Translate

Jumat, 14 September 2012

Mencermati Tayangan Mistik pada Layar Kaca Kita


Mencermati Tayangan Mistik pada Layar Kaca Kita
Oleh Encon Rahman*)


Dewasa ini tayangan hantu telah menjadi komoditas di televisi kita. Maraknya tayangan hantu bukan tanpa alasan. Televisi sebagai media hiburan memiliki strategi untuk meraih untung sebanyak-banyaknya. Beranjak dari hal itu, tayangan hantu dinilai memiliki rating tinggi pada setiap episodenya, maka eksistensinya dipertahankan.
Tingginya nilai rating tayangan hantu di televisi, mendorong stasiun televisi berpacu menayangkan program sejenis. Sejak acara Kismis (Kisah-kisah Misteri) muncul di RCTI (2003), selanjutnya diikuti Dunia lain dan Ekspedisi Alam Gaib di TV7,  Percaya Nggak Percaya, O...Seram di Anteve, Saksi Misteri, Misteri Kisah Nyata di Lativi, Ekspedisi Alam Gaib  di TV7, Mitos di RCTI, TV Misteri, Gaib, Lingkar Dajjal, Gentayangan di TPI kini bernama MNC, dan Dunia Lain di Trans TV.
Tingginya animo masyarakat terhadap tayangan televisi yang bernuansa mistik, mendorong salah satu perusahaan celuller  pun menayangkan iklan sejenis hantu. Hasilnya, iklan itu berhasil menyita perhatian pemirsa. Terutama anak-anak, iklan celuller itu sering ditiru mereka seperti ucapan,”Geser dikit doong!”
Sepintas iklan itu tak rasional. Mungkinkah ada relevansi antara hantu dan celuller? Namun fungsi iklan bukan saja menyampaikan pesan jual, daya tarik yang tengah trend dimasyarakat menjadi titik awal sebuah proses kreatif lahir. Disinyalir iklan tersebut memberi isyarat kepada kita, bahwa di dunia gaib pun celuller tengah digandrungi lho!
Maraknya tayangan hantu di televisi kita dengan berbagai kemasan, tampaknya masih diburu masyarakat negeri ini. Kondisi itu diperkuat  pula dengan berbagai isu hantu di sekitar lingkungan kita. Tengok saja, kasus hantu yang konon bisa terdeteksi oleh kamera hp dari pohon beringin di kelurahan Cigasong dan Taman Bandara Munjul Majalengka beberapa waktu lalu.
Peristiwa tersebut semakin mendorong, eksistensi hantu menjadi koleksi yang menarik untuk dinikmati. Beberapa rekan saya malah merasa bangga memiliki koleksi berbagai jenis hantu yang tersimpan rapi pada fitur handphonenya. Ketika saya bertanya, untuk apa foto-foto itu disimpan? Ia menjawab, “Sebagai koleksi dunia lain,” ujarnya mantap.
Sementara itu, tayangan hantu dalam bentuk laga di televisi pun pernah kita saksikan seperti Tutur Tinular di RCTI dan Misteri Gunung Merapi, serta Dendam Nyi Pelet di Indosiar. Dalam bentuk komedi pun tak ketinggalan. Simak saja tayangan mistik yang pernah menghiasi layar kaca kita beberapa waktu lalu, misalnya Jin dan Jun, Tuyul dan Mbak Yul di RCTI selanjutnya ditayangkan di TPI (MNC sekarang), Mr. Dower Ketemu Hancu Cantik di Trans TV, atau Jadi Pocong 2 di Indosiar.
Fenomena tayangan hantu di layar kaca, ternyata mendorong semaraknya dunia gaib pada layar lebar. Film Jelangkung (2001) konon sukses di pasaran hingga menarik penonton sekitar 1,3 juta. Film serupa akhirnya bermunculan, Tusuk Jelangkung, Suster Ngesot, Pocong Ngesot, atau Arwah Goyang Jupe Depe yang sedang tayang di berbagai bioskop tanah air.
Menyaksikan tingginya rating sinetron mistik di layar kaca maupun layar lebar membuktikan bahwa sebagian masyarakat Indonesia semakin senang pada hal-hal yang berbau horor. Kondisi ini menyiratkan, fenomena mistik  memang menarik.
Kemasan tayangan yang dibalut dengan teknologi canggih, ternyata mampu menyita sebagian besar waktu pemirsa. Bukan itu saja, isi kocek pemirsa pun akhirnya  mengalir deras pada kantong-kantong produser yang menayangkan film mistik.
Kegandrungan masyarakat terhadap film-film mistik, bukan hanya tertuju pada tayangan lokal. Film produk luar negeri seperti Beyond Belief: Fact or Fiction yang ditayangkan Metro TV atau Mysterious Ways Nangnak di Lativi beberapa waktu lalu ternyata digemari pemirsa di tanah air.
Semaraknya tayangan hantu sah-sah saja kita nikmati, namun hal penting yang tidak boleh diabaikan dalam kaitan ini, yakni tayangan mistik jangan sampai menyesatkan para pemirsa. Dalam kaitan ini, pengelola program TV harus memiliki tanggungjawab moral terhadap ekses dari sebuah tayangan.
Tanggungjawab moral yang dimaksud di antaranya mampu mencerdaskan masyarakat dengan berbagai suguhan positif. Bukan sebaliknya, mengeksploitasi habis-habisan tayangan mistik dengan tidak mempedulikan dampak negatif tayangan terhadap perkembangan psikologis pemirsanya.
Sejalan dengan harapan di atas, Undang-undang Penyiaran Tahun 2002 pasal 36 menyatakan larangan tentang tayangan yang menyesatkan dan mengabaikan nilai-nilai agama. Sebagaimana tersurat pada poin 5, “Isi siaran dilarang:...menyesatkan dan/atau bohong.” Sementara itu, pon berikutnya menyatakan, “Isi siaran dilarang...melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama...”
Pesan moral UU Penyiaran tersebut setidaknya harus menjadi panduan pengelola program TV dalam membuat tayangan-tayangan berbau mistik. Tanpa rasa tanggungjawab yang besar dari pengelola program TV, kita khawatir degradasi moral bangsa ini semakin terpuruk.
Anak-anak dan generasi muda, membutuhkan kehadiran televisi sebagai tontonan sekaligus tuntutan. Dengan demikian, beban berat perbaikan akhlak itu juga ikut dipikul oleh pengelola program TV. Maka, tak ada harapan lain, pengelola TV jangan sekedar mencari untung.
Menyajikan tayangan positif, mendorong kreativitas dan inovatif pemirsa sekarang ini merupakan tayangan yang sangat dirindukan. Hidup yang semakin kompetitif, seraya iklim global yang tengah merasuk pada sendi-sendi kehidupan, setidaknya tidak dikotori oleh tayangan kerdil sejenis tayangan mistik yang berlebihan.
Pengelola TV harus kembali pada khittah semula, yakni memfungsikan televisi sebagai media edukatif (pendidikan), rekreatif (hiburan), dan informatif (informasi). Fungsi ini bukan hanya slogan semata. Prosentasi daya tayang antara ketiga komponen tersebut idealnya seimbang, bukan hanya prosentasi rekreatifnya saja yang tampak menonjol. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar