Pelajaran
dari Revolusi Timur Tengah
Oleh Encon Rahman
Mesir terguncang. Husni Mubarak pun tumbang. Kondisi serupa
dialami Ben Ali dari Tunisia. Selanjutnya giliran Bahrain dan Libia mengalami dahsyatnya
kekuatan rakyat (people power). Apa
sebenarnya pelajaran yang dapat kita petik dari revolusi dunia Arab?
Gejola demonstrasi di Timur
Tengah memiliki kesamaan dengan peristiwa berdarah di Indonesia pada tahun
1998. Pada saat itu rezim orde baru dipaksa turun. Kesamaan persfektif ini
berdasarkan kajian.
Pertama,
runtuhnya kepercayaan (trust). Ketika
kepercayaan rakyat menjadi minimalis terhadap para pemimpin, saat yang
bersamaan fanatisme runtuh. Akibatnya rakyat tak lagi peduli. Secantik apapun
dogma yang dilontarkan pemimpin negeri tak lagi menjadi pelipur lara.
Kepercayaan merupakan harga mati.
Itulah sebabnya, bagi
seorang pemimpin trust adalah harga
diri sekaligus reputasi. Dengan kata lain, runtuhnya kepercayaan merupakan
indikasi ‘kiamat kubro’ bagi seorang pemimpin. Karenanya, memelihara
kepercayaan sama halnya dengan memelihara amunisi. Pada sisi lain, trust
merupakan senjata ampuh dalam menjamin stabilitas politik, sosial, dan ekonomi
negara itu sendiri.
Kedua,
terlalu lama memimpin. Pemimpin yang terlalu lama memimpin, mayoritas
menimbulkan ending yang tidak nyaman
pada akhir hayatnya. Sejarah membuktikan, Presiden Soekarno sebagai pionir
negeri ini akhirnya jatuh mengenaskan.
Demikian juga dengan
Presiden Soeharto. Selanjutnya, Presiden Mesir Husni Mubarak, presiden Filipina
Marcos, Presiden Tunisia Zine El-Abidine Ben Ali, serta presiden Yaman,
Bahrain, Libia, Yordania, Suriah, dan Aljazair diguncang dengan diagnosa yang
sama.
Ketiga,
gaya kepemimpinan. Jika kita kaji lebih mendalam, gaya kepemimpinan yang
bersifat otoriter ternyata hanya melahirkan bom waktu. Kekuatan militer sebagai
benteng otoritas presiden pada akhirnya penyebab utama runtuhnya sebuah
rezim.
Orde baru misalnya. Siapa
sangka kalau rezim ini bakal runtuh dengan mengenaskan. Kekuatan yang mengakar
begitu kokoh selama 32 tahun, akhirnya jatuh dalam hitungan hari. Kondisi ini
seharusnya menjadi cambuk bagi siapapun yang menjadi pemimpin negeri.
Keempat,
kekuatan
militer. Tak dapat disangkal, dalam tatanan kenegaraan, eksistensi militer
merupakan daya dukung yang sangat fundamental. Presiden dalam kaitan ini
merupakan pengendali. Sebagai pengendali kewenangan presiden kerap salah
kaprah. Militer yang seharusnya mengayomi masyarakat, malah berbuat sebaliknya.
Di Mesir seperti diberitakan
media, sebelum terjadi demonstran besar-besaran, militer dan polisi merupakan
satuan yang sangat ditakuti rakyat. Kondisi ini memiliki irisan dengan model
rezim orde baru saat berjaya. Keberadaan militer dan polisi menjadi penguasa
lokal. Tak tanggung-tanggung, siapa yang melawan ia akan binasa.
Berdasarkan diagnosa krisis
kepemimpinan di atas, kita meyakini tipe kepemimpinan otoriter merupakan model
kepemimpinan yang perlu dikaji ulang di abad 21 ini. Meskipun demikian, tidak
berarti model kepemimpinan demokratis adalah yang paling baik. Terbukti,
Indonesia yang tengah mengusung model kepemimpinan ini hasilnya belum
menggembirakan. Bahkan cenderung kebla-blasan!
Bagaimana dengan jenis
kepemimpinan karismatik? Di tengah krisis kepercayaan terhadap pigur, Indonesia
hingga saat ini belum memiliki model yang dimaksud. Sulitnya mencari pemimpin
karismatik disebabkan oleh degradasi budaya yang terlanjur bias. Adanya
pembiasan ini akibat sistem yang lama terkubur. Di samping, tentunya faktor
pribadi para pemimpin itu sendiri.
Mencari tokoh karismatik
tidak semudah membalikan telepak tangan. Realita tersebut bukan saja milik
pemimpin negeri. Menemukan ulama karismatik pun, rasa-rasanya terasa hampa.
Menjamurnya media elektronik ikut berperan dalam mendogma sosok panutan umat,
disinyalir media elektronik dewasa ini memiliki kekuatan yang luar biasa dalam “menghidupkan” dan “mematikan” seorang tokoh karismatik di Indonesia.
Simak saja kasus dai “sejuta
umat” yang tiba-tiba diisukan pernah selingkuh. infotaiment pun ramai-ramai
membombastis. Kondisi itu
jelas-jelas merugikan piguritas dai. Meskipun pada akhirnya tidak terbukti. Citra dai menjadi turun di mata umat. Begitupun
dengan isu keretakan rumah tangga dai “segala umat”. Infotaiment
berbondong-bondong menjadikan isu itu sebagai deadline. Padahal kebenarannya
masih perlu diperdebatkan. Sebab, kondisi ini menyangkut privasi dai.
Gelar pemimpin karismatik di
Indonesia hanya disandang oleh Presiden Soekarno. Pasca Soekarno, gelar
tersebut sangat sulit ditemukan. Kiranya, menjelang abad 21 model kepemimpinan
yang ideal, bukan semata tertumpu pada salah satu jenis saja. Karismatik,
demokratis, atau otoriter.
Mengkolaborasikan berbagai
tipe kepemimpinan dalam mengarungi dunia yang semakin mengglobal, kiranya
merupakan pilihan bijak bagi asumsi pemimpin negeri. Belajar dari people power dan revolusi dunia Arab idealnya menjadi indikasi
untuk mengevaluasi rodanya pemerintahan Indonesia di masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar