Bantuan
Operasional Sekolah
Versus
Pemangku Kepentingan
Encon Rahman, S.Pd*)
Diprediksi kucuran dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2012 oleh Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) akan meningkat 100 persen sehingga diharapkan sekolah tidak
menarik beragam iuran kepada siswa (Radar,
18/1/2011). Rencana Kemendiknas itu, cukup mengejutkan sekaligus menggembirakan
berbagai pihak. Dikatakan mengejutkan, karena rencana tersebut belum tertuang
dalam APBN, tetapi M. Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional telah menjamin
optimisme itu bisa tercapai.
Sedangkan dikatakan
menggembirakan, karena peningkatan anggaran BOS bukan saja dapat mendorong
keberlangsungan peningkatan sumber daya manusia Indonesia, juga menjadi
jembatan dalam upaya mencapai mutu pendidikan yang lebih baik.
Eksistensi dana BOS yang
dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan besar dalam percepatan pencapaian
program wajar 9 tahun. Kondisi tersebut sebagaimana didukung oleh data
keberhasilan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP. Pada tahun 2009 APK SMP
telah mencapai 98,11%, sehingga dapat dikatakan program wajar 9 tahun telah
tuntas sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan.
Meskipun indikator
keberhasilan telah diraih, namun seyogyanya kehadiran BOS bukan sekedar mempertahankan APK semata,
sebab Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengamanatkan, setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan
dasar.
Pasal 34 ayat 2
mengemukakan, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sementara
itu dalam ayat 3 menyebutkan, wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Dengan memperhatikan amanat
undang-undang tersebut, kita meyakini pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat
pendidikan dasar yang mencakup SD dan SMP serta satuan pendidikan lain yang
sederajat.
Beranjak dari asumsi di atas,
maka rencana peningkatan biaya satuan BOS yang akan dicanangkan Menteri
Pendidikan Nasional pada tahun 2012 merupakan salah satu bukti komitmen
pemerintah dalam menyelenggarakan amanat UUD perihal 20% anggaran untuk
pendidikan.
Meskipun demikian, yang
menjadi pertanyaan kita, apakah komitmen pemerintah pusat selama ini disokong
oleh komitmen pemerintah daerah dalam implementasinya? Bagaimana peran pemangku
kepentingan dalam pengawasan program dan distribusi produk yang dibutuhkan
sekolah selama ini?
Konsep
Awal Program BOS
Program BOS merupakan
program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya
operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program
wajib belajar (Panduan BOS, 2010: 9).
Selanjutnya melalui program
BOS yang terkait pendidikan dasar 9 tahun, setiap pengelola program pendidikan
dapat memperhatikan, pertama, BOS menjadi sarana penting untuk meningkatkan
akses dan mutu pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu.
Kedua, melalui BOS tidak
boleh ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran/pungutan
yang dilakukan oleh sekolah.
Ketiga, anak lulusan sekolah
setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan pendidikannya ke sekolah setingkat
SMP.
Keempat, kepala sekolah
mencari dan mengajak siswa SD/setara yang akan lulus dan berpotensi tidak
melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/setara.
Kelima, kepala sekolah harus
mengelola dana BOS secara transparan dan akuntabel. Terakhir, BOS tidak
menghalangi peserta didik, orang tua yang mampu atau walinya memberikan
sumbangan sukarela yang tidak mengikat kepada sekolah.
Konsep program BOS
sebagaimana tertuang dalam buku panduan BOS, pada akhirnya menjadi tolak ukur
dalam menentukan berhasil tidaknya program ini dilaksanakan di lapangan. Senada
dengan itu, dalam tataran teknis, seringkali juklak juknis BOS belum seirama
dengan kondisi yang sebenarnya.
Ironisnya lagi, kebijakan pemerintah
daerah kerap menjadi pemicu terhambatnya distribusi penyaluran program BOS.
Sebagai contoh, ketika distribusi dana BOS dilakukan secara periodik cepat,
tepat, dan akurat via kantor pos di seluruh kabupaten, tiba-tiba lahir
kebijakan, pencairan dana BOS harus melalui kas APBD terlebih dahulu. Fenomena seperti
ini tidak terlepas dari peran, sosok, dan pemangku kepentingan.
BOS
bukan Lahan Projek
Pelaksanaan juklak juknis
dan pengelolaan program BOS di lapangan hingga tahun anggaran 2010, belum
menggembirakan. Besarnya biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk
untuk BOS buku, dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan per tahunnya
sebesar SD/SDLB di kota sebesar Rp 400.000/siswa, SD/SDLB di kabupaten sebesar
Rp 397.000/siswa, SMP/SMPLB/SMPT di kota sebesar Rp 575.000/siswa dan
SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten sebesar Rp 570.000/siswa disinyalir masih kurang
memadai. Ujung-ujungnya sekolah tetap melakukan iuran lain kepada siswa.
Temuan Mendiknas, yang
menyatakan masih ada sekolah yang menarik iuran dengan dalih dana BOS hanya
meng-cover 70 persen kebutuhan operasional siswa sebagaimana diberitakan Harian Radar (18/1/2011) sehingga beliau
memiliki asumsi harus ditingkatkan, sebaiknya pendapat itu perlu dikaji ulang.
Jika asumsi dasar rencana kucuran peningkatan dana BOS tahun 2012 hanya berdasarkan
temuan itu, saya rasa argumentasi Mendiknas masih belum beralasan.
Menurut pemantauan saya selaku praktisi pendidik
yang tinggal di wilayah kabupaten, besarnya biaya satuan BOS yang diterima hingga
saat ini masih relevan. Namun, dalam prakteknya, masih banyak persoalan lain
yang kerap menggerogoti penerimaan dengan pengeluaran BOS itu sendiri sehingga eksistensi
dana BOS terasa kurang.
Misalnya, pertama, sering
terjadi “pemaksaan” birokrasi alur top
down (atasan-bawahan) dalam siklus jual beli produk untuk kepentingan sekolah,
seperti buku pengayaan, buku pelajaran, LKS, alat peraga, komputer, dll. Terus
terang, kebijakan “dadakan dan pemaksaan” ini sering tidak sejalan dengan
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang sudah dibuat.
Dampaknya, seringkali beberapa poin RAPBS yang sudah dicanangkan, bertolak
belakang dengan pelaksanaannya.
Kedua, tata cara penggunaan
dan pertanggungjawaban dana BOS masih belum sejalan dengan buku panduan.
Sebagaimana kita ketahui, realisasi penggunaan dana BOS sudah diatur dalam
bentuk 14 poin seperti terurai pada buku panduan BOS. Meskipun demikian, di
lapangan masih saja ditemukan ada yang belum serasi antara teori dan realisasi.
Ketiga, daya dukung
partisipasi komite sekolah masih rendah. Kehadiran komite sekolah sebagai mitra
sekolah, dalam mengambil kebijakan penggunaan dan realisasi dana BOS pada
umumnya sangat minimalis, bahkan boleh dikatakan tidak berperan sama sekali. Munculnya
indikasi tersebut, telah melahirkan kebijakan lain seperti menarik berbagai iuran
kepada siswa oleh pihak sekolah tanpa melibatkan komite sekolah. Ironisnya lagi,
komite sekolah malah menjadi topeng pelindung kepala sekolah dalam pemungutan
iuran tersebut.
Otoritas kepala sekolah
dalam kaitan ini memang sangat dominan. Pada sisi lain, komite sekolah yang
diharapkan kritis terhadap kebijakan-kebijakan sekolah, malah mandul bahkan terbawa
arus untuk mencicipi sekaligus menikmati sajian kue yang tersedia. Padahal
sepengetahuan saya, dana BOS bukan lahan projek atau gaji ke-14 kepala sekolah
setiap triwulannya.
Idealnya program BOS dapat
menunjang pemberdayaan sekolah serta mendorong partisipasi warga sekolah dan
masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Dengan program BOS
pengelolaan sekolah diharapkan dapat merencanakan dan mengelola anggaran
sekolah secara mandiri, transparan, dan akuntabel.
Kebijakan
yang Memihak
Pada hakikatnya program BOS
merupakan wujud dari komitmen pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan
sesuai amanat UUD. Itulah sebabnya, dana BOS merupakan amanat dari pemerintah
dan seluruh rakyat Indonesia untuk menjamin kemudahan akses dan peningkatan
mutu terhadap pendidikan dasar dan menengah.
Dengan demikian, mengelola
BOS sesuai dengan ketentuan adalah wujud tanggungjawab pengelola sekolah
terhadap amanat yang telah diberikan oleh masyarakat dan pemerintah.
Pada sisi lain, pemangku
kepentingan dalam kaitan ini pemerintah daerah, Dinas Pendidikan kabupaten
hingga UPTD Kecamatan, seharusnya menjadi pengayom, pelindung, dan pemilik
kebijakan yang memihak sekolah untuk mendorong realisasi penggunaan BOS sesuai
aturan main. Bukan sebaliknya, pemangku kepentingan malah ikut kongkalingkong untuk memperoleh projek
dari distribusi barang yang diperlukan sekolah di wilayah kerjanya.
Sudah menjadi rahasia umum,
kalau pemangku kepentingan ikut intervensi
dalam distribusi barang yang akan dipasok ke sekolah, dampaknya harga
produk menjadi melambung tinggi. Kondisi ini disebabkan, tingkat margin
penjualan yang terpecah dan terbagi, kepada berbagai pihak yang merasa telah berjasa.
Harga produk yang melambung
tinggi, biasanya tidak diimbangi oleh kualitas produk. Itulah sebabnya, dalam
rentang waktu yang tidak terlalu lama, banyak inventaris sekolah termasuk
kategori rusak. Untuk memback up
kondisi ini, tak ada jalan lain, selain keberanian warga sekolah, komite
sekolah, dan masyarakat untuk menolak intervensi pemangku kepentingan yang
tidak sejalan dengan RAPBS yang telah disepakati bersama.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar