Translate

Jumat, 14 September 2012

Tayangan Religi di Televisi


Tayangan Religi di Televisi
Oleh : Encon Rahman*)


Maraknya tayangan religi di televisi pada bulan suci 1432 H, bukan barang baru pada kancah industri. Radio, selular, musisi, dan media cetak lain pun ikut berlomba menyajikan religi sebagai menu utama. Fenomena ini bukan semata-mata karena penghormatan terhadap keberadaan agama. Melainkan, religi sudah menjadi komoditas, sekaligus pundi yang menggiurkan bagi insan tv. Pada sisi lain, tayangan religi di bulan suci terbukti memiliki rating tinggi. Maka, tak heran jika televisi dan media elektronik berlomba-lomba meraih hati pemirsa.
Meskipun, kemasan tayangan religi di televisi dari tahun ke tahun, relativ tidak mengalami perubahan yang berarti, tapi pemirsa begitu setia menyaksikan program tv. Kesetiaan itu disebabkan iming-iming “hadiah” dari relasi yang bekerjasama dengan televisi. Selain itu, narasumber yang populer menjadi daya tarik tersendiri bagi pemirsa yang fanatik, untuk bertahan dengan tidak memindahkan cenel tayangannya.
Tak hanya itu, dalam upaya memanjakan pemirsa, beberapa tv swasta nasional maupun lokal mencoba mengkolaborasikan tayangan religi dengan komedi. Perpaduan ini dimaksudkan sebagai terobosan baru dalam mengemas produk. Dengan demikian, pilihan religi di televisi pada bulan suci ini semakin terbuka lebar. Pemirsa punya hak untuk mencari cenel yang disukainya.
 Ketatnya kompetitif antar kompotitor media elektronik, kerap menjadi ajang lahirnya kreativitas. Kondisi itu menyebabkan plus minus. Baik, bagi pemirsa maupun lembaga terkait.
Bagi pemirsa, televisi menjadi sarana yang menguntungkan bagi dirinya untuk mencari dan menentukan pilihan sesuai selera. Kualitas tayangan menjadi standar mutu dalam menentukan pilihan. Sedangkan bagi televisi,  kompetitif yang kental dapat mendorong daya kreasi dan inovasi yang tiada henti.
Konsep tv sebagai media edukatif (pendidikan), rekreatif (hiburan), dan informatif (informasi) menjadi acuan pemirsa dalam menentukan pilihan. Tak khayal, insan televisi terus dipacu untuk menghadirkan tayangan yang disukai pemirsa. Jika tidak mau berkreasi, mati suri akan dialami televisi. Kembali pada persoalan semula, apakah pemirsa sudah mendapati tayangan religi sesuai selera hati?
RELIGI VS KOMEDI
Program unggulan televisi di bulan Ramadan setiap tahunnya cenderung sama. Religi dan komedi. Religi dikemas dalam bentuk talk show, kuliah tujuh menit (kultum), ceramah, tanya jawab, dan tablig akbar. Sedangkan komedi rata-rata dalam bentuk talk show secara live dengan menggandeng pariwara secara spesial atau rame-rame sebagai sponsor utamanya.
Mulai tahun ini, kita memperhatikan kolaborasi religi dan komedi mulai trend. Beberapa tv swasta mulai menyodorkan konsep itu untuk pemirsanya. Padahal tahun-tahun sebelumnya, eksistensi penceramah hanya sekedar selingan dalam komedian atau sebaliknya. Namun kini, penceramah dan komedian melebur untuk menghibur pemirsa hingga akhir acara.
Apapun konsep yang ditawarkan industri hiburan di televisi, pada akhirnya kembali pada pemirsanya. Pemirsa memiliki hak untuk menyukai tayangan itu, atau meninggalkannya seraya mencari tayangan lain. Itulah sebabnya, daya kreativitas yang tinggi, insting seni, dan daya inovasi yang terus dikembangkan menjadi modal utama insan tv untuk meraih hati pemirsa.
Di samping itu, segmen pasar yang jelas dan pemilihan tokoh religi maupun komedi yang sedang digandrungi penonton menjadi tolak ukur tv. Manfaatnya, selain, meraih rating juga sebagai jembatan untuk menangkap iklan sebanyak-banyaknya.
TONTONAN DAN TUNTUNAN
Merebaknya tayangan religi dan komedi dari pagi hingga pagi lagi, pada dasarnya harus mengusung tontonan sekaligus tuntunan. Meskipun demikian, tidak semua komedi menawarkan gagasan di atas. Beberapa waktu lalu, saya sempat kecewa dengan tayangan komedi di salah satu tv. Penyebabnya, komedian itu pada saat menjelang buka, yang bersangkutan dengan seenaknya berbicara seraya tertawa-tawa sambil makan sesuatu.
Sikap tidak sopan tersebut, bukan saja melanggar etika sekaligus memberi contoh yang tidak baik terhadap pemirsanya. Terutama anak-anak yang tengah menonton, sikap demikian tidak menunjang pendidikan karakter yang tengah diajarkan dewasa ini di lembaga formal.
Apalagi bila kita menyisir hadis tentang etika makan dan minum yang di ajarkan Rasulullah. Maka sikap demikian tidaklah sesuai. “Tidak boleh sekali-kali salah seorang diantar kamu minum sambil berdiri dan jika ada yang lupa, hendaknya mengeluarkannya lagi.” (HR Muslim). Pada riwayat lain dikemukakan, “janganlah kamu sekalian makan dengan tangan kiri, sebab setan itu makan dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim dari Jabir Ra).
Dari Anas bahwa sesungguhnya nabi Muhamad Saw jika telah selesai makan sesuatu makanan, beliau menjilati tiga jarinya, lalu bersabda: Jika makanan kamu sekalian jatuh maka ambillah dan buanglah kotorannya lalu makanlah dan jangan membiarkannya untuk setan dan kami (para sahabat) diperintah untuk membersihkan makanan yang ada pada mangkuk dan selanjutnya beliau bersabda : sesungguhnya kamu sekalian tidak mengetahui pada bagian yang mana berkah itu turun.” (HR Ahmad, Muslim dan Tirmidzi).
CATATAN AKHIR
Ramadan sebagai bulan agung menjadi harapan bagi kita untuk meningkatkan iman dan takwa. Itulah sebabnya, kita berharap televisi sebagai media informasi diharapkan ikut pendukung proses iman dan takwa. Hadirnya tayangan religi, baik sinetron, tablig akbar atau sejenisnya menjadi tumpuan adanya pencerahan ilmu dan wawasan bagi pemirsanya.
Demikian juga dengan eksistensi komedi, diharapkan menjadi produk hiburan yang mengusung tontonan sekaligus tuntunan. Semoga harapan ini terwujud sebagai amar makruf nahi mungkar. Di samping tentunya mengejar setoran bagi artis dan aktor itu sendiri. (*)
 
*) Penulis : anggota Balai Jurnalistik ICMI Bandung (BATIK).













Tidak ada komentar:

Posting Komentar