Kiat
Praktis Teknik Menulis
Rahasia
Menjadi Kaya dengan Menulis
Oleh Encon Rahman, S.Pd
Jika saya mengurut waktu ke belakang, belajar mencari uang lewat
tulisan di media cetak sudah saya lakukan sejak duduk di SMP Negeri Cigasong. Guru-guru
saya, seperti ibu Siti Kusyantini, Ratna Sariningsih, Lilis, serta Nunung S.N.-semoga
Allah mencintai beliau-merupakan guru-guru yang pernah membongkar talenta saya
dalam bidang menulis.
Berkat kejelian beliau
menemukan “mutiara terpendam” dalam diri saya, saya akhirnya pede menikmati
dunia saya sebagai penulis. Walaupun secara materi belum saya peroleh seoptimal
mungkin. Namun, saya menilai mereka berhasil menjadi sosok pendidik, dimana
tugas mereka bukan sekedar mengajar, atau mentransper ilmu semata, melainkan mampu
mengembangkan dan mendorong talenta setiap anak didiknya.
“Kesenangan” menulis
terus berlanjut hingga saya duduk di SPG Negeri Majalengka. Pada saat itu, guru
yang memotivasi saya berkiprah dalam dunia tulis menulis di antaranya, bapak
Ali Wardoyo, Djunaedi, Umar Fadjaruddin, Entis Sutisna, dan M.Toyib Al Nasiri
–semoga Allah selalu merahmatinya-
Di SPG Negeri
Majalengka saya dijuluki sebagai “wartawan”. Julukan itu saya sandang karena sejak
kelas II hingga kelas III SPG saya sering menulis berbagai kegiatan sekolah,
adik dan kakak kelas yang berprestasi untuk dipublikasikan, selain menulis
cerpen, sajak, kartun, dan opini pada tabloid PR Group terbitan Bandung.
Alhamdulillah,
dengan ijin Allah tulisan dan berita yang saya kirim mayoritas dimuat oleh
redaksi. Kondisi ini tentu sangat menggembirakan. Betapa tidak, selain
teman-teman saya yang dipublikasikan menjadi populer. Pemasukan honor pun terus
mengalir ke saku saya.
Di Bandung, ketika saya
menjadi mahasiswa, menulis ke media cetak terus dilanjutkan. Alhasil menulis di
koran-koran cukup membantu kondisi keuangan saya selama menjadi mahasiswa. Selanjutnya
pada saat saya ingin menikah dan tidak memiliki uang, menulis tetap menjadi “sumur
keuangan” saya. Naskah kiriman saya berupa cerita bersambung (cerbung) anak
dimuat oleh HU Pikiran Rakyat Bandung.
Hasilnya bisa ditebak. Saya bisa menikah he he.
Sekelumit perjalanan
karir saya dalam menulis, melahirkan harapan besar di masa depan, keterampilan
menulis dapat dijadikan sandaran hidup.
“Tapi pak Encon banyak
penulis di Indonesia yang miskin, hidupnya pas-pasan tidak mungkin profesi
menulis dapat dijadikan sandaran hidup?” sela kang Diding ketika saya diskusi dengan beliau tentang masalah ini.
“Ya, benar. Karena
penulis dan pengarang di Indonesia pada umumnya menjadikan menulis hanya
sebagai hobi bukan bakat!”
“Bakat...kubutuh?”
seloroh Diding seraya tertawa.
Saya ikut tersenyum.
“Ada perbedaan yang
sangat signifikan antara hobi dan bakat. Hobi adalah kesenangan yang
mengeluarkan uang. Sedangkan bakat adalah kesenangan yang menghasilkan uang,”
ujar saya lagi.
“Jadi artinya, jika kang Diding setiap minggu pergi ke GOR
bermain bulu tangkis. Membeli kok, rokok, dan minuman serta menghabiskan
sebagian sisa usia di sana. Sementara kang
Diding tak pernah menjadi atletik bulutangkis yang diperhitungkan di tingkat
kabupaten, provinsi, atau nasional. Itu artinya kang Diding hanya memiliki hobi
bermain bulutangkis (kesenangan yang mengeluarkan uang). Namun, jika kang Diding pergi ke GOR untuk bermain
bulutangkis, lalu ikut event-event kejuaran dan menang! Ini berarti kang Diding memiliki bakat dibidang
bulutangkis (kesenangan yang menghasilkan uang),” ucap saya lagi panjang lebar.
Ciri lain dari
perbedaan hobi dan bakat, yakni hobi cenderung tidak serius sedangkan bakat dilakukan
harus serius. Hobi dilakukan kapan saja. Bakat dilakukan setiap saat. Hobi tidak pernah menghasilkan uang. Bakat
sedikit banyaknya selalu menghasilkan uang. Hobi tidak termasuk tataran
industri. Bakat merupakan bagian dari industri.
Berdasarkan asumsi di
atas, dapat disimpulkan hobi sedikit pun tidak pernah menghasilkan uang.
Sedangkan bakat sebaliknya. Kalaupun ada pengeluaran hanya sebatas investasi.
Kerja
Sambilan
Saya sering menyaksikan
para pengarang dan penulis di Indonesia bekerja menuangkan tulisan kalau ada
ide saja. Atau ada orderan. Maka pantas kalau pemasukan uangnya pun tidak
rutin. Kondisi ini juga sering dialami oleh para penulis pemula, termasuk
mahasiswa. Motivasi menulisnya tinggi, tetapi praktek menulisnya hanya sebulan
sekali. Pantas kalau penghasilannya pas-pasan. Tidak mencukupi kebutuhan hidup
selama 30 hari.
Menjadi kaya dengan
menulis membutuhkan keistiqomahan. Rutin. Disiplin. Sabar dan tidak lekas putus
asa. Modalnya hanya itu. Selebihnya membeli kertas, mencari ide tulisan, nge-print,
dan membayar ongkos kirim via email di warnet.
Menulis termasuk bidang
jasa. Oleh karena itu, investasinya hanya sekali selama seumur hidup, yakni bisa
menulis. Bukankah belajar menulis sudah kita dapatkan sejak kelas I SD? Nah, jika ibu bapak Saudara sudah bisa
menulis sudah sejak lama, kenapa tidak mencoba menuangkan gagasan lewat tulisan?
Menulislah secara
berkesinambungan. Kontinuitas inilah yang menjadi modal bagi para penulis.
Modal tersebut tentu dimiliki oleh siapapun termasuk tukang ojeg. Di Bandung saya
memiliki seorang rekan tukang ojeg yang sering menuangkan tulisan sambil
menunggu penumpangnya.
Kadang sajak, cerpen,
budaya dan sebagainya. Tulisan-tulisan itu Ia kumpulkan. Selanjutnya ia kirim
ke HU Pikiran Rakyat, Kompas, Republika dan beberapa media lokal lainnya. O ya hanya tiga tahun
saja ia menjadi tukang ojeg. Selanjutnya ia direkrut oleh media cetak terbitan
Bandung sebagai penulis tetap budaya. Luar biasa!
Secara ekonomi yang
bersangkutan memiliki peningkatan yang signifikan. Selain itu, ia sekarang tak
lagi menjadi tukang ojeg yang mangkal di pinggiran kota Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar