayakan tradisi pulang kampung.
Tradisi pulang kampung
merupakan fenomena yang tidak mungkin terkikis oleh budaya global sekalipun.
Hal itu disebabkan, mudik merupakan identitas rakyat yang kian mengakar. Pada
sisi lain, tradisi mudik yang tumbuh seiring zaman mengokohkan asumsi massa
terhadap upaya pelestarian silaturahmi. Pada kondisi ini gejala sosial-politik
kerap muncul kepermukaan. Berbaurnya orang desa yang lama tinggal di kota lalu
kembali ke desa melahirkan kontradiktif.
Sebagian masyarakat pedesaan
menganggap mencari nafkah di kota sangat gampang. Kecenderungan itu disebabkan
realita yang dilihat dari segelintir orang yang pergi merantau ke kota dan
terkesan sukses. Anggapan itulah yang memicu munculnya gejala urbanisasi
masyarakat secara besar-besaran dari pedesaaan ke wilayah perkotaan. Akibatnya
kesenjangan ekonomi kota dan desa menunjukkan titik rawan.
TRADISI
PULANG KAMPUNG
Mudik lebaran adalah tradisi
religius masyarakat kita. Oleh karena itu, kehadirannya cenderung dianggap
“rukun wajib keluarga” yang harus diikuti dan dilaksanakan. Setiap sepekan atau
H-3 menjelang lebaran masyarakat berlomba melakukan mudik dengan memadati jalur
pantura. Fenomena tersebut tidak mungkin terkikis dari agenda masyarakat kita.
Selain memiliki muatan kultural budaya, ekonomi, politik, psikologis, juga
mengandung persepsi bahasa solidaritas.
Kondisi seperti ini semakin
hari semakin melebar. Seiring jumlah urbanisasi yang kian meningkat dari tahun
ke tahun. Kita pahami tradisi mudik merupakan bagian dari prosesi masal yang
digerakan oleh semangat pencarian makna kehidupan dari dua pilar eksistensi,
yaitu nilai ekonomi dan nilai spritual dinamika kehidupan.
Selanjutnya, seperti tampak
sadar seluruh masyarakat bergerak oleh nilai-nilai tersebut dari titik pusat
ekonomi tempat kerja yang selama ini menjadi pusat orientasi kehidupan ke arah
titik pusat yang lain, yaitu rumah dan kampung halaman. Oleh karena itu, mudik
lebaran mampu membentuk muatan perubahan dan perkembangan makna ritual mudik.
DAMPAK
MUDIK
Aneka kenyataan dan
kecenderungan yang mencuat dari sisi tradisi mudik yakni merebaknya sikap
arogan. Munculnya gejala tersebut tidak terlepas dari pengaruh kompetisi,
eksistensi, profesionalisme, dan ironisme kota. Metropolitan dalam pemikiran
orang awam, berkonotasi sebuah kota yang serba modern. Praktis warganya pun
acap dinilai memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Padahal metropolitan yang
melahirkan pemeo hidup nestapa, saat mudik dipuja.
Apabila budaya ini menjalar,
persepsi masyarakat terhadap pulang kampung lebih terpacu karena ingin
memamerkan kekayaan pada sanak saudara di desa daripada niat suci silaturahmi.
Kita paham gejala adigung
adiguna hanya akan melahirkan kenyataan pahit seperti sikap emosional dan
frontal masyarakat terhadap bahasa pembangunan. Dalam kerangka inilah sorotan
masyarakat terhadap sikap arogan tak pernah luntur. Arogan bagaimanapun merupakan
sikap pragmatisme sosial yang memiliki muatan hedonistik yang lebih
mengutamakan kepentingan pribadi sehingga menjurus pada tingkah laku ieu aing uyah kidul, riya dan takabur. Dengan
kata lain, tradisi pulang kampung bukan sekedar produk budaya. Dalam prakteknya,
mudik menjadi sarana yang kadang tidak sesuai dengan tuntutan agama.
DINAMIKA
PULANG KAMPUNG
Jika kita cermati dinamika tradisi
pulang kampung dari tahun ke tahun, ada kesamaan fenomena. Fenomena yang
dimaksud di antaranya kenaikan tarif angkutan dan pungutan liar. Kita tidak
bisa menutup mata kenaikan ongkos yang dilakukan pengemudi angkutan lebaran
kerap ilegal.
Masih segar dalam ingat kita
beberapa tahun yang lalu peristiwa menjelang lebaran, seorang penumpang bus
Jakarta-Solo diturunkan paksa di tengah jalan tol karena bersikeras
mempertahankan tarif standar “pemerintah”. Selanjutnya, menjelang lebaran ini
kerap juga terjadi, “uang siluman” yang tidak hanya melanda calo dan orang yang
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, namun aparat yang seharusnya
melindungi masyarakat pun sering terbawa maremaan.
Sikap tegas, fair, dan berani memberikan sanksi kepada petugas patroli di jalan yang berani
melakukan kolusi merupakan cermin kedewasaan politis kepolisian kita. Dalam
kaitan ini sikap masyarakat pun dituntut fair,
keberanian melaporkan kejanggalan aparat yang ditemui di jalan pada pihak yang
berwenang merupakan kelayakan. Bukan sebaliknya, mendukung pola oknum polisi
secara sembunyi.
Demikian juga dengan penertiban
tarif angkutan. Kenalan pengemudi menjelang dan sesudah lebaran harus menjadi
agenda antisipasi jajaran perhubungan, polisi dan masyarakat. Fakta
menunjukkan, hingga kini sering terjadi adanya kejanggalan tarif. Ketegasan
penumpang dengan melaporkan bentuk “pelecehan” tersebut pada aparat merupakan
sikap tanggungjawab bersama. Sementara pada sisi lain, konsekwensi dari konsep
sanksi pencabutan trayek apabila pengemudi benar memasng tarif seenaknya,
jangan hanya menghiasi lebaran belaka.
Apapun persoalannya, kalau
sinyalamen masyarakat itu otentik, tentu hal ini segera ditindaklanjuti untuk
diproses secara yuridis yang berlaku. Kelemahan umum yang kerap dijumpai dalam
gejala ini, yakni antisipasi aparat yang alot dan adanya gejala kolusi antara
petugas dan pemilik kendaraan. Padahal perkembangan
persoalan di lapangan kadangkala lebih banyak perhatian yang memerlukan pola
titik pandang, sikap, kebijaksanaan futuristik yang fleksibel dan fungsional.
Dinamika dan modus yang
terjadi saat pulang kampung, selayaknya tidak pernah mempengaruhi budaya mudik
itu sendiri. Apalagi menyurutkan tradisi yang satu ini. Masyarakat kita di
perkotaan lebih gandrung menikmati mudik sebagai suasana yang menyenangkan. Karenanya,
apapun resiko yang terjadi pada saat mudik tidak lagi menjadi tolak ukur. Yang
menjadi tolak ukur adalah silaturahmi seraya memperlihatkan “kesuksesan” selama
merantau di perkotaan pada sanak saudara.(*)
*)
Penulis : Pemerhati masalah sosial kemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar