Translate

Sabtu, 15 September 2012

Menakar Amal Harian



Kita memiliki jatah waktu yang sama, 24 jam sehari. Atau 168 jam sepekan. Dengan modal waktu tersebut, kita diharapkan dapat mengisinya dengan saling mengajak dalam kebenaran dan kesabaran. Firman-Nya,” Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran (QS. Al Ashr:1-3).
Meskipun jatah waktu yang kita miliki sama, namun dalam pemakaiannya setiap orang berbeda. Perbedaan dalam penggunaan waktu inilah yang menyebabkan “nasib” setiap orang berbeda. Maka tak heran, jika ada orang yang selama 24 jam bisa mengurus berbagai kegiatan, tetapi ada pula selama 24 jam orang tidak bisa mengurus satu kegiatan pun secara optimal!
Mengapa kita sering menyepelekan eksistensi waktu? Bagaimana dampak yang akan terjadi jika menelantarkan waktu?
Eksistensi Waktu
Waktu menurut Yusuf Al-Qardhawi (1992), memiliki tiga karakter. Karakter pertama, waktu cepat berlalu.  Sering kali kita merasakan dari hari ke hari, waktu begitu cepat berlalu.  Anak-anak yang dulu bayi, kini tampak sudah dewasa. Tetangga kita yang dulu sering bersama-sama kini telah tiada. Begitulah sifat waktu. Sebagaimana firman-Nya,”Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal di dunia melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (QS. An-Nazi’at: 46).
Karakter kedua,  waktu yang telah berlalu tidak dapat kembali dan tidak dapat diganti. Begitulah ciri khas yang dimiliki waktu. Meskipun nama harinya sama, namun aktivitas dan maknanya berbeda. Allah berfirman, “Dan (ingatlah) akan hari (yang diwaktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di duni) melainkan sesaat saja di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan.” (QS. Yunus: 45)
Karakter ketiga,  waktu adalah yang termahal yang dimiliki manusia. Selama ini kita sering melupakan modal yang sangat berharga. Modal itu bernama waktu. Bagi kebanyakan manusia, waktu hanyalah sebuah rutinitas. Atau prosesi hidup yang biasa dimiliki setiap orang.Anggapan itu sebenarnya tidak benar. Bagi orang beriman siang dan malam pada hakikatnya mengandung pelajaran dan nilai syukur. 
Allah berfirman,”Dan  Dia (pula)  yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (QS. AlFurqon: 62).
Menelantarkan Waktu
Salah satu tugas utama seorang muslim terhadap waktu adalah menjaganya, memanfaatkannya, dan mengukir sejarah dengan waktu yang dimilikinya. Meminjam ungkapan K.H. Abdullah Gymnastiar, waktu adalah modal. Sebodoh-bodohnya manusia adalah manusia yang menghambur-hamburkan modalnya dengan sia-sia.
Dengan demikian, menghamburkan waktu atau menelantarkannya hanya akan menimbulkan penyesalan. Allah mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu lalu ia berkata,”Ya Rabku, mengapa Engku tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang saleh.” (QS. Al-Munafiqun: 9-10)
Demikian gambaran yang dilansir Alquran tentang “nasib” orang-orang yang menelantarkan waktunya di dunia. Dengan kata lain, kita jangan terlena oleh sejumlah harta yang kita cari siang malam, atau kehadiran anak-anak yang membuat kita melalaikan Allah.
Waktu (usia) yang kita miliki sangat terbatas. Karena itu, kepandaian memanajemen waktu merupakan salah satu keterampilan yang harus kita miliki. Syekh Ahmad Atailah (1995) menasihati, kadang-kadang manusia tidak mempergunakan kesempatan atau kesempatan yang ada disia-siakan, sehingga kesempatan yang tersedia hilang begitu saja.
Kesempatan yang dimaksud ialah kesempatan datang menghadap Allah dalam ibadah rutin, atau kesempatan mengerjakan ibadah sunah lainnya, yang sebenarnya tersedia. Akan tetapi, manusia lalai akan kesibukan duniawi atau kesibukan perjuangan.
Kesibukan yang dikemukakan manusia menurut Atailah tidak perlu dijelaskan sebab Allah lebih tahu tentang keengganan dan kemalasan diri kita. Sebagaimana firman Allah, “Dan dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sanagt zalim dan sangat mengingkari (nikmat)” (QS. Ibrahim: 33-34).
Bermuara dari uraian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, memanajemen amal harian merupakan sesuatu yang urgen. Bagaimanapun amal harian merupakan salah satu akumulasi dari aktivitas harian kita yang kelak akan diperhitungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar