Translate

Jumat, 14 September 2012

Kasus Gayus dan Malpraktek Pendidikan


Kasus Gayus dan Malpraktek Pendidikan
Oleh : Encon Rahman


Kasus mafia pajak, Gayus Tambunan masih menyisakan teka teki. Meskipun pengadilan telah menjatuhkan vonis, tetapi sepak terjang Gayus masih menjadi misteri. Itulah sebabnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan seluruh aparat penegak hukum untuk mempercepat penanganan kasus Gayus. Termasuk di dalamnya terhadap semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini.
Kasus Gayus memang fenomenal. Bukan saja bangsa ini yang meradang menyaksikan sepak terjangnya. Tapi, bangsa lain pun terkesima dengan akar korupsi yang telah menggurita pada hampir setiap nadi birokrasi.  Gayus dewasa ini menjadi salah seorang ikon sebagai virus akut korupsi di Indonesia.
Diyakini korupsi merupakan kejahatan multidimensi. Dalam prakteknya, korupsi telah menghancurkan  tata nilai, peradaban, idealisme, dan etika. Degradasi moral para koruptor pun akhirnya jatuh pada titik minimalis. Tak ada kepedulian. Tak ada perasaan. Sikap individualisme yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri menjadi pilar utama koruptor.
Apakah menjamurnya koruptor di Indonesia diakibatkan oleh malpraktek pendidikan yang dilakukan para guru di negeri ini?
Orientasi Pendidikan
Ada perbedaan yang signifikan antara pekerja profesional dokter dan guru. Jika seorang dokter melakukan malpraktek, maka resiko yang terjadi pada pasien cacat fisik atau bahkan  kematian. Namun, apabila seorang guru melakukan malpraktek terhadap siswanya, maka resiko yang terjadi bukan cacat fisik atau kematian. Melainkan siswa menjadi manusia tak bermoral pada lima atau dua puluh tahun kemudian.
Dengan ungkapan lain, malpraktek yang dilakukan dokter dapat dilihat dengan kasat mata. Sedangkan malpraktek guru tidak serta merta terlihat secara fisik pada saat itu. Namun pada dasarnya malpraktek sangat merugikan pihak terkait yang berkepentingan.
Beranjak dari pemikiran tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) terus berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Beberapa program peningkatan yang dimaksud sudah digelar. Sebut saja misalnya program Better Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading (BERMUTU) yang dimulai pada tahun 2008 sampai tahun 2013  tersebar di 75 Kabupaten/Kota di 16 provinsi. Program BERMUTU bertujuan untuk meningkatkan mutu pembelajaran sebagai dampak peningkatan kompetensi, kualifikasi, dan kinerja guru. Salah satu strategis Program BERMUTU untuk mencapai tujuan tersebut adalah penguatan peningkatan mutu dan profesional guru secara berkelanjutan.
Peningkatan mutu dan profesional guru yang berkelanjutan, diharapkan pada akhirnya dapat membentuk kepribadian siswa yang berkualitas, yaitu siswa yang menjungjung tinggi norma. Mengembangkan etika. Melestarikan tata nilai. Membangun budaya dan lahirnya insan-insan yang takwa.
Pendidikan Karakter
Sisi lain yang sedang dikembangkan Kementerian Pendidikan Nasional, yakni  sosialisasi dan penerapan pendidikan karakter di sekolah. Sosialisasi pendidikan karakter sudah diperkenalkan sejak jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan karakter diyakini merupakan solusi yang tepat dalam meredam degradasi moral bangsa. Mencuatnya kasus seperti, tawuran pelajar, pencurian bermotor (curamor) oleh pelajar, seks bebas, dan penggunaan narkoba merupakan bukti adanya degradasi moral para pelajar kita.
Potret buram tersebut disadari atau tidak telah mencoreng ‘kesucian’ lembaga budaya yang bernama sekolah. Warga sekolah pun, khususnya guru pada akhirnya dituding sebagai biang keladi lemahnya pertahanan moral para pelajar kita. Seirama dengan tuduhan tersebut, guru pun akhirnya membela diri dengan menyatakan, masyarakatlah yang tidak sinergi dalam proses peningkatan kualitas pendidikan selama ini. Lingkaran setan itu pada akhirnya menjadi bola salju. Bergulir. Membesar. Kemudian hancur lebur. Masyarakat kita memang lebih senang memvonis. Mencari kambing hitam. Saling menyalahkan dan merasa diri yang paling benar.
Pada hakikatnya pendidikan merupakan tanggungjawab bersama. Guru di sekolah. Orang tua di rumah serta pemerintah sebagai pengayom. Tak perlu ada pihak-pihak yang disalahkan. Idealnya, semua pihak saling introspeksi. Saling memberi masukan dan perbaikan. Bukan sebaliknya. Mencaci maki bukan memberi solusi. Seharusnya cinta negeri beri solusi!
Merebaknya degrasi moral yang dipertontonkan oleh para pelajar secara vulgar, atau kasus Gayus yang tengah menjadi buah bibir masyarakat negeri ini, kita rasa bukan disebabkan malpraktek pendidikan yang dilakukan para guru. Guru adalah pionir peradaban. Guru adalah pencetus sekaligus pelestari norma, etika, dan tata nilai. Di tangan mereka estapet peradaban terus digulirkan seraya dipertaruhkan.
Betapa naifnya, jika ada pihak-pihak yang menuding guru sebagai kambing hitam merebaknya degradasi moral. Apalagi ada yang menilai kasus Gayus merupakan bukti rendahnya kualitas guru dalam membangun norma yang diajarkan di sekolah.
Kasus mafia pajak, degradasi moral, dan sederet ketimpangan sosial yang membengkak di tengah arus globalisasi, merupakan campuk bagi semua pihak untuk berupaya meningkatkan ketahanan moral. Ketahanan moral tentu bukan tanggungjawab perseorangan. Butuh kebersamaan dalam membangunnya,  seraya membentengi diri, keluarga dan lingkungan dengan nuansa religius dan pendekatan diri pada sang Kholik. Jika kondisi ini dipahami semua pihak, maka dipastikan menjadi obat mujarab yang ampuh dalam membendung degradasi moral yang terlanjur merebak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar