Persoalan
Industri Buku dalam Kancah Generasi Digital
Oleh Encon Rahman, S.Pd*)
Industri buku di Indonesia
kembali hangat diperbincangkan. Kondisi ini seiring dengan peringatan hari buku
nasional yang jatuh 23 Mei 2011. Disinyalir perkembangan daya baca dan daya
beli masyarakat Indonesia terhadap buku masih (tetap) saja rendah.
Sehingga “rendahnya minat baca” dan
“mahalnya harga buku” sering disebut-sebut sebagai penyebab utama mengapa
industri dan tata niaga buku di Indonesia belum juga bisa tumbuh dan berkembang
dengan baik.
Sebagaimana diungkapkan
penyair Taufik Ismail, bangsa Indonesia masih rabun membaca dan pincang
menulis. Hal ini ia tegaskan setelah melakukan penelitian sederhana kepada
siswa SMU di 13 negara. Jika 13 SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul
buku sastra selama tiga tahun, Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara
tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darusalam menamatkan
membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia nol buku.
Seirama dengan persoalan
rendahnya minat baca masyarakat, menurut Subagya (2005: 10), ada dua pendapat
yang berbeda. Pendapat pertama menegaskan, harga buku yang mahal untuk sebagian
besar masyarakat (dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk) merupakan
penyebab utama rendahnya permintaan terhadap buku.
Pendapat yang kedua
menyatakan, minat baca masyarakat yang masih rendahlah yang menjadi penyebabnya
dan hal itu tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa buku belum menjadi salah
satu kebutuhan masyarakat kita.
Kondisi itu berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 mensinyalir penduduk Indonesia berumur di atas
15 tahun yang membaca koran pada minggu hanya 55,11%. Sedangkan yang membaca
majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%, buku pelajaran sekolah
44,28% dan yang membaca ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07%.
Potret
Buram Perbukuan
Dengan merujuk pada kedua asumsi
di atas, secara garis besar dapat disimpulkan eksistensi buku dalam anggaran
belanja keluarga Indonesia belum termasuk kategori kebutuhan utama. Mengapa
demikian? Beberapa kalangan menilai tipikal budaya membaca orang Indonesia
sangat unik, banyak orang membaca sewaktu-waktu saja dan hanya sedikit orang Indonesia yang benar-benar menjadikan
media cetak, baik sebagai sarana memperoleh hiburan maupun untuk memperoleh
informasi.
Sisi lain, lompatan budaya
(tradisi) lisan juga ikut mempengaruhi
kolerasi budaya baca sehingga pada akhirnya mempengaruhi selera beli dan daya
beli mereka. Belum lagi surut lompatan budaya lisan, lahirlah budaya
audio-visual berupa televisi. Kehadiran televisi di tahun 1970-an serta merta mendorong tradisi lisan ikut terkontaminasi.
Hingga tahun 2010 saat ini terdapat 9.345 program televisi dan 11 jaringan
televisi nasional serta 95 televisi lokal yang telah siaran (data Nielsen, Juni
2010).
Kehadiran televisi dalam tataran
industri buku, menjadi ancaman terselubung. Bagaimana tidak, perkembangan media
visual yang terus melaju melahirkan banyak pilihan dalam hal informasi dan
hiburan. Dampaknya, masyarakat pada umumnya menjatuhkan pilihan utama sebagai
sarana rekreatif dan informatif pada televisi.
Setelah itu, berturut-turut
surat kabar, majalah, baru pada buku. Buku menjadi kebutuhan yang kesekian. Itu
pun, masih bersaing dengan media cetak lain yang juga semakin cepat menyajikan
informasi dan hiburan. Buku tinggal
mencari ceruk-ceruk lain yang belum terjamah dan belum dimakan habis
oleh media cetak lain (Subagya, 2005: 51).
Sehingga Indonesia jika
dibandingkan dengan Cina yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan
140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa
menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa
menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu
menerbitkan 10.000 judul per tahun.
Kondisi itu terlihat juga
dari konsumsi kertas per kapita di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara
di dunia. Menurut data PT Kertas Leces (persero, Probolinggo) 1989, mencatat
Amerika Serikat mengkonsumsi kertas sebanyak 317.8 kg, disusul Jepang sebanyak
204.5 kg, kemudian Australia 155.5 kg, Singapura 95.0 kg, negara-negara
eropa 91,2 kg, Malaysia 25.0 kg,
Thailand 17.0 kg, Brunai 12.0 kg, Philipina 9.0 kg, India 8.0 kg, dan Indonesia
5,7 kg.
Generasi
Digital
Potret buram industri dan
tata niaga buku di Indonesia tampaknya belum segera pulih. Kondisi itu
disebabkan faktor konsumen buku, kebijakan pemerintah tentang perbukuan, distribusi
buku yang belum merata, rendahnya produksi buku nasional, rendahnya minat baca,
mahalnya harga buku, dan berkembangnya teknologi digital.
Terkait dengan berkembangnya
teknologi digital yang semakin mewabah, para pengamat perbukuan menilai,
industri buku di Indonesia akan semakin tersisih. Prediksi itu didasarkan
asumsi, generasi muda Indonesia lebih cenderung memilih website dalam berburu
informasi dan hiburan ketimbang buku.
Pertimbangan lain, digital menawarkan
produk yang murah dan mudah. Hanya tinggal mengklik tema tertentu, sesuatu yang
dibutuhkan akan hadir dihadapan. Tidak perlu susah-susah mengunjungi toko buku,
transaksi yang lama dan menghabiskan waktu.
Untuk menjawab tantangan
tersebut, pelaku bisnis perbukuan di Indonesia setidaknya perlu melakukan
terobosan dalam upaya memback up perubahan peradaban ini. Banyak cara yang bisa
dilakukan, misalnya penerbit memanfaatkan teknologi digital untuk menghadirkan
informasi buku, baik resensinya maupun harga jual serta pelayanan pesanan.
Kemudahan lain yang dapat dikolaborasikan, penerbit memanfaatkan format buku
digital (e-book) untuk pembacanya.
Catatan
Akhir
Buku hadir sebagai pembuka
tabir peradaban. Negara maju telah berhasil membuktikannya. Namun dalam proses
perjalanannya, industri buku di Indonesia malah semakin tersisih. Eksistensi
buku hanya menempati rangking terakhir dalam kebutuhan keluarga di Indonesia.
Pepatah tentang “buku
gudangnya ilmu dan membaca adalah kuncinya”, seakan tak berarti di negeri ini.
Meskipun Bank Dunia mengemukakan pertumbuhan kelas menengah Indonesia meningkat
pesat selama tujuh tahun terakhir. Pada 2003, jumlah kelas menengah hanya 37,7
persen dari total populasi, sedangkan pada 2010 kelas menengah Indonesia
mencapai 134 juta jiwa atau 56,5 persen (HU
Pikiran Rakyat, 2/5/2011) ternyata tidak signifikan dengan peningkatan
pembaca buku.
Masih miskinnya pembaca buku
masyarakat negeri ini, setidaknya bukan sekedar ajang retorika semata. Kita
membutuhkan solusi alternatif dalam meningkatkan kegemaran membaca. Guru di
sekolah, orang tua di rumah, dan penerbit serta pemangku kepentingan menjadi
tumpuan harapan menjadi cikal bakal tradisi membaca semakin tumbuh. Maka, tak
ada pilihan lain, mulailah membudayakan tradisi membaca dari diri sendiri dan
saat ini juga! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar