Translate

Jumat, 14 September 2012

Valentin Day dalam Kancah Industri Global


Valentin Day dalam  Kancah Industri Global
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)


Arus globalisasi yang kian menguat, telah melahirkan plus minus budaya di negeri ini. Plus minus budaya itu, terlahir melalui ventilasi yang merambat via media elektronik. Media elektronik seperti televisi, VCD, radio dan internet disadari atau tidak, ternyata memiliki kemampuan dalam  mendorong agresivitas tatanan budaya baru.
Dinamika budaya baru, kerap menjelma tanpa filter. Dampaknya, banyak masyarakat termasuk remaja yang menjadi korban globalisasi. Korban itu dipertontonkan melalui sikap dan perilaku yang menyimpang. Sebut saja misalnya, perilaku sek setelah mereka menonton adegan panas melalui video mesum. Atau korban perkosaan akibat jaringan sosial.
Radiasi budaya baru tak bisa dibendung. Radiasi itu akan terus merambat sejalan putaran waktu yang menggurita. Cengkaraman gurita globalisasi sejujurnya tak mudah ditaklukan. Kita tak bisa mengelak. Apalagi menghapusnya. Globalisasi merupakan sunatullah. Kehadirannya merupakan siklus hidup yang tak bisa ditawar.
Satu-satunya daya tawar yang dapat kita lakukan hanya memilah dan memilih saja. Mana budaya yang patut ditiru. Mana budaya yang layak dibuang. Memilah dan memilih merupakan konsekwensi. Itulah sebabnya, kecerdikan dalam memilah dan memilih merupakan strategi yang patut dilakukan.
Persoalan selanjutnya, apakah kita memiliki kemampuan strategi dalam memilah dan memilih budaya baru yang lahir itu? Tak mudah memang membangun strategi dalam menangkal arus global. Tapi tidak berarti mustahil. Kita dapat melawannya dengan berbagai cara.
Berbagai cara yang dimaksud bukan saja mengedepankan nilai religi semata. Namun, ada sisi lain yang lebih urgen, yaitu memboikot produk budaya yang ditawarkan. Tak bisa dipungkiri, bahwa dalam proses munculnya budaya baru, selalu diiringi dengan produk industri sebagai penjewantahan dari budaya itu sendiri.
Produk industri yang ditawarkan merupakan pisau pembedah dari konsumtivisme. Maka, tak heran jika budaya baru digelontorkan, ternyata di belakang semua itu adalah penjualan produk. Popularitas produk  menjadi ukuran apakah budaya baru perlu dikemas untuk terus dilestarikan atau sekedar testimony industri saja.
Dewasa ini budaya baru identik sebagai lahan industri yang menggiurkan. Simak saja pergelaran musik di beberapa stasiun televisi swasta kita, sinema, film layar lebar, hingga valentin day semuanya dikemas menjadi produk industri yang bisa mendatangkan lipatan uang.
Eksistensi valentin day misalnya, semula hanyalah potongan sejarah Romawi yang sangat basi dan tidak bermoral. Akan tetapi, karena kemasan produk yang cantik, pelan tapi pasti potongan sejarah itu diakui sebagai produk budaya baru yang disukai di negeri ini.
Kaula muda, mojang bujang, dan remaja berduyun-duyun memperingati valentin day yang jatuh setiap Februari dalam setiap tahunnya. Mereka tak mengerti atau pura-pura tak mengerti bagaimana kisah sebenarnya tentang valentin day.
Generasi muda kita, kini telah akrab seraya menyukai peringatan valentin day. Animo tersebut tentu saja menggembirakan pencetusnya, yaitu orang-orang sekuler. Melalui tangan dingin mereka, velentin day dinegeri ini menjadi semarak. Tanpa sungkan, malu atau risih remaja kita terbius melakukan budaya barat yang sejak awal keberadaannya pun tidak bermoral.
Beberapa media selalu merekam ulang, bagaimana muda mudi kita saling berpelukan, berciuman, dan mengucapkan selamat di malam menjelang valentin day. Kondisi serupa di beberapa tempat terpisah, ada juga remaja kita yang melakukan sek bebas dengan kehadiran valentin day itu.
Sementara di sisi lain, mal dan supermarket berbondong-bondong menjajagakan berbagai produk berinisial valentin day dengan berbagai rayuan diskon dan cuci gudang. Fenomena itu, setidaknya menyeruak dan menjadi daya tarik tersendiri bagi remaja kita. Warna ping sebagai simbol valentin day menjadi ikon tersendiri.
Khususnya remaja putri, kerap mereka keranjingan untuk mengoleksi benda-benda yang berbau valentin day. Kebanggaan, reputasi, dan citra diri tampak menjadi rujukan para remaja putri dalam mengumpulkan berbagai cinderamata bercorak valentin day.
Cara Mencegah
Semaraknya valentin day di negeri ini, bukan saja menularkan virus sekulerisme yang akut. Di balik semua itu, ada muatan lain yakni produk industri. Produk industri dalam gelombal global merupakan oasis. Putaran oasis yang kian menggurita bak magnet yang mampu menarik siapapun yang berada di dekatnya. Sebagai upaya mencegah agar remaja kita tidak mudah terbawa arus valentin day yang notabene dapat merusak akhlak, perlu kiranya menanamkan strategi.
Pertama, meningkatkan ketauhidan. Tauhid adalah pondasi utama seseorang dalam upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Ketauhidan merupakan sarana dalam memfilter dan mempertahankan benteng keimanan agar tidak terjadi degradasi moral.
Kedua, menghindari pembelian produk berbau valentin. Sebagai upaya melemahkan tatanan budaya valentin, maka hindarilah pembelian produk yang dipajang di toko-toko menjelang perayaan valentin day.
Ketiga, awasi perilaku anak-anak kita menjelang valentin day. Kebebasan anak-anak kita di malam menjelang valentin day harus diwaspadai. Ketegasan orang tua untuk tidak mengijinkan anaknya keluar rumah di malam valentin day merupakan upaya preventif agar mereka tidak terjerumus lebih dalam.
Keempat, deteksi lebih dini mengenai koleksi barang yang dikumpulkan anak-anak kita. Melakukan monitoring terhadap sejumlah koleksi barang anak –anak kita merupakan konsekwensi agar anak tidak terjebak pada budaya sekuler.
Kita yakini valentin day bukan produk budaya yang mendorong generasi muda kita menjadi produk unggulan. Valentin day adalah produk global yang bisa menjerumuskan generasi muda pada jurang kenistaan. Kemunafikan dan kemaksiatan. Tak ada pilihan, selain kita sama-sama sedia payung sebelum hujan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar