Translate

Jumat, 14 September 2012

Pelajaran dari Revolusi Timur Tengah


Pelajaran dari Revolusi Timur Tengah
Oleh Encon Rahman


Mesir terguncang.  Husni Mubarak pun tumbang. Kondisi serupa dialami Ben Ali dari Tunisia. Selanjutnya giliran  Bahrain dan Libia mengalami dahsyatnya kekuatan rakyat (people power). Apa sebenarnya pelajaran yang dapat kita petik dari revolusi dunia Arab?
Gejola demonstrasi di Timur Tengah memiliki kesamaan dengan peristiwa berdarah di Indonesia pada tahun 1998. Pada saat itu rezim orde baru dipaksa turun. Kesamaan persfektif ini berdasarkan kajian.
Pertama, runtuhnya kepercayaan (trust). Ketika kepercayaan rakyat menjadi minimalis terhadap para pemimpin, saat yang bersamaan fanatisme runtuh. Akibatnya rakyat tak lagi peduli. Secantik apapun dogma yang dilontarkan pemimpin negeri tak lagi menjadi pelipur lara. Kepercayaan merupakan harga mati.
Itulah sebabnya, bagi seorang pemimpin trust adalah harga diri sekaligus reputasi. Dengan kata lain, runtuhnya kepercayaan merupakan indikasi ‘kiamat kubro’ bagi seorang pemimpin. Karenanya, memelihara kepercayaan sama halnya dengan memelihara amunisi. Pada sisi lain,  trust merupakan senjata ampuh dalam menjamin stabilitas politik, sosial, dan ekonomi negara itu sendiri.
Kedua, terlalu lama memimpin. Pemimpin yang terlalu lama memimpin, mayoritas menimbulkan ending yang tidak nyaman pada akhir hayatnya. Sejarah membuktikan, Presiden Soekarno sebagai pionir negeri ini akhirnya jatuh mengenaskan.
Demikian juga dengan Presiden Soeharto. Selanjutnya, Presiden Mesir Husni Mubarak, presiden Filipina Marcos, Presiden Tunisia Zine El-Abidine Ben Ali, serta presiden Yaman, Bahrain, Libia, Yordania, Suriah, dan Aljazair diguncang dengan diagnosa yang sama.
Ketiga, gaya kepemimpinan. Jika kita kaji lebih mendalam, gaya kepemimpinan yang bersifat otoriter ternyata hanya melahirkan bom waktu. Kekuatan militer sebagai benteng otoritas presiden pada akhirnya penyebab utama runtuhnya sebuah rezim. 
Orde baru misalnya. Siapa sangka kalau rezim ini bakal runtuh dengan mengenaskan. Kekuatan yang mengakar begitu kokoh selama 32 tahun, akhirnya jatuh dalam hitungan hari. Kondisi ini seharusnya menjadi cambuk bagi siapapun yang menjadi pemimpin negeri.
Keempat, kekuatan militer. Tak dapat disangkal, dalam tatanan kenegaraan, eksistensi militer merupakan daya dukung yang sangat fundamental. Presiden dalam kaitan ini merupakan pengendali. Sebagai pengendali kewenangan presiden kerap salah kaprah. Militer yang seharusnya mengayomi masyarakat, malah berbuat sebaliknya.
Di Mesir seperti diberitakan media, sebelum terjadi demonstran besar-besaran, militer dan polisi merupakan satuan yang sangat ditakuti rakyat. Kondisi ini memiliki irisan dengan model rezim orde baru saat berjaya. Keberadaan militer dan polisi menjadi penguasa lokal. Tak tanggung-tanggung, siapa yang melawan ia akan binasa.
Berdasarkan diagnosa krisis kepemimpinan di atas, kita meyakini tipe kepemimpinan otoriter merupakan model kepemimpinan yang perlu dikaji ulang di abad 21 ini. Meskipun demikian, tidak berarti model kepemimpinan demokratis adalah yang paling baik. Terbukti, Indonesia yang tengah mengusung model kepemimpinan ini hasilnya belum menggembirakan. Bahkan cenderung kebla-blasan!
Bagaimana dengan jenis kepemimpinan karismatik? Di tengah krisis kepercayaan terhadap pigur, Indonesia hingga saat ini belum memiliki model yang dimaksud. Sulitnya mencari pemimpin karismatik disebabkan oleh degradasi budaya yang terlanjur bias. Adanya pembiasan ini akibat sistem yang lama terkubur. Di samping, tentunya faktor pribadi para pemimpin itu sendiri.
Mencari tokoh karismatik tidak semudah membalikan telepak tangan. Realita tersebut bukan saja milik pemimpin negeri. Menemukan ulama karismatik pun, rasa-rasanya terasa hampa. Menjamurnya media elektronik ikut berperan dalam mendogma sosok panutan umat, disinyalir media elektronik dewasa ini memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menghidupkan dan mematikan seorang tokoh karismatik di Indonesia.
Simak saja kasus dai “sejuta umat” yang tiba-tiba diisukan pernah selingkuh. infotaiment pun ramai-ramai membombastis. Kondisi itu jelas-jelas merugikan piguritas dai. Meskipun pada akhirnya tidak terbukti. Citra dai menjadi turun di mata umat. Begitupun dengan isu keretakan rumah tangga dai “segala umat”. Infotaiment berbondong-bondong menjadikan isu itu sebagai deadline. Padahal kebenarannya masih perlu diperdebatkan. Sebab, kondisi ini menyangkut privasi dai.
Gelar pemimpin karismatik di Indonesia hanya disandang oleh Presiden Soekarno. Pasca Soekarno, gelar tersebut sangat sulit ditemukan. Kiranya, menjelang abad 21 model kepemimpinan yang ideal, bukan semata tertumpu pada salah satu jenis saja. Karismatik, demokratis, atau otoriter.
Mengkolaborasikan berbagai tipe kepemimpinan dalam mengarungi dunia yang semakin mengglobal, kiranya merupakan pilihan bijak bagi asumsi pemimpin negeri.  Belajar dari people power dan revolusi dunia Arab idealnya menjadi indikasi untuk mengevaluasi rodanya pemerintahan Indonesia di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar