Mencermati
Tayangan Mistik pada Layar Kaca Kita
Oleh Encon Rahman*)
Dewasa ini tayangan hantu
telah menjadi komoditas di televisi kita. Maraknya tayangan hantu bukan tanpa
alasan. Televisi sebagai media hiburan memiliki strategi untuk meraih untung
sebanyak-banyaknya. Beranjak dari hal itu, tayangan hantu dinilai memiliki
rating tinggi pada setiap episodenya, maka eksistensinya dipertahankan.
Tingginya nilai rating
tayangan hantu di televisi, mendorong stasiun televisi berpacu menayangkan
program sejenis. Sejak acara Kismis
(Kisah-kisah Misteri) muncul di RCTI (2003), selanjutnya diikuti Dunia lain dan Ekspedisi Alam Gaib di TV7, Percaya Nggak Percaya, O...Seram di
Anteve, Saksi Misteri, Misteri Kisah
Nyata di Lativi, Ekspedisi Alam Gaib di TV7, Mitos
di RCTI, TV Misteri, Gaib, Lingkar
Dajjal, Gentayangan di TPI kini bernama MNC, dan Dunia Lain di Trans TV.
Tingginya animo masyarakat
terhadap tayangan televisi yang bernuansa mistik, mendorong salah satu
perusahaan celuller pun menayangkan
iklan sejenis hantu. Hasilnya, iklan itu berhasil menyita perhatian pemirsa.
Terutama anak-anak, iklan celuller itu sering ditiru mereka seperti ucapan,”Geser
dikit doong!”
Sepintas iklan itu tak
rasional. Mungkinkah ada relevansi antara hantu dan celuller? Namun fungsi
iklan bukan saja menyampaikan pesan jual, daya tarik yang tengah trend dimasyarakat
menjadi titik awal sebuah proses kreatif lahir. Disinyalir iklan tersebut
memberi isyarat kepada kita, bahwa di dunia gaib pun celuller tengah digandrungi
lho!
Maraknya tayangan hantu di
televisi kita dengan berbagai kemasan, tampaknya masih diburu masyarakat negeri
ini. Kondisi itu diperkuat pula dengan
berbagai isu hantu di sekitar lingkungan kita. Tengok saja, kasus hantu yang
konon bisa terdeteksi oleh kamera hp dari pohon beringin di kelurahan Cigasong dan
Taman Bandara Munjul Majalengka beberapa waktu lalu.
Peristiwa tersebut semakin
mendorong, eksistensi hantu menjadi koleksi yang menarik untuk dinikmati.
Beberapa rekan saya malah merasa bangga memiliki koleksi berbagai jenis hantu
yang tersimpan rapi pada fitur handphonenya. Ketika saya bertanya, untuk apa
foto-foto itu disimpan? Ia menjawab, “Sebagai koleksi dunia lain,” ujarnya
mantap.
Sementara itu, tayangan
hantu dalam bentuk laga di televisi pun pernah kita saksikan seperti Tutur Tinular di RCTI dan Misteri Gunung Merapi, serta Dendam Nyi Pelet di Indosiar. Dalam
bentuk komedi pun tak ketinggalan. Simak saja tayangan mistik yang pernah
menghiasi layar kaca kita beberapa waktu lalu, misalnya Jin dan Jun, Tuyul dan Mbak Yul di RCTI selanjutnya ditayangkan di
TPI (MNC sekarang), Mr. Dower Ketemu
Hancu Cantik di Trans TV, atau Jadi
Pocong 2 di Indosiar.
Fenomena tayangan hantu di
layar kaca, ternyata mendorong semaraknya dunia gaib pada layar lebar. Film Jelangkung (2001) konon sukses di
pasaran hingga menarik penonton sekitar 1,3 juta. Film serupa akhirnya
bermunculan, Tusuk Jelangkung, Suster
Ngesot, Pocong Ngesot, atau Arwah
Goyang Jupe Depe yang sedang tayang di berbagai bioskop tanah air.
Menyaksikan tingginya rating
sinetron mistik di layar kaca maupun layar lebar membuktikan bahwa sebagian
masyarakat Indonesia semakin senang pada hal-hal yang berbau horor. Kondisi ini
menyiratkan, fenomena mistik memang
menarik.
Kemasan tayangan yang
dibalut dengan teknologi canggih, ternyata mampu menyita sebagian besar waktu
pemirsa. Bukan itu saja, isi kocek pemirsa pun akhirnya mengalir deras pada kantong-kantong produser
yang menayangkan film mistik.
Kegandrungan masyarakat
terhadap film-film mistik, bukan hanya tertuju pada tayangan lokal. Film produk
luar negeri seperti Beyond Belief: Fact
or Fiction yang ditayangkan Metro TV atau Mysterious Ways Nangnak di Lativi beberapa waktu lalu ternyata
digemari pemirsa di tanah air.
Semaraknya tayangan hantu
sah-sah saja kita nikmati, namun hal penting yang tidak boleh diabaikan dalam
kaitan ini, yakni tayangan mistik jangan sampai menyesatkan para pemirsa. Dalam
kaitan ini, pengelola program TV harus memiliki tanggungjawab moral terhadap
ekses dari sebuah tayangan.
Tanggungjawab moral yang
dimaksud di antaranya mampu mencerdaskan masyarakat dengan berbagai suguhan
positif. Bukan sebaliknya, mengeksploitasi habis-habisan tayangan mistik dengan
tidak mempedulikan dampak negatif tayangan terhadap perkembangan psikologis
pemirsanya.
Sejalan dengan harapan di
atas, Undang-undang Penyiaran Tahun 2002 pasal 36 menyatakan larangan tentang
tayangan yang menyesatkan dan mengabaikan nilai-nilai agama. Sebagaimana
tersurat pada poin 5, “Isi siaran dilarang:...menyesatkan dan/atau bohong.”
Sementara itu, pon berikutnya menyatakan, “Isi siaran dilarang...melecehkan
dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama...”
Pesan moral UU Penyiaran
tersebut setidaknya harus menjadi panduan pengelola program TV dalam membuat
tayangan-tayangan berbau mistik. Tanpa rasa tanggungjawab yang besar dari
pengelola program TV, kita khawatir degradasi moral bangsa ini semakin
terpuruk.
Anak-anak dan generasi muda,
membutuhkan kehadiran televisi sebagai tontonan sekaligus tuntutan. Dengan
demikian, beban berat perbaikan akhlak itu juga ikut dipikul oleh pengelola
program TV. Maka, tak ada harapan lain, pengelola TV jangan sekedar mencari untung.
Menyajikan tayangan positif,
mendorong kreativitas dan inovatif pemirsa sekarang ini merupakan tayangan yang
sangat dirindukan. Hidup yang semakin kompetitif, seraya iklim global yang
tengah merasuk pada sendi-sendi kehidupan, setidaknya tidak dikotori oleh
tayangan kerdil sejenis tayangan mistik yang berlebihan.
Pengelola TV harus kembali
pada khittah semula, yakni memfungsikan televisi sebagai media edukatif
(pendidikan), rekreatif (hiburan), dan informatif (informasi). Fungsi ini bukan
hanya slogan semata. Prosentasi daya tayang antara ketiga komponen tersebut
idealnya seimbang, bukan hanya prosentasi rekreatifnya saja yang tampak
menonjol. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar