Translate

Jumat, 14 September 2012

BOS Vs Pemangku Kepentingan


Bantuan Operasional Sekolah
Versus Pemangku Kepentingan
Encon Rahman, S.Pd*)

Diprediksi kucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2012 oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan meningkat 100 persen sehingga diharapkan sekolah tidak menarik beragam iuran kepada siswa (Radar, 18/1/2011). Rencana Kemendiknas itu, cukup mengejutkan sekaligus menggembirakan berbagai pihak. Dikatakan mengejutkan, karena rencana tersebut belum tertuang dalam APBN, tetapi M. Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional telah menjamin optimisme itu bisa tercapai.
Sedangkan dikatakan menggembirakan, karena peningkatan anggaran BOS bukan saja dapat mendorong keberlangsungan peningkatan sumber daya manusia Indonesia, juga menjadi jembatan dalam upaya mencapai mutu pendidikan yang lebih baik.
Eksistensi dana BOS yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan besar dalam percepatan pencapaian program wajar 9 tahun. Kondisi tersebut sebagaimana didukung oleh data keberhasilan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP. Pada tahun 2009 APK SMP telah mencapai 98,11%, sehingga dapat dikatakan program wajar 9 tahun telah tuntas sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan.
Meskipun indikator keberhasilan telah diraih, namun seyogyanya kehadiran  BOS bukan sekedar mempertahankan APK semata, sebab Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan, setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pasal 34 ayat 2 mengemukakan, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sementara itu dalam ayat 3 menyebutkan, wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dengan memperhatikan amanat undang-undang tersebut, kita meyakini pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar yang mencakup SD dan SMP serta satuan pendidikan lain yang sederajat.
Beranjak dari asumsi di atas, maka rencana peningkatan biaya satuan BOS yang akan dicanangkan Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2012 merupakan salah satu bukti komitmen pemerintah dalam menyelenggarakan amanat UUD perihal 20% anggaran untuk pendidikan.
Meskipun demikian, yang menjadi pertanyaan kita, apakah komitmen pemerintah pusat selama ini disokong oleh komitmen pemerintah daerah dalam implementasinya? Bagaimana peran pemangku kepentingan dalam pengawasan program dan distribusi produk yang dibutuhkan sekolah selama ini?
Konsep Awal Program BOS
Program BOS merupakan program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar (Panduan BOS, 2010: 9).
Selanjutnya melalui program BOS yang terkait pendidikan dasar 9 tahun, setiap pengelola program pendidikan dapat memperhatikan, pertama, BOS menjadi sarana penting untuk meningkatkan akses dan mutu pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu.
Kedua, melalui BOS tidak boleh ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah.
Ketiga, anak lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan pendidikannya ke sekolah setingkat SMP.
Keempat, kepala sekolah mencari dan mengajak siswa SD/setara yang akan lulus dan berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/setara.
Kelima, kepala sekolah harus mengelola dana BOS secara transparan dan akuntabel. Terakhir, BOS tidak menghalangi peserta didik, orang tua yang mampu atau walinya memberikan sumbangan sukarela yang tidak mengikat kepada sekolah.
Konsep program BOS sebagaimana tertuang dalam buku panduan BOS, pada akhirnya menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil tidaknya program ini dilaksanakan di lapangan. Senada dengan itu, dalam tataran teknis, seringkali juklak juknis BOS belum seirama dengan kondisi yang sebenarnya.
Ironisnya lagi, kebijakan pemerintah daerah kerap menjadi pemicu terhambatnya distribusi penyaluran program BOS. Sebagai contoh, ketika distribusi dana BOS dilakukan secara periodik cepat, tepat, dan akurat via kantor pos di seluruh kabupaten, tiba-tiba lahir kebijakan, pencairan dana BOS harus melalui kas APBD terlebih dahulu. Fenomena seperti ini tidak terlepas dari peran, sosok, dan pemangku kepentingan.

BOS bukan Lahan Projek
Pelaksanaan juklak juknis dan pengelolaan program BOS di lapangan hingga tahun anggaran 2010, belum menggembirakan. Besarnya biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS buku, dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan per tahunnya sebesar SD/SDLB di kota sebesar Rp 400.000/siswa, SD/SDLB di kabupaten sebesar Rp 397.000/siswa, SMP/SMPLB/SMPT di kota sebesar Rp 575.000/siswa dan SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten sebesar Rp 570.000/siswa disinyalir masih kurang memadai. Ujung-ujungnya sekolah tetap melakukan iuran lain kepada siswa.
Temuan Mendiknas, yang menyatakan masih ada sekolah yang menarik iuran dengan dalih dana BOS hanya meng-cover 70 persen kebutuhan operasional siswa sebagaimana diberitakan Harian Radar (18/1/2011) sehingga beliau memiliki asumsi harus ditingkatkan, sebaiknya pendapat itu perlu dikaji ulang. Jika asumsi dasar rencana kucuran peningkatan dana BOS tahun 2012 hanya berdasarkan temuan itu, saya rasa argumentasi Mendiknas masih belum beralasan.
 Menurut pemantauan saya selaku praktisi pendidik yang tinggal di wilayah kabupaten, besarnya biaya satuan BOS yang diterima hingga saat ini masih relevan. Namun, dalam prakteknya, masih banyak persoalan lain yang kerap menggerogoti penerimaan dengan pengeluaran BOS itu sendiri sehingga eksistensi dana BOS terasa kurang.
Misalnya, pertama, sering terjadi “pemaksaan” birokrasi alur top down (atasan-bawahan) dalam siklus jual beli produk untuk kepentingan sekolah, seperti buku pengayaan, buku pelajaran, LKS, alat peraga, komputer, dll. Terus terang, kebijakan “dadakan dan pemaksaan” ini sering tidak sejalan dengan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang sudah dibuat. Dampaknya, seringkali beberapa poin RAPBS yang sudah dicanangkan, bertolak belakang dengan pelaksanaannya.
Kedua, tata cara penggunaan dan pertanggungjawaban dana BOS masih belum sejalan dengan buku panduan. Sebagaimana kita ketahui, realisasi penggunaan dana BOS sudah diatur dalam bentuk 14 poin seperti terurai pada buku panduan BOS. Meskipun demikian, di lapangan masih saja ditemukan ada yang belum serasi antara teori dan realisasi.
Ketiga, daya dukung partisipasi komite sekolah masih rendah. Kehadiran komite sekolah sebagai mitra sekolah, dalam mengambil kebijakan penggunaan dan realisasi dana BOS pada umumnya sangat minimalis, bahkan boleh dikatakan tidak berperan sama sekali. Munculnya indikasi tersebut, telah melahirkan kebijakan lain seperti menarik berbagai iuran kepada siswa oleh pihak sekolah tanpa melibatkan komite sekolah. Ironisnya lagi, komite sekolah malah menjadi topeng pelindung kepala sekolah dalam pemungutan iuran tersebut.
Otoritas kepala sekolah dalam kaitan ini memang sangat dominan. Pada sisi lain, komite sekolah yang diharapkan kritis terhadap kebijakan-kebijakan sekolah, malah mandul bahkan terbawa arus untuk mencicipi sekaligus menikmati sajian kue yang tersedia. Padahal sepengetahuan saya, dana BOS bukan lahan projek atau gaji ke-14 kepala sekolah setiap triwulannya.
Idealnya program BOS dapat menunjang pemberdayaan sekolah serta mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Dengan program BOS pengelolaan sekolah diharapkan dapat merencanakan dan mengelola anggaran sekolah secara mandiri, transparan, dan akuntabel.

Kebijakan yang Memihak
Pada hakikatnya program BOS merupakan wujud dari komitmen pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sesuai amanat UUD. Itulah sebabnya, dana BOS merupakan amanat dari pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia untuk menjamin kemudahan akses dan peningkatan mutu terhadap pendidikan dasar dan menengah.
Dengan demikian, mengelola BOS sesuai dengan ketentuan adalah wujud tanggungjawab pengelola sekolah terhadap amanat yang telah diberikan oleh masyarakat dan pemerintah.
Pada sisi lain, pemangku kepentingan dalam kaitan ini pemerintah daerah, Dinas Pendidikan kabupaten hingga UPTD Kecamatan, seharusnya menjadi pengayom, pelindung, dan pemilik kebijakan yang memihak sekolah untuk mendorong realisasi penggunaan BOS sesuai aturan main. Bukan sebaliknya, pemangku kepentingan malah ikut kongkalingkong untuk memperoleh projek dari distribusi barang yang diperlukan sekolah di wilayah kerjanya.
Sudah menjadi rahasia umum, kalau pemangku kepentingan ikut intervensi  dalam distribusi barang yang akan dipasok ke sekolah, dampaknya harga produk menjadi melambung tinggi. Kondisi ini disebabkan, tingkat margin penjualan yang terpecah dan terbagi, kepada berbagai pihak yang merasa telah berjasa.
Harga produk yang melambung tinggi, biasanya tidak diimbangi oleh kualitas produk. Itulah sebabnya, dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, banyak inventaris sekolah termasuk kategori rusak. Untuk memback up kondisi ini, tak ada jalan lain, selain keberanian warga sekolah, komite sekolah, dan masyarakat untuk menolak intervensi pemangku kepentingan yang tidak sejalan dengan RAPBS yang telah disepakati bersama.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar