Translate

Jumat, 14 September 2012

Rahasia Menjadi Kaya dengan Menulis


Kiat Praktis Teknik Menulis
Rahasia Menjadi Kaya dengan Menulis
Oleh Encon Rahman, S.Pd


   Jika saya mengurut waktu ke belakang, belajar mencari uang lewat tulisan di media cetak sudah saya lakukan sejak duduk di SMP Negeri Cigasong. Guru-guru saya, seperti ibu Siti Kusyantini, Ratna Sariningsih, Lilis, serta Nunung S.N.-semoga Allah mencintai beliau-merupakan guru-guru yang pernah membongkar talenta saya dalam bidang menulis.
Berkat kejelian beliau menemukan “mutiara terpendam” dalam diri saya, saya akhirnya pede menikmati dunia saya sebagai penulis. Walaupun secara materi belum saya peroleh seoptimal mungkin. Namun, saya menilai mereka berhasil menjadi sosok pendidik, dimana tugas mereka bukan sekedar mengajar, atau mentransper ilmu semata, melainkan mampu mengembangkan dan mendorong talenta setiap anak didiknya.
“Kesenangan” menulis terus berlanjut hingga saya duduk di SPG Negeri Majalengka. Pada saat itu, guru yang memotivasi saya berkiprah dalam dunia tulis menulis di antaranya, bapak Ali Wardoyo, Djunaedi, Umar Fadjaruddin, Entis Sutisna, dan M.Toyib Al Nasiri –semoga Allah selalu merahmatinya-
Di SPG Negeri Majalengka saya dijuluki sebagai “wartawan”. Julukan itu saya sandang karena sejak kelas II hingga kelas III SPG saya sering menulis berbagai kegiatan sekolah, adik dan kakak kelas yang berprestasi untuk dipublikasikan, selain menulis cerpen, sajak, kartun, dan opini pada tabloid PR Group terbitan Bandung.
Alhamdulillah, dengan ijin Allah tulisan dan berita yang saya kirim mayoritas dimuat oleh redaksi. Kondisi ini tentu sangat menggembirakan. Betapa tidak, selain teman-teman saya yang dipublikasikan menjadi populer. Pemasukan honor pun terus mengalir ke saku saya.
Di Bandung, ketika saya menjadi mahasiswa, menulis ke media cetak terus dilanjutkan. Alhasil menulis di koran-koran cukup membantu kondisi keuangan saya selama menjadi mahasiswa. Selanjutnya pada saat saya ingin menikah dan tidak memiliki uang, menulis tetap menjadi “sumur keuangan” saya. Naskah kiriman saya berupa cerita bersambung (cerbung) anak dimuat oleh HU Pikiran Rakyat Bandung. Hasilnya bisa ditebak. Saya bisa menikah he he.
Sekelumit perjalanan karir saya dalam menulis, melahirkan harapan besar di masa depan, keterampilan menulis dapat dijadikan sandaran hidup.
“Tapi pak Encon banyak penulis di Indonesia yang miskin, hidupnya pas-pasan tidak mungkin profesi menulis dapat dijadikan sandaran hidup?” sela kang Diding ketika saya diskusi dengan beliau tentang masalah ini.
“Ya, benar. Karena penulis dan pengarang di Indonesia pada umumnya menjadikan menulis hanya sebagai hobi bukan bakat!”
“Bakat...kubutuh?” seloroh Diding seraya tertawa.
Saya ikut tersenyum.
“Ada perbedaan yang sangat signifikan antara hobi dan bakat. Hobi adalah kesenangan yang mengeluarkan uang. Sedangkan bakat adalah kesenangan yang menghasilkan uang,” ujar saya lagi.
“Jadi artinya, jika kang Diding setiap minggu pergi ke GOR bermain bulu tangkis. Membeli kok, rokok, dan minuman serta menghabiskan sebagian sisa usia di sana. Sementara kang Diding tak pernah menjadi atletik bulutangkis yang diperhitungkan di tingkat kabupaten, provinsi, atau nasional. Itu artinya kang Diding hanya memiliki hobi bermain bulutangkis (kesenangan yang mengeluarkan uang). Namun, jika kang Diding pergi ke GOR untuk bermain bulutangkis, lalu ikut event-event kejuaran dan menang! Ini berarti kang Diding memiliki bakat dibidang bulutangkis (kesenangan yang menghasilkan uang),” ucap saya lagi panjang lebar.
Ciri lain dari perbedaan hobi dan bakat, yakni hobi cenderung tidak serius sedangkan bakat dilakukan harus serius. Hobi dilakukan kapan saja. Bakat dilakukan setiap saat.  Hobi tidak pernah menghasilkan uang. Bakat sedikit banyaknya selalu menghasilkan uang. Hobi tidak termasuk tataran industri. Bakat merupakan bagian dari industri.
Berdasarkan asumsi di atas, dapat disimpulkan hobi sedikit pun tidak pernah menghasilkan uang. Sedangkan bakat sebaliknya. Kalaupun ada pengeluaran hanya sebatas investasi.
Kerja Sambilan
Saya sering menyaksikan para pengarang dan penulis di Indonesia bekerja menuangkan tulisan kalau ada ide saja. Atau ada orderan. Maka pantas kalau pemasukan uangnya pun tidak rutin. Kondisi ini juga sering dialami oleh para penulis pemula, termasuk mahasiswa. Motivasi menulisnya tinggi, tetapi praktek menulisnya hanya sebulan sekali. Pantas kalau penghasilannya pas-pasan. Tidak mencukupi kebutuhan hidup selama 30 hari.
Menjadi kaya dengan menulis membutuhkan keistiqomahan. Rutin. Disiplin. Sabar dan tidak lekas putus asa. Modalnya hanya itu. Selebihnya membeli kertas, mencari ide tulisan, nge-print, dan membayar ongkos kirim via email di warnet.
Menulis termasuk bidang jasa. Oleh karena itu, investasinya hanya sekali selama seumur hidup, yakni bisa menulis. Bukankah belajar menulis sudah kita dapatkan sejak kelas I SD? Nah, jika ibu bapak Saudara sudah bisa menulis sudah sejak lama, kenapa tidak mencoba menuangkan gagasan lewat tulisan?
Menulislah secara berkesinambungan. Kontinuitas inilah yang menjadi modal bagi para penulis. Modal tersebut tentu dimiliki oleh siapapun termasuk tukang ojeg. Di Bandung saya memiliki seorang rekan tukang ojeg yang sering menuangkan tulisan sambil menunggu penumpangnya.
Kadang sajak, cerpen, budaya dan sebagainya. Tulisan-tulisan itu Ia kumpulkan. Selanjutnya ia kirim ke HU Pikiran Rakyat, Kompas, Republika dan beberapa media lokal lainnya. O ya hanya tiga tahun saja ia menjadi tukang ojeg. Selanjutnya ia direkrut oleh media cetak terbitan Bandung sebagai penulis tetap budaya. Luar biasa!
Secara ekonomi yang bersangkutan memiliki peningkatan yang signifikan. Selain itu, ia sekarang tak lagi menjadi tukang ojeg yang mangkal di pinggiran kota Bandung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar