Tantangan
Periodesasi Kepala Sekolah
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)
Salah satu wacana yang
tengah diperbincangkan dunia pendidikan dewasa ini, yakni eksistensi jabatan kepala
sekolah yang dibatasi hanya empat tahun dalam satu periode. Lahirnya Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 162 tahun 2008 tentang periodesasi
kepala sekolah telah menimbulkan “keresahan” dikalangan kepala sekolah dan
calon kepala sekolah. Keresahan yang dimaksud terkait dengan masa periodisasi
kepala sekolah yang dibatasi hanya empat tahun sekali, selama maksimal dua kali
periode.
Sebelum lahir Permendiknas
No. 162 tahun 2008 jabatan kepala sekolah boleh dikatakan seumur hidup hingga
yang bersangkutan memasuki masa pensiun. Kondisi demikian memiliki nilai plus
minus. Nilai plus yang dimaksud, yakni jabatan kepala sekolah menjadi status
sosial yang terus melekat sampai kapanpun.
Nilai minusnya, jika yang
bersangkutan memiliki kinerja dan manajerial yang jelek selama menjadi pemimpin
sekolah, maka organisasi yang dipimpinya tidak akan berkembang. Padahal kepala
sekolah merupakan salah satu komponen
pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Mengingat nilai plus minus
tersebut, maka aturan Permendiknas No. 162 tahun 2008 merupakan terobosan baru
dalam rangka meningkatkan mutu dan SDM pendidikan. Meskipun demikian, dalam
kenyataannya di lapangan Permendiknas tersebut
bukan menjadi kabar gembira bagi kepala sekolah yang sekarang tengah
menjabat. Malah sebaliknya, menjadi sebuah momok.
Semula saya sempat heran kenapa
reaktif kepala sekolah terhadap kelahiran Permendiknas No. 162 tahun 2008 itu sangat
negatif. Setelah saya selusuri ke beberapa kepala sekolah yang tengah menjabat,
sekaligus melakukan curah gagas tentang masalah ini, mayoritas keresahan mereka
disebabkan ketidaksiapan mental semata. Beberapa kepala sekolah mengungkapkan,
daripada kembali menjadi guru setelah menjadi kepala sekolah lebih baik
pensiun.
Sebuah ungkapan yang sangat ironis.
Bagaimana tidak, kenyamanan jabatan kepala sekolah ternyata telah melupakan
eksistensi diri, siapa diri sebenarnya. Bukankah kepala sekolah hanyalah guru
yang diberi tugas tambahan? Kenapa banyak kepala sekolah yang tidak rela
meninggalkan jabatan tersebut? Apakah mereka takut jika kembali menjadi guru,
panggilan “bapak kepala sekolah” tidak lagi terdengar nyaring? Bukankah menjadi
kepala sekolah, bukan bukti kemuliaan tetapi hanya berbagi tugas semata?
Kriteria
Calon Kepala Sekolah
Keresahan kepala sekolah dan
calon kepala sekolah terkait dengan masa periodisasi kepala sekolah yang
dibatasi hanya empat tahun sekali, selama maksimal dua kali periode, ternyata
juga dirasakan oleh kepala sekolah yang tengah menjabat di kabupaten
Majalengka.
Beberapa waktu lalu, pada
pertemuan silaturahmi guru pengawas UN SD di Kecamatan Talaga (6/5/2011), dengan
nada gurau koordinator pengawas (korwas) Majalengka, Drs. Ucup Suardi S
mengemukakan, sekarang ini banyak guru yang hanya mengajar 6 jam pelajaran
karena akan menjadi kepala sekolah. Sementara itu, banyak kepala sekolah yang
mengajar 6 jam karena akan kembali menjadi guru.
Kelakar tersebut bukan
candaan semata, karena menurut Drs. Ucup Suardi Permendiknas No.162 tahun 2008
diperkuat oleh Peraturan Bupati (Perbup) No. 22 tahun 2008 TMT 23 Februari
2009. Dengan adanya peraturan tersebut, maka disinyalir kepala sekolah dan
calon kepala sekolah di kabupaten Majalengka sudah terikat peraturan.
Merujuk pada hal tersebut, Kadisdik
Majalengka, Drs. H. Sanwasi MM mengemukakan, terhitung tanggal 23 Februari 2009
bagi kepala sekolah yang sudah lebih dari empat tahun menjabat, maka yang
bersangkutan termasuk kategori periode pertama. Sedangkan bagi kepala sekolah
yang kurang dari empat tahun terhitung 23 Februari 2009 dianggap sedang
melaksanakan periode pertama.
Ketentuan di atas merupakan
dasar perhitungan jabatan kepala sekolah di Kabupaten Majalengka sehingga diprediksi
tahun 2013 Majalengka membutuhkan kepala sekolah sebanyak 538 orang.
Guna menjaring calon kepala
sekolah di Majalengka yang berkualitas pada 2013, maka sejak dini Kadisdik
menargetkan kriteria calon kepala sekolah, yakni calon kepala sekolah wajib ikut
tes kepala sekolah, selanjutnya yang bersangkutan selama 120 jam ikut bimbingan
di SD tempat mengajar, kemudian magang 120 jam di SD terakreditasi A, serta
mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) di LPMP Bandung sehingga totalnya mencapai
300 jam. Persyaratan lain, calon kepala sekolah memiliki masa kerja 8 tahun
dengan pangkat/golongan IIIc serta mulai 2013 calon kepala sekolah harus sudah
siap dua tahun sebelumnya.
Lebih
Rumit?
Mengeja berbagai persyaratan
calon kepala sekolah di atas, sepintas terasa lebih rumit. Namun jika kita kaji
dari persfektif manajerial leadership persyaratan tersebut sangat bagus.
Bagaimanapun calon pemimpin harus masagi (mumpuni)
dalam segala bidang, termasuk skill kepemimpinan.
Kondisi ini seirama dengan
ungkapan E. Mulyasa (2006 : vii), tidak mudah untuk menjadi kepala sekolah yang
profesional, banyak hal yang harus dipahami, banyak masalah yang harus
dipecahkan, dan banyak strategi yang harus dikuasai. Kurang adil jika
pengangkatan kepala sekolah hanya didasarkan pada pengalaman menjadi guru yang diukur dari segi
waktu (lamanya menjadi guru).
Lebih lanjut ia mengungkapkan, kepala sekolah
perlu dipilih dalam kurun waktu tertentu, dan setelah itu dilakukan lagi
pemilihan yang baru, kepala sekolah lama kembali menjadi guru. Hal ini akan
menumbuhkan iklim demokratis di sekolah,
yang akan mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi terciptanya
kualitas pembelajaran yang optimal untuk mengembangkan seluruh potensi peserta
didik. Hanya dengan cara demikianlah akan tumbuh kepala sekolah profesional,
yang siap mendorong visi menjadi aksi dalam paragidma baru manajemen
pendidikan.
Catatan
Akhir
Harapan normatif di atas,
setidaknya harus diikuti pula oleh sistem budaya yang kondusif. Sudah menjadi
rahasia umum, kalau setiap pemilihan kepala sekolah, baik tingkat dasar maupun
menengah, konon ada oknum yang meminta sejumlah uang pelicin. Jika benar
adanya, sungguh sangat disayangkan. Jika jabatan kepala sekolah sudah diwarnai
dengan permainan uang, apalah artinya eksistensi tes calon kepala sekolah,
magang dan diklat di LPMP?
Sisi lain yang tak kalah
pentingnya dalam persoalan ini, yakni jangan mencalonkan diri menjadi kepala
sekolah jika tidak siap menjadi guru kembali.
Saran lain, kalau Anda tetap ingin jadi kepala sekolah, tetapi tidak mau
menjadi guru kembali, sebaiknya setelah usia Anda menginjak 52 tahun. Maksudnya,
agar tidak terkena peraturan Permendiknas No. 162 tahun 2008.
Atau jika usia Anda masih
muda sudah menjadi kepala sekolah, sebaiknya pasca menjabat kepala sekolah,
Anda minta mutasi ke sekolah lain dijamin rasa minder akan hilang. Sebutan
bapak kepala sekolah pun akan tetap disandang. Namun, sebaiknya saran ini Anda
abaikan jika mental Anda sudah kuat. Kembalilah menjadi guru di tempat Anda
bekerja. Ingat, menjadi kepala sekolah hanyalah guru yang diberi tugas
tambahan, bukan? (*)
*) Penulis : Pengamat pendidikan dan sosial.
Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Kabupaten Majalengka.
mas iji copasnya
BalasHapus