Plus
Minus Tutupnya Jalur Mandiri PTN
Oleh : Encon Rahman
Bergulirnya wacana kebijakan
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) untuk menutup seluruh jalur mandiri PTN
pada 2012, disambut baik berbagai kalangan. Meskipun demikian, khusus tahun ini
pemerintah masih memberi kesempatan untuk membuka jalur mandiri sebagaimana
tertuang Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 34 Tahun 2010 tentang Pola Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan
Pemerintah dengan ketentuan tidak melebihi kuota 40 persen dari total
penerimaan mahasiswa baru.
Beranjak dari ketentuan
pemerintah tersebut, beberapa PTN tahun ini masih tetap membuka jalur mandiri.
Salah satunya Universitas Indonesia (UI). UI tetap akan membuka seleksi jalur
mandiri yang disebut Seleksi Masuk Universitas Indonesia (Simak-UI) mulai 3-4 Juli 2011 dengan jumlah mahasiswa
yang akan diterima sebanyak empat puluh persen. Sedangkan enam puluh persennya
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Menurut rektor UI Prof. Dr.
Gumilar Rusliwa Sasmita seperti dilansir media, “Setiap tahunnya UI menerima
mahasiswa reguler sebanyak 5.000 mahasiswa, dengan jumlah pendaftar rata-rata
120.000.”
Beranjak dari data yang
disodorkan rektor UI di atas, kita memahami kenapa PTN selevel UI masih tetap ‘ngotot’
untuk membuka jalur mandiri empat puluh persennya pada tahun ini. Namun, dengan
wacana akan tutupnya jalur mandiri, tahun depan dipastikan seluruh PTN akan kembali
back to basic dengan membuka jalur SNMPTN.
Apa sebenarnya kajian plus minus dengan dikeluarkannya kebijakan menutup jalur
mandiri di PTN bagi perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia?
Cikal
Bakal Jalur Mandiri
Jika merunut kronologis lahirnya
istilah jalur mandiri di PTN, pada awalnya istilah yang satu ini tidak pernah
populer dikalangan masyarakat maupun akademis. Pada saat itu, istilah yang kita
kenal bernama Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). PMDK merupakan seleksi
penerimaan mahasiwa baru PTN di luar jalur seleksi nasional. Adapun PTN yang yang
menjadi pionir PMDK, yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB).
Seiring waktu dan perubahan
kebijakan tentang eksistensi PTN, baik dari sisi status --PTN menjadi PTN Badan
Hukum Milik Negara (BHMN)-- maupun pendanaan, beberapa PTN seperti UPI, UNPAD,
UGM, ITB mencari terobosan baru. Maka lahirlah apa yang disebut dengan istilah jalur
mandiri.
Jalur mandiri adalah
penerimaan mahasiswa baru PTN diluar jalur SNMPTN. Jalur ini diperuntukkan bagi
mahasiswa baru dengan berlebel kelas eksekutif. Dikatakan demikian, karena
secara teknis banyak perbedaan. Perbedaan itu mencakup teknis penerimaan, waktu
perkuliahan, status mahasiswa, dan nilai SPP yang harus disetor mahasiswa.
Mutualisme
Keberadaan jalur mandiri
bagi PTN sendiri merupakan angin segar yang menyejukan. Betapa tidak, aliran
SPP yang diperoleh dari calon mahasiswa jalur mandiri begitu deras. Meskipun
SPP jalur mandiri oleh sebagian orang dianggap mahal, tetapi kenyataannya jalur
mandiri tak pernah sepi dari peminat.
Pada sisi lain, bagi calon
mahasiswa, jalur mandiri sangat menguntungkan. Selain bisa menikmati PTN yang mereka
idamkan, juga jadwal perkulihaan dapat menyesuaikan dengan pekerjaan. Mutualisme
semacam inilah, penyebab utama jalur mandiri tetap diburu.
“Keuntungan” beberapa PTN
menyelenggarakan jalur mandiri, mendorong kiprah jalur mandiri menjadi pundi-pundi
yang dirindu oleh PTN. Maka, berlomba-lombalah PTN non-BHMN pun untuk
menyelenggarakan jalur mandiri. Kondisi itu akhirnya, menjaring kompetitor
antar perguruan tinggi.
Persaingan jalur mandiri di PTN,
membuat PTS merasa gerah. Kegerahan itu disebabkan PTS sering tidak kebagian “kue”.
Maka, bagi PTS eksistensi jalur mandiri merupakan ancaman serius bagi
keberlangsungan PTS itu sendiri. Dari fenomena ini, PTS kemudian mencoba
melakukan berbagai terobosan dalam meraih simpati calon mahasiswa baru. Berbagai
upaya dilakukan, mulai diskon SPP, bisa langsung kerja pasca wisuda, hingga
beasiswa. Konsep marketing yang ditawarkan PTS, tidak seluruhnya berhasil.
Dampaknya, beberapa PTS papan bawah terpaksa gulung tikar.
Plus
Minus
Menjamurnya jalur mandiri
oleh PTN BHMN, disadari atau tidak telah melahirkan plus minus bagi
perkembangan pendidikan tinggi di negeri ini. Nilai plus yang dimaksud.
Pertama,
jalur mandiri bagi PTN merupakan lumbung keuangan yang menggairahkan. Berbagai
perubahan kebijakan pemerintah selama ini, mendorong PTN untuk melakukan
kreativitas, baik peningkatan sarana maupun kondisi finansial. Dengan adanya
jalur mandiri, konsekwensi itu terjawab sudah.
Kedua, jalur
mandiri menjadikan pendidikan tinggi lebih berkualitas. Konsep bisnis yang
menyatakan harga produk sejalan dengan kualitas barang, menjadi rujukan bagi jalur
mandiri. Itulah sebabnya, diyakini jalur mandiri menjadi salah satu alternatif dalam
membangun dinamika perguruan tinggi yang lebih kompetitif dan berkualitas.
Ketiga, jalur
mandiri merupakan sarana meningkatkan branding
(merk). Jika kita pandang dari persfektif daya jual. Kehadiran jalur
mandiri menjadi daya tarik tersendiri. Disinyalir merk lembaga merupakan
parameter kualitas dan jaminan mutu. Itulah sebabnya, orang berbondong-bondong
memasuki jalur mandiri, meskipun harganya selangit. Dalam benak mereka, branding lembaga menjadi bergengsi pasca
wisuda nanti. Pada sisi lain, mereka lebih pede
saat mencantumkan gelar akademis di belakang namanya, karena lulusan PTN
bergengsi.
Menyingkapi sederet analisis
keunggulan jalur mandiri di atas, kita dapat menyimpulkan keberadaan jalur
mandiri PTN dewasa ini, selain memiliki peran terhadap perkembangan pendidikan
tinggi di Indonesia, juga menjadi tolak ukur dalam membangun imej positif bagi
para lulusannya.
Sementara itu, nilai minus
dengan adanya jalur mandiri dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama,
jalur mandiri semakin mengukuhkan
keberadaan PT sebagai lembaga yang tidak mudah terjamah oleh kalangan masyarakat
miskin. Dengan kata lain, pendidikan tinggi dewasa ini tidak lagi murah. Asumsi
ini semakin meyakinkan masyarakat miskin untuk tidak menikmati bangku
pendidikan tinggi.
Kedua,
jalur mandiri melemahkan keberadaan PTS papan bawah. Disadari atau tidak, kehadiran
jalur mandiri PTN merupakan ancaman serius bagi PTS papan bawah. Dikatakan
ancaman karena sudah dipastikan banyak calon mahasiswa yang tidak lulus SNMPTN
tetap melirik PTN sebagai tempat berlabuhnya. Jika demikian adanya, maka PTS papan
bawah hanya gigit jari. Toh, selama
ini kebanyakan PTS papan bawah, terpaksa hanya menunggu limpahan mahasiswanya
yang tidak lulus SNMPTN.
Ketiga, terhambatnya
jalur reguler. Dengan adanya jalur mandiri dipastikan jalur reguler terhambat.
Perpecahan dua jalur ini mendorong adanya dua kubu masyarakat Indonesia dalam
memperebutkan pendidikan tinggi. Akhirnya, hanya masyarakat ekonomi
berkecukupan saja yang akan menikmati jalur mandiri. Sedangkan masyarakat
miskin tidak mungkin menikmatinya.
Keempat,
jalur mandiri menimbulkan jurang pemisah. Tidak dipungkiri kalau selama ini hanya
masyarakat ekonomi kelas tinggi yang bisa menikmati jalur mandiri PTN, maka kultus individu pun
akan lahir. Padahal pendidikan merupakan hak semua warga negara. Jurang pemisah
ini sangat rentan terhadap sosial politik di masa depan.
Kelima,
PTN sebagai lembaga komersil. Tingginya dana pengembangan pendidikan pada jalur
mandiri membuat PTN memiliki kesan yang tidak sedap. PTN dituding sebagai
lembaga komersil. Mahal dan tidak memihak rakyat kecil. Jika ini terjadi, maka
apalagi yang bisa dibanggakan dari profil lembaga akademis ini.
Bermuara dari kajian plus
minus jalur mandiri PTN, maka wacana kebijakan pemerintah yang akan menutup
seluruh jalur mandiri 2012 kita dukung. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar