Translate

Jumat, 14 September 2012

Paradigma Pengentasan Kemiskinan di Majalengka


Paradigma Pengentasan Kemiskinan di Majalengka
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)


Menangani orang miskin tidak semudah membalikan telepak tangan. Butuh proses dan kesabaran. Terlebih kantong kemiskinan berada di perkotaan dan pedesaan. Menurut temuan Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi lonjakan jumlah kemiskinan sebelum era krisis moneter (Juli 1997) sebesar 22,5 juta jiwa menjadi 78,9 juta jiwa (Mei 1998).
Sedangkan menurut Bappenas, pada 1998 sekitar 49,5 juta jiwa penduduk Indonesia adalah miskin. Sebanyak 60 persen tinggal di perkotaan (19,8 juta jiwa). Pada 1999, angka kemiskinan mengalami penurunan hingga 37,5 juta jiwa. Wilayah kemiskinan terbagi menjadi di pedesaan sebanyak 67% (25,1 juta jiwa) dan sisanya sebanyak 23 persen (12,4 juta jiwa) berada di perkotaan (Bappenas, 2004). Penduduk miskin pada 2002 melonjak menjadi 38,4 juta jiwa atau 18,2 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Dari data di atas dapat ditarik beberapa asumsi penting. Secara umum kemiskinan di perkotaan dan pedesaan memiliki faktor penyebab yang khas. Menurut Arip Muttaqien (2006: 20), secara umum kemiskinan di pedesaan disebabkan oleh faktor pendidikan yang rendah, terjadinya ketimpangan kepemilikan tanah pertanian. Tanah pertanian hanya dikuasai tuan tanah, sedangkan masyarakat miskin hanya menjadi buruh tani. Selanjutnya, tidak meratanya investasi dibidang pertanian, rendahnya perhatian pemerintah dalam bidang pertanian, serta kebijakan pembangunan bertumpu di kota.
Kemudian sistem pertanian yang masih menggunakan cara tradisional, tingkat kesehatan yang mengkhawatirkan, rendahnya produktivitas masyarakat dibidang pertanian serta budaya masyarakat yang tidak disiplin, kurang suka bekerja keras dan cenderung agraris.
Sedangkan kemiskinan di perkotaan disebabkan faktor kurangnya  kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak, kesempatan pendidikan yang kurang adil, terjadinya penyimpangan pendapatan antara golongan kaya dan golongan miskin, kurang terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan) yang memadai serta terbatasnya sumber daya ekonomi yang strategis.
Kondisi miskin di perkotaan maupun di pedesaan menyebabkan beberapa akibat negatif, seperti meningkatnya kriminalitas, semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin, akses pendidikan semakin sulit terutama bagi golongan orang miskin. Selanjutnya kesempatan dalam pengambilan kebijakan publik (public policy) dan partisipasi dalam politik atau pemerintahan menjadi berkurang bagi golongan miskin.
Sisi lainnya, semakin jauh perwujudan masyarakat yang terbebaskan, berkeadilan, dan demokratis.  Di samping, semakin menjauh dari terwujudnya Millennium Development Goals.
Bagaimana dengan kondisi masyarakat miskin di kabupaten Majalengka? Data BPS (2011) menggambarkan angka kemiskinan di kabupaten Majalengka sekitar 195.350 atau 16,75 persen dari total 1,2 juta jiwa penduduk Majalengka. Lebih lanjut BPS mengemukakan, masih ada 10 desa/kelurahan di Majalengka yang angka kemiskinannya masih tinggi, yakni Kadipaten dan Liangjulang Kecamatan Kadipaten, Panjalin Kidul Kecamatan Sumberjaya, Sinargalih Kecamatan Lemahsugih, Werasari kecamatan Malausma, Karangsambung kecamatan Kadipaten, Genteng Kecamatan Dawuan, Kelurahan Majalengka Kulon Kecamatan Majalengka, Padarek Kecamatan Lemahsugih, dan Sukadana kecamatan Malausma.
Program Pengentasan Kemiskinan
Berbagai kebijakan pemerintah pusat dalam mengatasi kemiskinan di pedesaan yang sudah digulirkan mencakup program (1) mengusahakan pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar seperti beras untuk orang miskin (raskin), (2) memberikan kredit usaha tani, penyaluran kredit sebagai modal usaha, jaminan usaha serta KUD, (3) mengadakan sarana dan prasarana terutama yang menunjang pertanian, (4) pelayanan kesehatan, (5) pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah Inpres, (6) listrik masuk desa (LMD), dan (7) melengkapi sarana kesehatan seperti sanitasi dan air bersih.
Program lainnya yang digulirkan, di antaranya program  Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Kredit Usaha Tani (KUT),  Kredit Ketahanan Pangan (KKP) serta program PNPM.
Sementara itu, kebijakan pemda Majalengka dalam mengatasi kemiskinan di Kabupaten Majalengka hingga 2013, yakni (1) memperluas perlindungan sosial, (2) meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar, (3) memberdayakan kelompok masyarakat miskin, dan (4) menciptakan pembangunan yang inklusif.
Langkah Konkret
Menakar angka kemiskinan di Majalengka yang masih tinggi, dikaitkan dengan empat skenario penanggulangan kemiskinan di Majalengka, melahirkan pertanyaan mendasar, “Mampukah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Majalengka  mencapai target  sesuai dengan rencana pembangunan jangkah menengah daerah (RPJMD) menurunkan warga miskin hingga 5% tahun 2013?”
Saya masih menyangsikan ketercapaian target tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan, jika Pemda Majalengka memandang paradigma kemiskinan di Majalengka diposisikan sebagai subyek, bukan semata-mata obyek dalam pengentasan kemiskinan itu sendiri. Sisi lain, yang mesti diperhatikan pemda Majalengka, pengentasan kemiskinan harus dipandang sebagai sebuah investasi, bukan semata tugas, kebajikan, dan cost pemerintah terhadap rakyat miskin.
Meminjam ungkapan Ririn Handayani (2006: 72) dengan paradigma ini, maka setiap langkah yang ditempuh pemerintah memiliki arti penting yang lebih luas dari sekedar mengentaskan si miskin dari kemiskinannya. Lebih jauh, paradigma ini  juga mempertimbangkan aspek keuntungan timbal balik kepada negara, sehingga tujuan yang ingin dicapai bukan hanya tujuan jangka pendek yakni mengentaskan kemiskinan tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan negara dalam aspek yang lebih luas.
Catatan Akhir
Solusi konkret pengentasan kemiskinan di Majalengka dengan membentuk TKPK merupakan selangkah lebih maju. Namun yang perlu ditekankan dalam kaitan ini adalah kontrol publik, peran LSM, dan media massa sebagai daya tawar dalam mengkaji tingkat keberhasilan TKPK tersebut.
Seiring dengan asumsi di atas, perlu ada semacam evaluasi terhadap program TKPK. Evaluasi tersebut paling tidak dilakukan sebagai upaya mendeteksi keberhasilan program, sehingga presentase angka kemiskinan di Majalengka 2009 yang konon mencapai 15,58% menjadi 12,93 persen (2010). Sementara itu, target 2011 mencapai 10,28 persen. Kemudian 2012 menjadi 7,63 persen dan 2013 bisa mencapai angka 5 persen, diyakini bukan sekedar retorika politik semata! *)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar