Paradigma
Pengentasan Kemiskinan di Majalengka
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)
Menangani orang miskin tidak
semudah membalikan telepak tangan. Butuh proses dan kesabaran. Terlebih kantong
kemiskinan berada di perkotaan dan pedesaan. Menurut temuan Badan Pusat
Statistik (BPS), terjadi lonjakan jumlah kemiskinan sebelum era krisis moneter
(Juli 1997) sebesar 22,5 juta jiwa menjadi 78,9 juta jiwa (Mei 1998).
Sedangkan menurut Bappenas,
pada 1998 sekitar 49,5 juta jiwa penduduk Indonesia adalah miskin. Sebanyak 60
persen tinggal di perkotaan (19,8 juta jiwa). Pada 1999, angka kemiskinan
mengalami penurunan hingga 37,5 juta jiwa. Wilayah kemiskinan terbagi menjadi di
pedesaan sebanyak 67% (25,1 juta jiwa) dan sisanya sebanyak 23 persen (12,4
juta jiwa) berada di perkotaan (Bappenas, 2004). Penduduk miskin pada 2002 melonjak
menjadi 38,4 juta jiwa atau 18,2 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Dari data di atas dapat
ditarik beberapa asumsi penting. Secara umum kemiskinan di perkotaan dan
pedesaan memiliki faktor penyebab yang khas. Menurut Arip Muttaqien (2006: 20),
secara umum kemiskinan di pedesaan disebabkan oleh faktor pendidikan yang
rendah, terjadinya ketimpangan kepemilikan tanah pertanian. Tanah pertanian
hanya dikuasai tuan tanah, sedangkan masyarakat miskin hanya menjadi buruh
tani. Selanjutnya, tidak meratanya investasi dibidang pertanian, rendahnya
perhatian pemerintah dalam bidang pertanian, serta kebijakan pembangunan
bertumpu di kota.
Kemudian sistem pertanian
yang masih menggunakan cara tradisional, tingkat kesehatan yang
mengkhawatirkan, rendahnya produktivitas masyarakat dibidang pertanian serta
budaya masyarakat yang tidak disiplin, kurang suka bekerja keras dan cenderung
agraris.
Sedangkan kemiskinan di
perkotaan disebabkan faktor kurangnya
kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak, kesempatan pendidikan yang
kurang adil, terjadinya penyimpangan pendapatan antara golongan kaya dan
golongan miskin, kurang terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan
papan) yang memadai serta terbatasnya sumber daya ekonomi yang strategis.
Kondisi miskin di perkotaan
maupun di pedesaan menyebabkan beberapa akibat negatif, seperti meningkatnya
kriminalitas, semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin, akses
pendidikan semakin sulit terutama bagi golongan orang miskin. Selanjutnya
kesempatan dalam pengambilan kebijakan publik (public policy) dan partisipasi dalam politik atau pemerintahan
menjadi berkurang bagi golongan miskin.
Sisi lainnya, semakin jauh
perwujudan masyarakat yang terbebaskan, berkeadilan, dan demokratis. Di samping, semakin menjauh dari terwujudnya Millennium Development Goals.
Bagaimana dengan kondisi
masyarakat miskin di kabupaten Majalengka? Data BPS (2011) menggambarkan angka
kemiskinan di kabupaten Majalengka sekitar 195.350 atau 16,75 persen dari total
1,2 juta jiwa penduduk Majalengka. Lebih lanjut BPS mengemukakan, masih ada 10
desa/kelurahan di Majalengka yang angka kemiskinannya masih tinggi, yakni
Kadipaten dan Liangjulang Kecamatan Kadipaten, Panjalin Kidul Kecamatan Sumberjaya,
Sinargalih Kecamatan Lemahsugih, Werasari kecamatan Malausma, Karangsambung
kecamatan Kadipaten, Genteng Kecamatan Dawuan, Kelurahan Majalengka Kulon
Kecamatan Majalengka, Padarek Kecamatan Lemahsugih, dan Sukadana kecamatan
Malausma.
Program
Pengentasan Kemiskinan
Berbagai kebijakan
pemerintah pusat dalam mengatasi kemiskinan di pedesaan yang sudah digulirkan
mencakup program (1) mengusahakan pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar seperti
beras untuk orang miskin (raskin), (2) memberikan kredit usaha tani, penyaluran
kredit sebagai modal usaha, jaminan usaha serta KUD, (3) mengadakan sarana dan
prasarana terutama yang menunjang pertanian, (4) pelayanan kesehatan, (5)
pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah Inpres, (6) listrik masuk desa
(LMD), dan (7) melengkapi sarana kesehatan seperti sanitasi dan air bersih.
Program lainnya yang
digulirkan, di antaranya program
Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K),
Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
(P3DT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Ketahanan Pangan (KKP) serta program
PNPM.
Sementara itu, kebijakan
pemda Majalengka dalam mengatasi kemiskinan di Kabupaten Majalengka hingga 2013,
yakni (1) memperluas perlindungan sosial, (2) meningkatkan akses terhadap
pelayanan dasar, (3) memberdayakan kelompok masyarakat miskin, dan (4)
menciptakan pembangunan yang inklusif.
Langkah
Konkret
Menakar angka kemiskinan di
Majalengka yang masih tinggi, dikaitkan dengan empat skenario penanggulangan
kemiskinan di Majalengka, melahirkan pertanyaan mendasar, “Mampukah Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Majalengka mencapai target sesuai dengan rencana pembangunan jangkah
menengah daerah (RPJMD) menurunkan warga miskin hingga 5% tahun 2013?”
Saya masih menyangsikan
ketercapaian target tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan, jika Pemda
Majalengka memandang paradigma kemiskinan di Majalengka diposisikan sebagai
subyek, bukan semata-mata obyek dalam pengentasan kemiskinan itu sendiri. Sisi
lain, yang mesti diperhatikan pemda Majalengka, pengentasan kemiskinan harus
dipandang sebagai sebuah investasi, bukan semata tugas, kebajikan, dan cost
pemerintah terhadap rakyat miskin.
Meminjam ungkapan Ririn
Handayani (2006: 72) dengan paradigma ini, maka setiap langkah yang ditempuh
pemerintah memiliki arti penting yang lebih luas dari sekedar mengentaskan si
miskin dari kemiskinannya. Lebih jauh, paradigma ini juga mempertimbangkan aspek keuntungan timbal
balik kepada negara, sehingga tujuan yang ingin dicapai bukan hanya tujuan
jangka pendek yakni mengentaskan kemiskinan tetapi juga untuk meningkatkan
kesejahteraan negara dalam aspek yang lebih luas.
Catatan
Akhir
Solusi konkret pengentasan
kemiskinan di Majalengka dengan membentuk TKPK merupakan selangkah lebih maju.
Namun yang perlu ditekankan dalam kaitan ini adalah kontrol publik, peran LSM,
dan media massa sebagai daya tawar dalam mengkaji tingkat keberhasilan TKPK
tersebut.
Seiring dengan asumsi di
atas, perlu ada semacam evaluasi terhadap program TKPK. Evaluasi tersebut
paling tidak dilakukan sebagai upaya mendeteksi keberhasilan program, sehingga
presentase angka kemiskinan di Majalengka 2009 yang konon mencapai 15,58%
menjadi 12,93 persen (2010). Sementara itu, target 2011 mencapai 10,28 persen. Kemudian
2012 menjadi 7,63 persen dan 2013 bisa mencapai angka 5 persen, diyakini bukan sekedar
retorika politik semata! *)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar