Translate

Jumat, 14 September 2012

Persoalan Industri Buku dalam Kancah Generasi Digital


Persoalan Industri Buku dalam Kancah Generasi Digital
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)


Industri buku di Indonesia kembali hangat diperbincangkan. Kondisi ini seiring dengan peringatan hari buku nasional yang jatuh 23 Mei 2011. Disinyalir perkembangan daya baca dan daya beli masyarakat Indonesia terhadap buku masih (tetap) saja rendah. Sehingga  “rendahnya minat baca” dan “mahalnya harga buku” sering disebut-sebut sebagai penyebab utama mengapa industri dan tata niaga buku di Indonesia belum juga bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Sebagaimana diungkapkan penyair Taufik Ismail, bangsa Indonesia masih rabun membaca dan pincang menulis. Hal ini ia tegaskan setelah melakukan penelitian sederhana kepada siswa SMU di 13 negara. Jika 13 SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku sastra selama tiga tahun, Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darusalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia nol buku.
Seirama dengan persoalan rendahnya minat baca masyarakat, menurut Subagya (2005: 10), ada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menegaskan, harga buku yang mahal untuk sebagian besar masyarakat (dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk) merupakan penyebab utama rendahnya permintaan terhadap buku.
Pendapat yang kedua menyatakan, minat baca masyarakat yang masih rendahlah yang menjadi penyebabnya dan hal itu tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa buku belum menjadi salah satu kebutuhan masyarakat kita.
Kondisi itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 mensinyalir penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran pada minggu hanya 55,11%. Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%, buku pelajaran sekolah 44,28% dan yang membaca ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07%.
Potret Buram Perbukuan
Dengan merujuk pada kedua asumsi di atas, secara garis besar dapat disimpulkan eksistensi buku dalam anggaran belanja keluarga Indonesia belum termasuk kategori kebutuhan utama. Mengapa demikian? Beberapa kalangan menilai tipikal budaya membaca orang Indonesia sangat unik, banyak orang membaca sewaktu-waktu saja dan hanya sedikit  orang Indonesia yang benar-benar menjadikan media cetak, baik sebagai sarana memperoleh hiburan maupun untuk memperoleh informasi.
Sisi lain, lompatan budaya (tradisi) lisan  juga ikut mempengaruhi kolerasi budaya baca sehingga pada akhirnya mempengaruhi selera beli dan daya beli mereka. Belum lagi surut lompatan budaya lisan, lahirlah budaya audio-visual berupa televisi. Kehadiran televisi di tahun 1970-an serta merta  mendorong tradisi lisan ikut terkontaminasi. Hingga tahun 2010 saat ini terdapat 9.345 program televisi dan 11 jaringan televisi nasional serta 95 televisi lokal yang telah siaran (data Nielsen, Juni 2010).
Kehadiran televisi dalam tataran industri buku, menjadi ancaman terselubung. Bagaimana tidak, perkembangan media visual yang terus melaju melahirkan banyak pilihan dalam hal informasi dan hiburan. Dampaknya, masyarakat pada umumnya menjatuhkan pilihan utama sebagai sarana rekreatif dan informatif pada televisi.
Setelah itu, berturut-turut surat kabar, majalah, baru pada buku. Buku menjadi kebutuhan yang kesekian. Itu pun, masih bersaing dengan media cetak lain yang juga semakin cepat menyajikan informasi dan hiburan. Buku tinggal  mencari ceruk-ceruk lain yang belum terjamah dan belum dimakan habis oleh media cetak lain (Subagya, 2005: 51).
Sehingga Indonesia jika dibandingkan dengan Cina yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu menerbitkan 10.000 judul per tahun.
Kondisi itu terlihat juga dari konsumsi kertas per kapita di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di dunia. Menurut data PT Kertas Leces (persero, Probolinggo) 1989, mencatat Amerika Serikat mengkonsumsi kertas sebanyak 317.8 kg, disusul Jepang sebanyak 204.5 kg, kemudian Australia 155.5 kg, Singapura 95.0 kg, negara-negara eropa  91,2 kg, Malaysia 25.0 kg, Thailand 17.0 kg, Brunai 12.0 kg, Philipina 9.0 kg, India 8.0 kg, dan Indonesia 5,7 kg.
Generasi Digital
Potret buram industri dan tata niaga buku di Indonesia tampaknya belum segera pulih. Kondisi itu disebabkan faktor konsumen buku, kebijakan pemerintah tentang perbukuan, distribusi buku yang belum merata, rendahnya produksi buku nasional, rendahnya minat baca, mahalnya harga buku, dan berkembangnya teknologi digital.
Terkait dengan berkembangnya teknologi digital yang semakin mewabah, para pengamat perbukuan menilai, industri buku di Indonesia akan semakin tersisih. Prediksi itu didasarkan asumsi, generasi muda Indonesia lebih cenderung memilih website dalam berburu informasi dan hiburan ketimbang buku.
Pertimbangan lain, digital menawarkan produk yang murah dan mudah. Hanya tinggal mengklik tema tertentu, sesuatu yang dibutuhkan akan hadir dihadapan. Tidak perlu susah-susah mengunjungi toko buku, transaksi yang lama dan menghabiskan waktu.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pelaku bisnis perbukuan di Indonesia setidaknya perlu melakukan terobosan dalam upaya memback up perubahan peradaban ini. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya penerbit memanfaatkan teknologi digital untuk menghadirkan informasi buku, baik resensinya maupun harga jual serta pelayanan pesanan. Kemudahan lain yang dapat dikolaborasikan, penerbit memanfaatkan format buku digital (e-book) untuk pembacanya.
Catatan Akhir
Buku hadir sebagai pembuka tabir peradaban. Negara maju telah berhasil membuktikannya. Namun dalam proses perjalanannya, industri buku di Indonesia malah semakin tersisih. Eksistensi buku hanya menempati rangking terakhir dalam kebutuhan keluarga di Indonesia.
Pepatah tentang “buku gudangnya ilmu dan membaca adalah kuncinya”, seakan tak berarti di negeri ini. Meskipun Bank Dunia mengemukakan pertumbuhan kelas menengah Indonesia meningkat pesat selama tujuh tahun terakhir. Pada 2003, jumlah kelas menengah hanya 37,7 persen dari total populasi, sedangkan pada 2010 kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa atau 56,5 persen (HU Pikiran Rakyat, 2/5/2011) ternyata tidak signifikan dengan peningkatan pembaca buku.
Masih miskinnya pembaca buku masyarakat negeri ini, setidaknya bukan sekedar ajang retorika semata. Kita membutuhkan solusi alternatif dalam meningkatkan kegemaran membaca. Guru di sekolah, orang tua di rumah, dan penerbit serta pemangku kepentingan menjadi tumpuan harapan menjadi cikal bakal tradisi membaca semakin tumbuh. Maka, tak ada pilihan lain, mulailah membudayakan tradisi membaca dari diri sendiri dan saat ini juga! (*)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar