Translate

Jumat, 14 September 2012

Tantangan Periodesasi Kepala Sekolah


Tantangan Periodesasi Kepala Sekolah
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)


Salah satu wacana yang tengah diperbincangkan dunia pendidikan dewasa ini, yakni eksistensi jabatan kepala sekolah yang dibatasi hanya empat tahun dalam satu periode. Lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 162 tahun 2008 tentang periodesasi kepala sekolah telah menimbulkan “keresahan” dikalangan kepala sekolah dan calon kepala sekolah. Keresahan yang dimaksud terkait dengan masa periodisasi kepala sekolah yang dibatasi hanya empat tahun sekali, selama maksimal dua kali periode.
Sebelum lahir Permendiknas No. 162 tahun 2008 jabatan kepala sekolah boleh dikatakan seumur hidup hingga yang bersangkutan memasuki masa pensiun. Kondisi demikian memiliki nilai plus minus. Nilai plus yang dimaksud, yakni jabatan kepala sekolah menjadi status sosial yang terus melekat sampai kapanpun.
Nilai minusnya, jika yang bersangkutan memiliki kinerja dan manajerial yang jelek selama menjadi pemimpin sekolah, maka organisasi yang dipimpinya tidak akan berkembang. Padahal kepala sekolah  merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Mengingat nilai plus minus tersebut, maka aturan Permendiknas No. 162 tahun 2008 merupakan terobosan baru dalam rangka meningkatkan mutu dan SDM pendidikan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya di lapangan Permendiknas tersebut  bukan menjadi kabar gembira bagi kepala sekolah yang sekarang tengah menjabat. Malah sebaliknya, menjadi sebuah momok.
Semula saya sempat heran kenapa reaktif kepala sekolah terhadap kelahiran Permendiknas No. 162 tahun 2008 itu sangat negatif. Setelah saya selusuri ke beberapa kepala sekolah yang tengah menjabat, sekaligus melakukan curah gagas tentang masalah ini, mayoritas keresahan mereka disebabkan ketidaksiapan mental semata. Beberapa kepala sekolah mengungkapkan, daripada kembali menjadi guru setelah menjadi kepala sekolah lebih baik pensiun.
Sebuah ungkapan yang sangat ironis. Bagaimana tidak, kenyamanan jabatan kepala sekolah ternyata telah melupakan eksistensi diri, siapa diri sebenarnya. Bukankah kepala sekolah hanyalah guru yang diberi tugas tambahan? Kenapa banyak kepala sekolah yang tidak rela meninggalkan jabatan tersebut? Apakah mereka takut jika kembali menjadi guru, panggilan “bapak kepala sekolah” tidak lagi terdengar nyaring? Bukankah menjadi kepala sekolah, bukan bukti kemuliaan tetapi hanya berbagi tugas semata?
Kriteria Calon Kepala Sekolah
Keresahan kepala sekolah dan calon kepala sekolah terkait dengan masa periodisasi kepala sekolah yang dibatasi hanya empat tahun sekali, selama maksimal dua kali periode, ternyata juga dirasakan oleh kepala sekolah yang tengah menjabat di kabupaten Majalengka.
Beberapa waktu lalu, pada pertemuan silaturahmi guru pengawas UN SD di Kecamatan Talaga (6/5/2011), dengan nada gurau koordinator pengawas (korwas) Majalengka, Drs. Ucup Suardi S mengemukakan, sekarang ini banyak guru yang hanya mengajar 6 jam pelajaran karena akan menjadi kepala sekolah. Sementara itu, banyak kepala sekolah yang mengajar 6 jam karena akan kembali menjadi guru.
Kelakar tersebut bukan candaan semata, karena menurut Drs. Ucup Suardi Permendiknas No.162 tahun 2008 diperkuat oleh Peraturan Bupati (Perbup) No. 22 tahun 2008 TMT 23 Februari 2009. Dengan adanya peraturan tersebut, maka disinyalir kepala sekolah dan calon kepala sekolah di kabupaten Majalengka sudah terikat peraturan.
Merujuk pada hal tersebut, Kadisdik Majalengka, Drs. H. Sanwasi MM mengemukakan, terhitung tanggal 23 Februari 2009 bagi kepala sekolah yang sudah lebih dari empat tahun menjabat, maka yang bersangkutan termasuk kategori periode pertama. Sedangkan bagi kepala sekolah yang kurang dari empat tahun terhitung 23 Februari 2009 dianggap sedang melaksanakan periode pertama.
Ketentuan di atas merupakan dasar perhitungan jabatan kepala sekolah di Kabupaten Majalengka sehingga diprediksi tahun 2013 Majalengka membutuhkan kepala sekolah sebanyak 538 orang.
Guna menjaring calon kepala sekolah di Majalengka yang berkualitas pada 2013, maka sejak dini Kadisdik menargetkan kriteria calon kepala sekolah, yakni calon kepala sekolah wajib ikut tes kepala sekolah, selanjutnya yang bersangkutan selama 120 jam ikut bimbingan di SD tempat mengajar, kemudian magang 120 jam di SD terakreditasi A, serta mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) di LPMP Bandung sehingga totalnya mencapai 300 jam. Persyaratan lain, calon kepala sekolah memiliki masa kerja 8 tahun dengan pangkat/golongan IIIc serta mulai 2013 calon kepala sekolah harus sudah siap dua tahun sebelumnya.
Lebih Rumit?
Mengeja berbagai persyaratan calon kepala sekolah di atas, sepintas terasa lebih rumit. Namun jika kita kaji dari persfektif manajerial leadership persyaratan tersebut sangat bagus. Bagaimanapun calon pemimpin harus masagi (mumpuni) dalam segala bidang, termasuk skill kepemimpinan.
Kondisi ini seirama dengan ungkapan E. Mulyasa (2006 : vii), tidak mudah untuk menjadi kepala sekolah yang profesional, banyak hal yang harus dipahami, banyak masalah yang harus dipecahkan, dan banyak strategi yang harus dikuasai. Kurang adil jika pengangkatan kepala sekolah hanya didasarkan pada  pengalaman menjadi guru yang diukur dari segi waktu (lamanya menjadi guru).
 Lebih lanjut ia mengungkapkan, kepala sekolah perlu dipilih dalam kurun waktu tertentu, dan setelah itu dilakukan lagi pemilihan yang baru, kepala sekolah lama kembali menjadi guru. Hal ini akan menumbuhkan iklim demokratis di sekolah,  yang akan mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi terciptanya kualitas pembelajaran yang optimal untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Hanya dengan cara demikianlah akan tumbuh kepala sekolah profesional, yang siap mendorong visi menjadi aksi dalam paragidma baru manajemen pendidikan.
Catatan Akhir
Harapan normatif di atas, setidaknya harus diikuti pula oleh sistem budaya yang kondusif. Sudah menjadi rahasia umum, kalau setiap pemilihan kepala sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah, konon ada oknum yang meminta sejumlah uang pelicin. Jika benar adanya, sungguh sangat disayangkan. Jika jabatan kepala sekolah sudah diwarnai dengan permainan uang, apalah artinya eksistensi tes calon kepala sekolah, magang dan diklat di LPMP?
Sisi lain yang tak kalah pentingnya dalam persoalan ini, yakni jangan mencalonkan diri menjadi kepala sekolah jika tidak siap menjadi guru  kembali. Saran lain, kalau Anda tetap ingin jadi kepala sekolah, tetapi tidak mau menjadi guru kembali, sebaiknya setelah usia Anda menginjak 52 tahun. Maksudnya, agar tidak terkena peraturan Permendiknas No. 162 tahun 2008.
Atau jika usia Anda masih muda sudah menjadi kepala sekolah, sebaiknya pasca menjabat kepala sekolah, Anda minta mutasi ke sekolah lain dijamin rasa minder akan hilang. Sebutan bapak kepala sekolah pun akan tetap disandang. Namun, sebaiknya saran ini Anda abaikan jika mental Anda sudah kuat. Kembalilah menjadi guru di tempat Anda bekerja. Ingat, menjadi kepala sekolah hanyalah guru yang diberi tugas tambahan, bukan? (*)

*) Penulis : Pengamat pendidikan dan sosial. Sekretaris Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Kabupaten Majalengka.





1 komentar: