Korupsi
(Produk) Budaya
Encon
Rahman, S.Pd
Fenomena
korupsi yang tengah menjadi sorotan berbagai pihak belakangan
ini, disinyalir merupakan “produk” budaya (kultur) dari negeri bernama
Indonesia. Kita tidak usah menutup
mata, atau merasa kebakaran jenggot, jika salah
satu hasil “produk budaya” negeri yang kita cintai
ini adalah (budaya) korupsi. Pelaku (budaya) korupsi disebut oknum.
Dengan kata lain, oknum korupsi adalah pelaku perseorangan atau sebagian masyarakat dalam
melakukan kejahatan
dari “produk budaya” itu sendiri.
Jika menelusuri makna budaya atau kebudayaan yang berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Atau sebagaimana dikutif Elly Malihah dari Koentjaraningrat (“PR”, 20/3/2012) memberikan pengertian, budaya tidak bisa dipelintir menjadi makna yang
lebih sempit, yakni budaya diartikan sebagai pola atau gaya hidup (Forum Guru “PR”,
9/3/2012).
Pola
atau gaya hidup merupakan sebagian kecil dari contoh “produk budaya” yang
diciptakan masyarakat. Dengan demikian, makna budaya jangan diartikan marginal
hanya sebagai gaya hidup. Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, menilai budaya
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut pandangan
saya korupsi jelas-jelas merupakan hasil karya (baca: budaya) yang tidak
sesuai dengan norma yang tumbuh di masyarakat kita. Itulah sebabnya, korupsi
yang merupakan dampak dari “akal pikiran jahat manusia” dapat dikategorikan sebagai aksi kejahatan. Kondisi
ini sama halnya dengan budaya plagiarisme sebagai aksi kriminal didunia akademik (Pikiran
Rakyat, 4/3/2012). Sebagai aksi kriminal, tentu saja pelaku koruptor dan plagiarisme harus mendapat sanksi yang sesuai dengan tingkat
kejahatan yang dilakukannya. Mereka tak perlu dikasihani atau dibela.
Jika koruptor dianggap
terkikisnya nilai-nilai budaya atau terjadi penyimpangan (korupsi) terhadap
budaya (“PR”, 20/3/2012) asumsi itu jauh panggang dari api. Koruptor merupakan
implementasi perilaku menyimpang seseorang atau sebagian orang yang notabene
lahir dari lingkaran atau terjebak oleh budaya disekitar dirinya. Jika tidak
ada lingkaran tersebut, maka budaya korupsi tidak akan lahir.
Untuk mencegah
agar niat dan kesempatan budaya korupsi menjadi minimalis, tatanan budaya
antikorupsi harus ditegakan. Penegakkan ini bukan sekedar manis dibibir atau
sekedar pencitraan semata. Individu dan pemangku kepentingan selaku regulator
menjadi harapan utama dalam membangun gerakan antikorupsi.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga gerakan antikorupsi akan tetap
jalan ditempat, jika tidak diimbangi bantuan berbagai unsur pendukung. Keterlibatan
masyarakat, generasi muda, dan pemangku kepentingan sebagai stokholder menjadi
harapan utama tegaknya budaya antikorupsi di Indonesia. Untuk mewujudkan
harapan ini butuh waktu dan kesabaran. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar