Valentin
Day dalam Kancah Industri Global
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)
Arus globalisasi yang kian
menguat, telah melahirkan plus minus budaya di negeri ini. Plus minus budaya
itu, terlahir melalui ventilasi yang merambat via media elektronik. Media elektronik
seperti televisi, VCD, radio dan internet disadari atau tidak, ternyata
memiliki kemampuan dalam mendorong agresivitas
tatanan budaya baru.
Dinamika budaya baru, kerap
menjelma tanpa filter. Dampaknya, banyak masyarakat termasuk remaja yang menjadi
korban globalisasi. Korban itu dipertontonkan melalui sikap dan perilaku yang
menyimpang. Sebut saja misalnya, perilaku sek setelah mereka menonton adegan
panas melalui video mesum. Atau korban perkosaan akibat jaringan sosial.
Radiasi budaya baru tak bisa
dibendung. Radiasi itu akan terus merambat sejalan putaran waktu yang
menggurita. Cengkaraman gurita globalisasi sejujurnya tak mudah ditaklukan. Kita
tak bisa mengelak. Apalagi menghapusnya. Globalisasi merupakan sunatullah.
Kehadirannya merupakan siklus hidup yang tak bisa ditawar.
Satu-satunya daya tawar yang
dapat kita lakukan hanya memilah dan memilih saja. Mana budaya yang patut
ditiru. Mana budaya yang layak dibuang. Memilah dan memilih merupakan
konsekwensi. Itulah sebabnya, kecerdikan dalam memilah dan memilih merupakan
strategi yang patut dilakukan.
Persoalan selanjutnya, apakah
kita memiliki kemampuan strategi dalam memilah dan memilih budaya baru yang
lahir itu? Tak mudah memang membangun strategi dalam menangkal arus global. Tapi
tidak berarti mustahil. Kita dapat melawannya dengan berbagai cara.
Berbagai cara yang dimaksud
bukan saja mengedepankan nilai religi semata. Namun, ada sisi lain yang lebih
urgen, yaitu memboikot produk budaya yang ditawarkan. Tak bisa dipungkiri,
bahwa dalam proses munculnya budaya baru, selalu diiringi dengan produk industri
sebagai penjewantahan dari budaya itu sendiri.
Produk industri yang
ditawarkan merupakan pisau pembedah dari konsumtivisme. Maka, tak heran jika
budaya baru digelontorkan, ternyata di belakang semua itu adalah penjualan
produk. Popularitas produk menjadi
ukuran apakah budaya baru perlu dikemas untuk terus dilestarikan atau sekedar
testimony industri saja.
Dewasa ini budaya baru identik
sebagai lahan industri yang menggiurkan. Simak saja pergelaran musik di
beberapa stasiun televisi swasta kita, sinema, film layar lebar, hingga
valentin day semuanya dikemas menjadi produk industri yang bisa mendatangkan
lipatan uang.
Eksistensi valentin day
misalnya, semula hanyalah potongan sejarah Romawi yang sangat basi dan tidak
bermoral. Akan tetapi, karena kemasan produk yang cantik, pelan tapi pasti
potongan sejarah itu diakui sebagai produk budaya baru yang disukai di negeri
ini.
Kaula muda, mojang bujang,
dan remaja berduyun-duyun memperingati valentin day yang jatuh setiap Februari
dalam setiap tahunnya. Mereka tak mengerti atau pura-pura tak mengerti
bagaimana kisah sebenarnya tentang valentin day.
Generasi muda kita, kini
telah akrab seraya menyukai peringatan valentin day. Animo tersebut tentu saja
menggembirakan pencetusnya, yaitu orang-orang sekuler. Melalui tangan dingin
mereka, velentin day dinegeri ini menjadi semarak. Tanpa sungkan, malu atau
risih remaja kita terbius melakukan budaya barat yang sejak awal keberadaannya
pun tidak bermoral.
Beberapa media selalu
merekam ulang, bagaimana muda mudi kita saling berpelukan, berciuman, dan
mengucapkan selamat di malam menjelang valentin day. Kondisi serupa di beberapa
tempat terpisah, ada juga remaja kita yang melakukan sek bebas dengan kehadiran
valentin day itu.
Sementara di sisi lain, mal
dan supermarket berbondong-bondong menjajagakan berbagai produk berinisial
valentin day dengan berbagai rayuan diskon dan cuci gudang. Fenomena itu,
setidaknya menyeruak dan menjadi daya tarik tersendiri bagi remaja kita. Warna
ping sebagai simbol valentin day menjadi ikon tersendiri.
Khususnya remaja putri,
kerap mereka keranjingan untuk mengoleksi benda-benda yang berbau valentin day.
Kebanggaan, reputasi, dan citra diri tampak menjadi rujukan para remaja putri
dalam mengumpulkan berbagai cinderamata bercorak valentin day.
Cara
Mencegah
Semaraknya valentin day di
negeri ini, bukan saja menularkan virus sekulerisme yang akut. Di balik semua
itu, ada muatan lain yakni produk industri. Produk industri dalam gelombal
global merupakan oasis. Putaran oasis yang kian menggurita bak magnet yang
mampu menarik siapapun yang berada di dekatnya. Sebagai upaya mencegah agar remaja
kita tidak mudah terbawa arus valentin day yang notabene dapat merusak akhlak,
perlu kiranya menanamkan strategi.
Pertama, meningkatkan
ketauhidan. Tauhid adalah pondasi utama seseorang dalam upaya mendekatkan diri
kepada-Nya. Ketauhidan merupakan sarana dalam memfilter dan mempertahankan benteng
keimanan agar tidak terjadi degradasi moral.
Kedua, menghindari
pembelian produk berbau valentin. Sebagai upaya melemahkan tatanan budaya
valentin, maka hindarilah pembelian produk yang dipajang di toko-toko menjelang
perayaan valentin day.
Ketiga, awasi
perilaku anak-anak kita menjelang valentin day. Kebebasan anak-anak kita di
malam menjelang valentin day harus diwaspadai. Ketegasan orang tua untuk tidak
mengijinkan anaknya keluar rumah di malam valentin day merupakan upaya preventif
agar mereka tidak terjerumus lebih dalam.
Keempat, deteksi
lebih dini mengenai koleksi barang yang dikumpulkan anak-anak kita. Melakukan
monitoring terhadap sejumlah koleksi barang anak –anak kita merupakan
konsekwensi agar anak tidak terjebak pada budaya sekuler.
Kita yakini valentin day
bukan produk budaya yang mendorong generasi muda kita menjadi produk unggulan.
Valentin day adalah produk global yang bisa menjerumuskan generasi muda pada
jurang kenistaan. Kemunafikan dan kemaksiatan. Tak ada pilihan, selain kita
sama-sama sedia payung sebelum hujan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar