Tayangan
Religi di Televisi
Oleh : Encon Rahman*)
Maraknya tayangan religi di
televisi pada bulan suci 1432 H, bukan barang baru pada kancah industri. Radio,
selular, musisi, dan media cetak lain pun ikut berlomba menyajikan religi
sebagai menu utama. Fenomena ini bukan semata-mata karena penghormatan terhadap
keberadaan agama. Melainkan, religi sudah menjadi komoditas, sekaligus pundi
yang menggiurkan bagi insan tv. Pada sisi lain, tayangan religi di bulan suci
terbukti memiliki rating tinggi. Maka, tak heran jika televisi dan media
elektronik berlomba-lomba meraih hati pemirsa.
Meskipun, kemasan tayangan
religi di televisi dari tahun ke tahun, relativ tidak mengalami perubahan yang
berarti, tapi pemirsa begitu setia menyaksikan program tv. Kesetiaan itu
disebabkan iming-iming “hadiah” dari relasi yang bekerjasama dengan televisi. Selain
itu, narasumber yang populer menjadi daya tarik tersendiri bagi pemirsa yang
fanatik, untuk bertahan dengan tidak memindahkan cenel tayangannya.
Tak hanya itu, dalam upaya
memanjakan pemirsa, beberapa tv swasta nasional maupun lokal mencoba mengkolaborasikan
tayangan religi dengan komedi. Perpaduan ini dimaksudkan sebagai terobosan baru
dalam mengemas produk. Dengan demikian, pilihan religi di televisi pada bulan
suci ini semakin terbuka lebar. Pemirsa punya hak untuk mencari cenel yang
disukainya.
Ketatnya kompetitif antar kompotitor media
elektronik, kerap menjadi ajang lahirnya kreativitas. Kondisi itu menyebabkan plus
minus. Baik, bagi pemirsa maupun lembaga terkait.
Bagi pemirsa, televisi
menjadi sarana yang menguntungkan bagi dirinya untuk mencari dan menentukan
pilihan sesuai selera. Kualitas tayangan menjadi standar mutu dalam menentukan
pilihan. Sedangkan bagi televisi, kompetitif
yang kental dapat mendorong daya kreasi dan inovasi yang tiada henti.
Konsep tv sebagai media
edukatif (pendidikan), rekreatif (hiburan), dan informatif (informasi) menjadi
acuan pemirsa dalam menentukan pilihan. Tak khayal, insan televisi terus dipacu
untuk menghadirkan tayangan yang disukai pemirsa. Jika tidak mau berkreasi,
mati suri akan dialami televisi. Kembali pada persoalan semula, apakah pemirsa
sudah mendapati tayangan religi sesuai selera hati?
RELIGI
VS KOMEDI
Program unggulan televisi di
bulan Ramadan setiap tahunnya cenderung sama. Religi dan komedi. Religi dikemas
dalam bentuk talk show, kuliah tujuh menit (kultum), ceramah, tanya jawab, dan tablig
akbar. Sedangkan komedi rata-rata dalam bentuk talk show secara live dengan
menggandeng pariwara secara spesial atau rame-rame sebagai sponsor utamanya.
Mulai tahun ini, kita memperhatikan
kolaborasi religi dan komedi mulai trend. Beberapa tv swasta mulai menyodorkan
konsep itu untuk pemirsanya. Padahal tahun-tahun sebelumnya, eksistensi
penceramah hanya sekedar selingan dalam komedian atau sebaliknya. Namun kini,
penceramah dan komedian melebur untuk menghibur pemirsa hingga akhir acara.
Apapun konsep yang
ditawarkan industri hiburan di televisi, pada akhirnya kembali pada pemirsanya.
Pemirsa memiliki hak untuk menyukai tayangan itu, atau meninggalkannya seraya
mencari tayangan lain. Itulah sebabnya, daya kreativitas yang tinggi, insting
seni, dan daya inovasi yang terus dikembangkan menjadi modal utama insan tv
untuk meraih hati pemirsa.
Di samping itu, segmen pasar
yang jelas dan pemilihan tokoh religi maupun komedi yang sedang digandrungi
penonton menjadi tolak ukur tv. Manfaatnya, selain, meraih rating juga sebagai
jembatan untuk menangkap iklan sebanyak-banyaknya.
TONTONAN
DAN TUNTUNAN
Merebaknya tayangan religi
dan komedi dari pagi hingga pagi lagi, pada dasarnya harus mengusung tontonan
sekaligus tuntunan. Meskipun demikian, tidak semua komedi menawarkan gagasan di
atas. Beberapa waktu lalu, saya sempat kecewa dengan tayangan komedi di salah
satu tv. Penyebabnya, komedian itu pada saat menjelang buka, yang bersangkutan
dengan seenaknya berbicara seraya tertawa-tawa sambil makan sesuatu.
Sikap tidak sopan tersebut,
bukan saja melanggar etika sekaligus memberi contoh yang tidak baik terhadap
pemirsanya. Terutama anak-anak yang tengah menonton, sikap demikian tidak
menunjang pendidikan karakter yang tengah diajarkan dewasa ini di lembaga
formal.
Apalagi bila kita menyisir
hadis tentang etika makan dan minum yang di ajarkan Rasulullah. Maka sikap
demikian tidaklah sesuai. “Tidak boleh sekali-kali salah seorang diantar kamu
minum sambil berdiri dan jika ada yang lupa, hendaknya mengeluarkannya lagi.”
(HR Muslim). Pada riwayat lain dikemukakan, “janganlah kamu sekalian makan
dengan tangan kiri, sebab setan itu makan dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim
dari Jabir Ra).
Dari Anas bahwa sesungguhnya
nabi Muhamad Saw jika telah selesai makan sesuatu makanan, beliau menjilati
tiga jarinya, lalu bersabda: Jika makanan kamu sekalian jatuh maka ambillah dan
buanglah kotorannya lalu makanlah dan jangan membiarkannya untuk setan dan kami
(para sahabat) diperintah untuk membersihkan makanan yang ada pada mangkuk dan
selanjutnya beliau bersabda : sesungguhnya kamu sekalian tidak mengetahui pada
bagian yang mana berkah itu turun.” (HR Ahmad, Muslim dan Tirmidzi).
CATATAN
AKHIR
Ramadan sebagai bulan agung
menjadi harapan bagi kita untuk meningkatkan iman dan takwa. Itulah sebabnya,
kita berharap televisi sebagai media informasi diharapkan ikut pendukung proses
iman dan takwa. Hadirnya tayangan religi, baik sinetron, tablig akbar atau
sejenisnya menjadi tumpuan adanya pencerahan ilmu dan wawasan bagi pemirsanya.
Demikian juga dengan
eksistensi komedi, diharapkan menjadi produk hiburan yang mengusung tontonan
sekaligus tuntunan. Semoga harapan ini terwujud sebagai amar makruf nahi
mungkar. Di samping tentunya mengejar setoran bagi artis dan aktor itu sendiri.
(*)
*)
Penulis : anggota Balai Jurnalistik ICMI Bandung (BATIK).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar