Kita memiliki jatah waktu yang sama, 24 jam sehari. Atau 168 jam sepekan.
Dengan modal waktu tersebut, kita diharapkan dapat mengisinya dengan saling
mengajak dalam kebenaran dan kesabaran. Firman-Nya,” Demi masa,
sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, dan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan saling nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran (QS.
Al Ashr:1-3).
Meskipun
jatah waktu yang kita miliki sama, namun dalam pemakaiannya setiap orang
berbeda. Perbedaan dalam penggunaan waktu inilah yang menyebabkan “nasib”
setiap orang berbeda. Maka tak heran, jika ada orang yang selama 24 jam bisa
mengurus berbagai kegiatan, tetapi ada pula selama 24 jam orang tidak bisa
mengurus satu kegiatan pun secara optimal!
Mengapa
kita sering menyepelekan eksistensi waktu? Bagaimana dampak yang akan terjadi
jika menelantarkan waktu?
Eksistensi
Waktu
Waktu
menurut Yusuf Al-Qardhawi (1992), memiliki tiga karakter. Karakter
pertama, waktu cepat berlalu. Sering kali kita merasakan dari hari ke hari,
waktu begitu cepat berlalu. Anak-anak
yang dulu bayi, kini tampak sudah dewasa. Tetangga kita
yang dulu sering bersama-sama kini telah tiada. Begitulah sifat waktu. Sebagaimana
firman-Nya,”Pada hari mereka melihat
hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal di dunia
melainkan (sebentar saja) di
waktu sore atau pagi hari.”
(QS. An-Nazi’at: 46).
Karakter kedua,
waktu yang telah berlalu tidak dapat kembali dan tidak dapat diganti.
Begitulah ciri khas yang dimiliki waktu. Meskipun nama harinya sama, namun
aktivitas dan maknanya berbeda. Allah berfirman, “Dan (ingatlah) akan hari (yang diwaktu itu) Allah mengumpulkan mereka,
(mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di duni)
melainkan sesaat saja di siang
hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan.” (QS. Yunus: 45)
Karakter ketiga,
waktu adalah yang termahal yang dimiliki manusia. Selama ini kita sering
melupakan modal yang sangat berharga. Modal itu bernama waktu. Bagi kebanyakan
manusia, waktu hanyalah sebuah rutinitas. Atau prosesi hidup yang biasa
dimiliki setiap orang.Anggapan itu sebenarnya tidak benar. Bagi orang beriman
siang dan malam pada hakikatnya mengandung pelajaran dan nilai syukur.
Allah berfirman,”Dan Dia (pula)
yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin
mengambil pelajaran atau orang
yang ingin bersyukur.” (QS.
AlFurqon: 62).
Menelantarkan Waktu
Salah satu tugas utama seorang muslim terhadap waktu
adalah menjaganya, memanfaatkannya, dan mengukir sejarah dengan waktu yang
dimilikinya. Meminjam ungkapan K.H. Abdullah Gymnastiar, waktu adalah modal.
Sebodoh-bodohnya manusia adalah manusia yang menghambur-hamburkan modalnya
dengan sia-sia.
Dengan demikian, menghamburkan waktu atau
menelantarkannya hanya akan menimbulkan penyesalan. Allah mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang
siapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan
belanjkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang
kematian kepada salah seorang di antara kamu lalu ia berkata,”Ya Rabku, mengapa
Engku tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan
aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang saleh.” (QS.
Al-Munafiqun: 9-10)
Demikian gambaran yang dilansir Alquran tentang “nasib”
orang-orang yang menelantarkan waktunya di dunia. Dengan kata lain, kita jangan
terlena oleh sejumlah harta yang kita cari siang malam, atau kehadiran
anak-anak yang membuat kita melalaikan Allah.
Waktu (usia) yang kita miliki sangat terbatas. Karena
itu, kepandaian memanajemen waktu merupakan salah satu keterampilan yang harus
kita miliki. Syekh Ahmad Atailah (1995) menasihati,
kadang-kadang manusia tidak mempergunakan kesempatan atau
kesempatan yang ada disia-siakan, sehingga kesempatan yang tersedia hilang
begitu saja.
Kesempatan yang dimaksud ialah kesempatan datang
menghadap Allah dalam ibadah rutin, atau kesempatan mengerjakan ibadah sunah
lainnya, yang sebenarnya tersedia. Akan tetapi, manusia lalai akan kesibukan
duniawi atau kesibukan perjuangan.
Kesibukan yang dikemukakan manusia menurut Atailah tidak
perlu dijelaskan sebab Allah lebih tahu tentang keengganan dan kemalasan diri
kita. Sebagaimana firman Allah, “Dan
dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia
telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sanagt zalim dan sangat mengingkari
(nikmat)” (QS. Ibrahim: 33-34).
Bermuara dari uraian di atas, kita dapat mengambil
kesimpulan, memanajemen amal harian merupakan sesuatu yang urgen. Bagaimanapun amal
harian merupakan salah satu akumulasi dari aktivitas harian kita yang kelak
akan diperhitungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar