Kasus
Gayus dan Malpraktek Pendidikan
Oleh : Encon Rahman
Kasus mafia pajak, Gayus
Tambunan masih menyisakan teka teki. Meskipun pengadilan telah menjatuhkan
vonis, tetapi sepak terjang Gayus masih menjadi misteri. Itulah sebabnya,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan seluruh aparat penegak
hukum untuk mempercepat penanganan kasus Gayus. Termasuk di dalamnya terhadap
semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini.
Kasus Gayus memang
fenomenal. Bukan saja bangsa ini yang meradang menyaksikan sepak terjangnya.
Tapi, bangsa lain pun terkesima dengan akar korupsi yang telah menggurita pada hampir
setiap nadi birokrasi. Gayus dewasa ini menjadi
salah seorang ikon sebagai virus akut korupsi di Indonesia.
Diyakini korupsi merupakan
kejahatan multidimensi. Dalam prakteknya, korupsi telah menghancurkan tata nilai, peradaban, idealisme, dan etika. Degradasi
moral para koruptor pun akhirnya jatuh pada titik minimalis. Tak ada
kepedulian. Tak ada perasaan. Sikap individualisme yang berorientasi pada
kepentingan diri sendiri menjadi pilar utama koruptor.
Apakah menjamurnya koruptor
di Indonesia diakibatkan oleh malpraktek pendidikan yang dilakukan para guru di
negeri ini?
Orientasi
Pendidikan
Ada perbedaan yang
signifikan antara pekerja profesional dokter dan guru. Jika seorang dokter
melakukan malpraktek, maka resiko yang terjadi pada pasien cacat fisik atau bahkan
kematian. Namun, apabila seorang guru
melakukan malpraktek terhadap siswanya, maka resiko yang terjadi bukan cacat
fisik atau kematian. Melainkan siswa menjadi manusia tak bermoral pada lima
atau dua puluh tahun kemudian.
Dengan ungkapan lain,
malpraktek yang dilakukan dokter dapat dilihat dengan kasat mata. Sedangkan
malpraktek guru tidak serta merta terlihat secara fisik pada saat itu. Namun
pada dasarnya malpraktek sangat merugikan pihak terkait yang berkepentingan.
Beranjak dari pemikiran
tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) terus berupaya untuk
meningkatkan profesionalisme guru.
Beberapa program peningkatan
yang dimaksud sudah digelar. Sebut saja misalnya program Better
Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading (BERMUTU) yang dimulai pada tahun 2008 sampai
tahun 2013 tersebar di 75 Kabupaten/Kota
di 16 provinsi. Program BERMUTU bertujuan untuk meningkatkan mutu pembelajaran
sebagai dampak peningkatan kompetensi, kualifikasi, dan kinerja guru. Salah
satu strategis Program BERMUTU untuk mencapai tujuan tersebut adalah penguatan
peningkatan mutu dan profesional guru secara berkelanjutan.
Peningkatan mutu dan
profesional guru yang berkelanjutan, diharapkan pada akhirnya dapat membentuk
kepribadian siswa yang berkualitas, yaitu siswa yang menjungjung tinggi norma.
Mengembangkan etika. Melestarikan tata nilai. Membangun budaya dan lahirnya
insan-insan yang takwa.
Pendidikan
Karakter
Sisi lain yang sedang
dikembangkan Kementerian Pendidikan Nasional, yakni sosialisasi dan penerapan pendidikan karakter
di sekolah. Sosialisasi pendidikan karakter sudah diperkenalkan sejak jenjang
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan karakter diyakini
merupakan solusi yang tepat dalam meredam degradasi moral bangsa. Mencuatnya
kasus seperti, tawuran pelajar, pencurian bermotor (curamor) oleh pelajar, seks
bebas, dan penggunaan narkoba merupakan bukti adanya degradasi moral para
pelajar kita.
Potret buram tersebut disadari
atau tidak telah mencoreng ‘kesucian’ lembaga budaya yang bernama sekolah.
Warga sekolah pun, khususnya guru pada akhirnya dituding sebagai biang keladi lemahnya
pertahanan moral para pelajar kita. Seirama dengan tuduhan tersebut, guru pun
akhirnya membela diri dengan menyatakan, masyarakatlah yang tidak sinergi dalam
proses peningkatan kualitas pendidikan selama ini. Lingkaran setan itu pada akhirnya
menjadi bola salju. Bergulir. Membesar. Kemudian hancur lebur. Masyarakat kita
memang lebih senang memvonis. Mencari kambing hitam. Saling menyalahkan dan
merasa diri yang paling benar.
Pada hakikatnya pendidikan
merupakan tanggungjawab bersama. Guru di sekolah. Orang tua di rumah serta pemerintah
sebagai pengayom. Tak perlu ada pihak-pihak yang disalahkan. Idealnya, semua
pihak saling introspeksi. Saling memberi masukan dan perbaikan. Bukan
sebaliknya. Mencaci maki bukan memberi solusi. Seharusnya cinta negeri beri
solusi!
Merebaknya degrasi moral
yang dipertontonkan oleh para pelajar secara vulgar, atau kasus Gayus yang
tengah menjadi buah bibir masyarakat negeri ini, kita rasa bukan disebabkan malpraktek
pendidikan yang dilakukan para guru. Guru adalah pionir peradaban. Guru adalah
pencetus sekaligus pelestari norma, etika, dan tata nilai. Di tangan mereka estapet
peradaban terus digulirkan seraya dipertaruhkan.
Betapa naifnya, jika ada
pihak-pihak yang menuding guru sebagai kambing hitam merebaknya degradasi moral.
Apalagi ada yang menilai kasus Gayus merupakan bukti rendahnya kualitas guru
dalam membangun norma yang diajarkan di sekolah.
Kasus mafia pajak, degradasi
moral, dan sederet ketimpangan sosial yang membengkak di tengah arus globalisasi,
merupakan campuk bagi semua pihak untuk berupaya meningkatkan ketahanan moral.
Ketahanan moral tentu bukan tanggungjawab perseorangan. Butuh kebersamaan dalam
membangunnya, seraya membentengi diri,
keluarga dan lingkungan dengan nuansa religius dan pendekatan diri pada sang
Kholik. Jika kondisi ini dipahami semua pihak, maka dipastikan menjadi obat mujarab
yang ampuh dalam membendung degradasi moral yang terlanjur merebak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar